Budaya Literasi, Cinta, dan Peradaban Manusia

Tulisan ini berangkat dari analisa sosial tentang miskinnya budaya literasi yang semakin membuat siapapun miskin terhadap kebenaran informasi.

Sekarang ini sudah banyak organisasi yang telah meninggalkan budaya literasi  baik di kampus-kampus maupun di lingkungan sosial yang lebih luas. Bukti dari minimnya literasi tersebut tampak dari tindakan sebagian mahasiswa yang masuk organisasi hanya sekedar ingin mencari nama saja tanpa ada orientasi yang jelas. Tanpa mengerti konsep perjuangan organisasi dan ideologi yang dibawanya.

Fakta membuktikan bahwa banyak organisasi yang fakum dan tidak lagi hidup karena miskin budaya literasi, baik dalam skema aktivitas individu maupun skema aktivitas kelompok. Oleh karena demikian aktivitas membaca, berdiskusi, dan menulis harus selalu dihidupkan dan ditingkatkan. Temasuk dialog-dialog, seminar-seminar, bedah buku dan lain sebagainya, demi pertumbuhan peradaban yang baik bagi bangsa ini.

Jika aktivitas literasi terus dihidupkan dan dikembangkan dapat dipastikan bahwa kemajuan suatu bangsa akan semakin baik. Mengapa? Karena sumber daya manusianya berkualitas. Itulah pentingnya aktivitas-aktivitas ilmiah atau budaya literasi selalu di hidupkan. Untuk apa? Ya, untuk merangkai dan mewarisi peradaban ini.

Apakah kita tidak memperhatikan bagaimana hebatnya budaya literasi pada masa lalu? Jika belum, saya akan mencoba untuk menghadirkannya. Sebagai contoh bahwa Rasulullah SAW, Abubakar As Sidik, Umar Bin Khattab, Utsman Bin Affan. Mereka adalah contoh dan tauladan terbaik, terlebih Rasulullah SAW, senantiasa menghidupkan budaya literasi. Ingin bukti? Sampai sekarang nama mereka masih dituliskan oleh umat manusia sebagai tokoh teladan yang telah mewariskan peradaban melalui literasi

Kemudian ada juga generasi-generasi hebat setelahnya yang terus meningkatkan budaya literasi dan dikenal oleh dunia. Di antaranya adalah Ibn. Sina yang menulis buku tentang ‘’The Canon of Medicine’’, Al-Khawarizmi dikenal sebagai ‘’The Father of Mathematic and Astronomy” bapak matematika dan astronomi dunia dan buku tentang Zij Al Sindhind, Kemudian ada, Jabir Ibn-Hayyan dan sering disebut sebagai “The Father of Modern Chemistry” atau bapaknya Ilmuan Kimia, Fisika, Farmasi dll. Selanjutnya ada Imam Al Ghazali, Ibn Rushd, Ibn Khaldun dan masih banyak lagi lainnya dengan kitab-kitab mereka yang sangat mendunia.

Nah, budaya literasi kita, sudah sampai mana? Apakah hanya sekedar membaca buku dan kemudian menikmati keindahan-keindahan kata-kata atau kalimat di dalamnya? Sesungguhnya tidak hanya sampai disitu, kita harus meneladani motivasi, semangat, dan daya juang mereka sehingga mereka sampai pada titik tersebut. Jika pun kita tidak mampu sampai pada titik itu, minimal kita sudah berusaha dan bersungguh-sungguh menjadikan diri kita sebagai pewaris budaya literasi terbaik dari mereka.

Bukankah Allah SWT Berfirman bahwa sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri (Qs. Ar-Ra’d 11). Pepatah arab juga pernah berkata ‘’Man Jadda Wajada’’ yang artinya siapa yang bersungguh-sungguh maka dia akan mendapatkan hasilnya.

Cinta Literasi

Segala sesuatu bergantung dari cinta. Cinta yang akan membuatmu berubah. Orang yang jatuh cinta pasti tidak ingin jauh dari kekasihnya. Ingin selalu dekat bahkan sedekat-dekatnya. Sebagai contoh orang-orang telah jatuh cinta kepada Tuhannya pasti tidak ingin jauh darinya. Oleh karena itu, mereka selalu ingin dekat dan bersama dengan tuhannya dalam kondisi apapun. Maka, mereka berdzikir (Mengingat Allah) tanpa mengenal waktu. Sehingga tengah malam ia bangun bahkan tidak tidur, demi membina romantika dengan tuhannya.

Begitu juga para ilmuan yang selalu menghidupkan aktivitas literasi (Membaca, Berdiskusi, dan Menulis) sehingga menjadi hebat dan luar biasa. Di dalam hati dan pikiran mereka ada cinta yang ditumbuhkan terhadap aktivitas literasi sehingga mereka cinta dengan buku-buku, dan tidak hanya sekedar membaca, tetapi ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari membaca mereka diskusikan bahkan menuliskannya. Nah, Itulah cinta, sekaligus dengan buktinya. Tidak hanya menjadikan buku-buku sebagai pajangan indah di perpustakaan tanpa makna tetapi mereka jadikan diri mereka sebagai pusat ilmu pengetahuan dengan menghafalkannya.

Sebagai contoh Imam As-Syafi’I dalulu, ketika belajar ia selalu menuliskan setiap pelajarannya, bahkan menghafalkannya. Dalam riwayat dijelaskan Imam syafii menulis hampir penuh rumahnya dengan hasil tulisannya kemudian karena dia ingin mengikatnya (Cinta) maka dia menghafalkannya.

Tahu kenapa? Karena itu merupakan adab insan pembelajar terhadap ilmu dan bukti kecintaannya ‘The Real of Love’’. Bahkan ada beberapa keterangan yang menguatkannya. Seperti Hadist Rasulullah SAW yang bersabda Kaiyidul Ilma Bil Kitab, yang artinya ikatlah ilmu dengan menulisnya. Bahkan lebih kuat lagi sabda beliau kepada para sahabatnya. Salah satu adalah Abdullah Bin Amr. Beliau bersabda ‘’Tulislah. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangannya. Tidaklah keluar darinya melainkan kebenaran’’. Pun juga, Imam Syafi’I berkata ‘’Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya, Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Termasuk kebodohan kalau engkau memburu kijang, setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja.

Berbagai penjelasan di atas menunjukkan bahwa dengan kekuatan cinta, maka seseorang akan semakin dekat dengan yang di cintainya bahkan tidak ingib berpisah dengannya. Bahkan mereka akan berusaha bahwa sesuatu yang dicintainya akan selalu menyatu dan bersemayam dengannya sehingga tidak saja ketenangan yang mereka rasakan atau kedamaian dalam pikirannya tetapi kebahagiaan selalu bersinar dan terpancar dari dirinya.

Karena penyatuan cinta antara jiwa yang suci dengan kemulian ilmu yang tak ternilai. Dari keikhlasan tuhan dan kekuatan cinta seorang hamba. Jangankan diri dan lingkungannya bahkan hingga dunia takluk kepadanya. Maka, kejarlah ilmu dengan cinta. Jika engkau telah jatuh cinta kepadanya maka sedetikpun engkau tidak akan pernah melepaskannya.

Peradaban Manusia

Untuk memahami budaya literasi, cinta dan peradaban manusia, setiap kita harus mengerti bahwa peradaban manusia akan selalu berganti dan pasti akan ada generasi terbaik yang mewarisi setiap perkembangannya. Oleh karenanya, berangkat dari pandangan itu bahwa kita harus tersadar dan menyiapkan diri dalam rangka untuk mewarisi peradaban terbaik.

Semesta ini selalu diisi oleh orang-orang yang memiliki pemikiran yang berbeda atau disebut dengan ‘’Innovation of Mind’’ sehingga pandangan yang berbeda itulah yang menjadikan ia berbeda dengan yang lain.

Sebagai contoh bahwa ketika banyak orang sedang memikirkan hanya tentang kebutuhan perut dan kebutuhan hidup (mencari, mengejar kekayaan) dan sejenisnya sehingga lupa terhadap hakikat hidupnya, maka mereka itu termasuk orang-orang yang memiliki cara berfikir yang kerdil. Mengapa? Karena mereka berfikir hanya untuk kepentingan sendiri. Sementara kehidupan manusia tidak sendiri melainkan secara sosial dan peradaban manusia akan selalu berkembang.

Artinya bahwa konstruksi berfikir yang dibangun harus lebih besar daripada konstruksi berfikir manusia pada umumnya sehingga karakter berfikir dari pewaris terbaik peradaban adalah tidak hanya berfikir untuk dirinya sendiri melainkan berfikir dan berkontribusi terhadap orang banyak atau kemaslahatan umat dari berbagai bidang keilmuan dan segala usaha lain tentunya.

Hal ini selaras dengan yang disampaikan oleh baginda nabi Rasullullah Muhammad SAW bahwa ‘’Khairunnas Anfauhum Linnas yang artinya Manusia terbaik adalah manusia yang banyak memberikan manfaat kepada manusia lainnya’’. Berangkat dari pandangan ini bahwa peradaban manusia harus terus dibina dengan baik. Baik dengan budaya literasi, dengan cinta yang tak terbatasi atau dengan segala usaha yang harus dilunasi.

Karena itu, budaya literasi dan cinta harus selalu tercipta. Baik dalam lingkungan akademik maupun sosial, agar peradaban ini semakin baik. Kemudian yang berhubungan dengan perbedaan pandangan dan atau tafsiran dalam mengisi peradaban, itu merupakan hal yang lumrah terjadi bahkan dari masa ke masa.

Prinsipnya adalah petik saja hikmah dari khazanah setiap pandangan yang berbeda dari para ilmuan itu. Jangan fanatik buta, pelajari dengan baik, gagasan dan konsepnya. Setelah itu disaring dengan pikiran dan hati nurani. Sebagaimana kutipan dalam sebuah buku The Literacy Wars bahwa ‘’Tidak ada satupun pandangan yang benar tentang keaksaraan yang akan  diterima secara universal’’ bahkan ada sejumlah definisi yang bersaing dan definisi itu terus berubah dan berkembang.

Maka dalam perspektif literasi tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak melainkan kebenaran yang hanya bersifat sementara. Bisa berubah karena perkembangan waktu, tempat, maupun berubah karena perbedaan tafsiran. Oleh karena itu, mengertilah dengan cinta dan pahamilah dengan bahasa ketuhanan. Jika engkau telah menemukannya maka engkau akan meraih kebahagiaan darinya.()

ilustrasi: pixabay.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *