Di Pilkada Kota Bima 2024 lalu, politik menjadi sebuah kata yang setiap hari diucapkan di berbagai kesempatan dan dari sarangge ke sarangge masyarakat. Wilayah administratif Kota Bima tidaklah terlalu besar secara geografis, namun, Kota Bima menjadi pusat lalu lintas ekonomi, politik, dan budaya dalam wilayah “ke-Bima-an” yang lebih luas.
Elite politik banyak berdomisili di kota kecil ini. Bupati, calon bupati, hingga calon politisi muda yang belajar politik dan menempel ke elite daerah banyak yang mengisi ruang publik di daerah ini. Tak heran, ekspresi politik menjadi sesuatu yang embodied dengan masyarakat. Kawula muda hingga perempuan juga kerap menghiasi keramaian kampung dengan aksi dukung mendukung atau membelot ke calon tertentu.
Dari sini, kita bisa membayangkan betapa ramainya waktu pilkada kemarin. Selain, hadirnya representasi kaum perempuan yang diwakili oleh Mutmainnah Haris yang maju sebagai Calon Wakil Wali Kota Bima berpasangan dengan Mohammad Rum. Dengan memakai simbol warna merah muda, Mutmainnah Haris berkampanye dengan lantang menyuarakan isu gender, perempuan serta perhatiannya kepada janda dan perempuan muda.
Warisan Politik yang Rentan
Hal lain yang patut menjadi catatan ialah warisan politik Kota Bima yang periode sebelumnya sangat dinamis dan berdarah-darah. Di mana, keretakan elite politik yang diwakili pucuk tertinggi Wali Kota Bima, Muhammad Lutfi dan Wakil Wali Kota, Feri Sofiyan. Bayangkan, pernah ada masa di mana, Kota Bima tidak memiliki pemimpin sama sekali.
Feri Sofiyan yang sebelumnya mendekam dalam penjara akibat kasus yang katanya “melanggar ekosistem laut” karena membangun dermaga di kebunnya di Bonto, Kolo, Kota Bima. Belum Feri Sofiyan keluar dari balik jeruji besi, Muhammad Lutfi menjadi pesakitan KPK akibat korupsi di berbagai proyek strategis di Kota Bima.
Di sinilah, momen Pilkada 2024 itu menjadi menyedot perhatian publik luas. Kepemimpinan Kota Bima yang gonjang-ganjing menjadi orkestrasi elite saling klaim tidak terafiliasi dengan kepemimpinan yang bermasalah sebalumnya. Di sisi lain, masyarakat berharap kepemimpinan terpilih ialah yang bisa menegakkan kembali marwah Kota Bima yang sudah tercoreng dengan kasus korupsi yang terjadi sebelumnya.
Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, bagi beberapa calon yang hadir dalam Pilkada Kota Bima 2024 ini selain mengusung jargon-jargon yang mengangkat marwah daerah. “Kota Bima Maju Bermartabat” dari pasangan A. Rahman H. Abidin-Feri Sofiyan. “Kota Bima Baru” dari Mohammad Rum-Mutmainnah Haris, dan “Maju, Berkelanjutan, Religius” dari Syafriansar-Syamsuddin.
Dari ketiga jargon ini, bisa dimaknai sebagai sebuah manifesto politik yang bermuatan ingin menghapus tragedi politik yang sebelumnya terjadi. “Kota Bima Maju Bermartabat” mewakili suara sebagian pendukung yang merasa harus mengembalikan martabat Kota Bima ke panggung yang lebih tinggi dan maju. Selain itu, ini juga mewakili sebagian pendukung Fery Sofiyan yang dianggap dikriminalisasi dengan persoalan yang ganjil karena tidak memiliki izin administratif membangun dermaga di wilayah kebunnya sendiri.
“Kota Bima Baru” yang merupakan akronim dari Bersih, Aman, Religius, Unggul bisa diartikan sebagai pembaruan atau perubahan itu sendiri. Mohammad Rum yang merupakan figur baru dalam politik Kota Bima yang pernah menjabat sebagai Pj. Wali Kota Bima selama kurang lebih sembilan bulan sebelum Pilkada 2024 digelar. Di sisi lain, Mutmainnah Haris, sebagai satu-satunya perempuan dan yang paling muda dalam kontestasi ini dianggap mampu meraup dukungan dua gerbong besar pemilih ini.
Lain halnya dengan “Maju, Berkelanjutan, Religius” dari Syafriansar dan Syamsuddin. Pasangan yang mendaftar paling terakhir di KPU Kota Bima di dalam jargon politiknya bisa diartikan sebagai harapan agar Kota Bima semakin baik ke depannya. Religius dalam jargon setiap kampanyenya karena mereka berdua berasal dari partai politik Islam yaitu PPP dan PBB dan didukung oleh PKB, dan Gelora. Walau muncul sebagai pasangan yang alternatif, daya gedor dan daya juang belum mampu berbuat banyak dalam kontestasi Pilkada ini. ]
Seperti kita tahu bersama, kerinduan masyarakat akan pemimpin kharismatik dan sudah dikenal luas di tengah masyarakat, akhirnya pasangan A. Rahman H. Abidin-Feri Sofiyan menjadi pemenang. Tentu hal itu hanya satu faktor, faktor lain yang lebih berpengaruh adalah amunisi dan daya materi yang mendukung.
Dou Sampela dan Politik
Ada hal yang menarik dalam politik Kota Bima ini: Kaum Muda. Kaum muda menjadi entitas yang banyak disorot sepanjang proses Pilkada. Pengaruh isu nasional dan media sosial yang memosisikan kaum muda sebagai pendulang suara dalam Pilkada Nasional memiliki efek yang panjang dalam Pilkada Kota Bima.
Fragmentasi dan konsolidasi kaum muda yang diorganisir untuk mendukung calon tertentu menjadi sebuah keniscayaan yang dilakukan oleh kontestan. “Garda Muda”, kelompok pendukung A. Rahman H. Abidin-Feri Sofiyan menjadi basisnya. Dipimpin oleh keponakan dari A. Rahman H. Abidin sendiri. “Sinergi Muda”, gerbong kaum muda yang mendukung Mohammad Rum-Mutmainnah Haris yang dikomandani oleh adik dari Mutmainnah Haris sendiri kerap memobilisir massa dari kampung ke kampung.
Selain itu, tampilnya konten creator yang mendukung dari kalangan anak muda menjadi salah satu pemandangan yang menarik juga dalam Pilkada ini. Walau efeknya secara elektoral perlu diteliti lebih jauh, namun, kehadiran konten creator yang memiliki banyak pengikut di media sosial untuk mengkampanyekan kontestan tertentu selama Pilkada secara tidak langsung menjadi perbincangan sesama kaum muda.
Pengalaman penulis dalam mengikuti setiap kampanye di Pilkada Kota Bima ini, berkesimpulan bahwa isu-isu yang diangkat oleh konten creator masih sebatas untuk memperjelas isi kampanye dan narasi yang dibuat oleh seorang calon. Namun, untuk berharap kaum muda tertarik secara luas dalam pembentukan opini publik yang dilakukan melalui media sosial, konten creator, atau saluran media sosial lain belum dapat dikatakan berhasil dalam Pilkada kemarin.
Selain itu, Pilkada Kota Bima juga menyisakan tragedi lain, yaitu meninggalnya seorang pemuda pada saat kampanye pasangan A. Rahman H. Abidin-Feri Sofiyan di Lapangan Serasuba, Kota Bima karena ditusuk oleh salah seorang pemuda lainnya. Keributan selama kampanye akbar tidak bisa dipisahkan dari kalangan anak muda.
Suara Kaum Muda
Karena banyak melibatkan kaum muda, sudah sepantasnya kaum muda juga berharap bahwa suara dan aspirasi anak muda banyak diakomodir selama kampanye maupun setelah calon yang didukung terpilih.
Namun, yang menjadi catatan di sini, yang penulis amati, suara kaum muda masih terpantronase dan dipengaruhi oleh pilihan dari orang tua atau otoritas setempat yang mendukung calon tertentu. Selain itu, beberapa pemuda yang penulis amati, masih terpengaruh oleh politik uang yang dibagikan oleh setiap pasangan calon. Yang terbesar, itulah yang dipilih. Hal ini menunjukkan, bahwa kemandirian politik kaum muda di Kota Bima masih belum kokoh.
Ke depan, penulis memprediksi, apabila sistem politik uang secara massif dan politik berbiaya mahal seperti 2024 ini masih terjadi, sulit untuk kaum muda menunjukkan daya politiknya untuk mempengaruhi suara pemilih dan suara, aspirasi, kepentingan kaum muda akan sulit diakomodir oleh kontestan yang ada. Sebab, pragmatisme politik anak muda masih tinggi.[]

Alumni Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Founder Komunitas Mbojo Itoe Boekoe





