Harmoni Keyakinan di Tengah Perbedaan: Refleksi Ekofenomenologis atas Sejarah dan Kesadaran Keberagamaan

Bermula dari sebuah perenungan sejarah Amerika setelah mengikuti perkuliahan di kelas mata kuliah Religious, Myths and Rituals oleh Prof. Michael Alexander, dengan judul ”Native American Religion post Europe-African”. Kuliah ini membahas transformasi kehidupan masyarakat Pribumi Amerika (Native Americans) setelah kedatangan bangsa Eropa dan Afrika ke Benua Amerika. Sejarah Pembantaian Wounded Knee pada Desember 1890 menggambarkan transformasi tragis masyarakat Pribumi Amerika setelah kedatangan bangsa Eropa dan Afrika ke Benua Amerika, di mana agama menjadi pusat konflik kultural dan alat kontrol politik.

Dalam konteks ini, pemerintah Amerika Serikat melalui Office of Indian Affairs memaksa suku-suku pribumi tinggal di wilayah reservasi dan menekan ritual keagamaan mereka seperti Tarian Hantu, yang oleh para agen federal dianggap sebagai bentuk kegilaan dan ancaman terhadap keamanan nasional. Ketegangan memuncak ketika Kepala Suku Big Foot bersama 350 pengikutnya, termasuk perempuan dan anak-anak, ditahan di Wounded Knee Creek dan dibantai oleh tentara Amerika pada 29 Desember 1890, menewaskan sekitar 200 orang Indian — peristiwa yang mengakhiri secara tragis gerakan Tarian Hantu. Tragedi ini menyingkap paradoks konstitusional Amerika: bahwa kebebasan beragama ternyata tidak berlaku bagi mereka yang tidak diakui sebagai warga negara, menjadikan ritual spiritual pribumi sebagai “kejahatan” di mata hukum.

Di sisi lain, kebijakan reservasi dan pemindahan paksa, seperti dalam Trail of Tears di bawah Indian Removal Act (1830), memutus hubungan masyarakat pribumi dengan tanah leluhur, menghancurkan kohesi budaya, dan mengasingkan mereka dari ekosistem spiritual yang mereka sucikan. Kebijakan federal berikutnya seperti Peace Policy Presiden Ulysses S. Grant memperparah situasi dengan memaksakan asimilasi melalui kristenisasi, pendidikan Barat, dan gaya hidup menetap, disertai kriminalisasi ritual tradisional melalui Religious Crimes Code (1884). Sekolah-sekolah asrama seperti Sherman Institute menjadi alat penghapusan budaya, memisahkan anak-anak dari keluarga dan mengajarkan nilai-nilai individualistik ala Barat, meski pada dekade 1960-an lembaga-lembaga tersebut kemudian diambil alih kembali oleh masyarakat pribumi sebagai pusat kebanggaan budaya.

Di bidang ekonomi, Dawes Act (1887) menghancurkan sistem kepemilikan tanah komunal dengan memperkenalkan kepemilikan individu, menyebabkan perpecahan sosial dan mempercepat hilangnya nilai-nilai kebersamaan yang menjadi dasar kehidupan suku-suku pribumi. Dalam situasi kehilangan dan penindasan itu, muncul gerakan spiritual Tarian Hantu yang dipelopori oleh Wovoka dari suku Paiute, yang mengajarkan cinta, kedamaian, dan harapan akan pembaruan dunia tanpa penderitaan — suatu bentuk teologi harapan dan pemulihan kosmik yang bercampur unsur Kristen dalam konteks Lakota Sioux. Namun, ritual damai ini disalahpahami oleh pemerintah sebagai tarian perang, ditakuti karena penggunaan Ghost Shirts yang dianggap kebal peluru, dan akhirnya dilarang keras oleh negara.

Kesaksian penyintas seperti Red Cloud menggambarkan keputusasaan yang mendalam, di mana iman yang murni bertemu dengan kekuasaan yang represif, menandai kehancuran spiritualitas yang tidak hanya bersifat fisik tetapi juga eksistensial. Hingga kini, Wounded Knee tetap menjadi simbol rasisme, kolonialisme, dan intoleransi keagamaan di Amerika, sekaligus cermin kontradiksi antara cita-cita kebebasan yang diagungkan dan praktik asimilasi paksa yang menindas, memperlihatkan bagaimana media dan narasi dominan membentuk persepsi publik terhadap yang “lain”. Maka dari itu, Tarian Hantu bukan hanya ritual keagamaan, melainkan tindakan iman, perlawanan kultural, dan simbol kelangsungan budaya — sebuah penegasan bahwa spiritualitas sejati tidak dapat dibunuh, meski tubuh dan tanahnya dirampas.

Baca Juga  Difabel, Inklusi, dan Demokratisasi Pendidikan

Dari nukilan kisah dramatis di atas, bahwa sejarah umat manusia menunjukkan perbedaan keyakinan sering kali menjadi sumber disonansi sosial yang mengancam perdamaian. Perang Salib, konflik sektarian di Timur Tengah, hingga gesekan antar kelompok agama di Nusantara adalah bukti bahwa manusia kerap gagal memahami esensi spiritual dari keberagamaan. Agama yang sejatinya menjadi jalan menuju kedamaian dan keseimbangan, justru terjebak dalam klaim kebenaran yang eksklusif dan memisahkan. Dalam konteks ini, refleksi atas sejarah menjadi penting bukan sekadar untuk mengenang, melainkan untuk menumbuhkan kesadaran baru tentang hakikat keberagamaan yang seimbang dan ekologis.

Dalam lintasan sejarah, perbedaan agama sering kali dimaknai secara antagonistik, masing-masing kelompok mengklaim dirinya sebagai representasi tunggal kebenaran. Padahal, seperti yang dikatakan Karen Armstrong, agama pada dasarnya bukan sistem yang mengajarkan kebencian, tetapi “sebuah proyek belas kasih” yang menuntut empati universal. Ketika sejarah menunjukkan luka-luka keagamaan, yang sejatinya tampak adalah kegagalan manusia dalam menghadirkan belas kasih itu di ruang sosial.

Di Indonesia sendiri, sejarah keberagamaan sejak masa kerajaan-kerajaan hingga era modern memperlihatkan dinamika antara harmoni dan konflik. Misalnya, pada masa Wali Songo, penyebaran Islam dilakukan melalui pendekatan budaya dan dialog lintas keyakinan yang damai. Namun, seiring modernitas dan politik identitas, muncul tantangan baru: bagaimana menjaga harmoni iman di tengah pluralitas yang makin kompleks?

Dalam perspektif ekofenomenologi, pengalaman keagamaan tidak dapat dipisahkan dari konteks dunia tempat manusia berada. Maurice Merleau-Ponty menekankan bahwa tubuh manusia adalah medium keterbukaan terhadap dunia; melalui tubuh, manusia berelasi dengan realitas yang lain. Dengan demikian iman tidak hanya bersifat kognitif atau teologis, tetapi juga ekologis—mengakar pada pengalaman manusia dalam jaringan kehidupan yang saling bergantung.

Ekofenomenologi mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang berada-dalam-dunia (being-in-the-world) bersama yang lain — manusia lain, makhluk hidup lain, dan alam itu sendiri. Kesadaran ini membuka ruang empatik bahwa sebagaimana hutan memerlukan keberagaman flora untuk menjaga keseimbangannya, demikian pula masyarakat membutuhkan keberagaman iman untuk menjaga keluhuran moral dan sosialnya.

David Abram, dalam karyanya The Spell of the Sensuous, menegaskan bahwa dunia ini adalah “jejaring makna yang hidup,” di mana manusia, hewan, tumbuhan, dan elemen alam lainnya saling berbicara dalam bahasa eksistensial yang sunyi. Dalam bingkai ini, perbedaan agama dapat dimaknai sebagai bentuk keragaman bahasa spiritual dalam ekosistem kehidupan. Sebagaimana hutan memerlukan keanekaragaman hayati untuk menjaga keseimbangannya, demikian pula masyarakat manusia membutuhkan keanekaragaman iman untuk menjaga kesehatan moral dan spiritualnya.

Baca Juga  Kebebasan Sipil sebagai Tantangan dalam Demokrasi (1)

Islam sendiri memiliki fondasi teologis yang kuat untuk mendukung pandangan ekofenomenologis ini. ”Alam tara annallâha yusabbiḫu lahû man fis-samâwâti wal-ardli wath-thairu shâffât, kullung qad ‘alima shalâtahû wa tasbîḫah, wallâhu ‘alîmum bimâ yaf‘alûn”. Tidakkah engkau (Nabi Muhammad) tahu bahwa sesungguhnya kepada Allahlah apa yang di langit dan di bumi dan burung-burung yang merentangkan sayapnya senantiasa bertasbih. Masing-masing sungguh telah mengetahui doa dan tasbihnya. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka lakukan. (QS. An-Nur: 41). Ayat ini menunjukkan bahwa seluruh makhluk—manusia, hewan, tumbuhan, bahkan batu dan air—adalah peserta dalam simfoni keberadaan yang memuliakan Tuhan. Dengan demikian, menghormati perbedaan keyakinan sesungguhnya merupakan bagian dari menjaga keseimbangan ekosistem spiritual dunia.

Dalam refleksi ini, harmoni antar keyakinan bukan sekadar upaya sosial, melainkan tanggung jawab ekologis-spiritual. Manusia yang mampu melihat keberagaman sebagai lanskap kehidupan yang harus dijaga, sejatinya tengah berpartisipasi dalam zikir kosmik — kesadaran bahwa setiap unsur alam dan setiap insan sedang memuji Sang Pencipta dengan caranya masing-masing. Ketika seseorang menghormati keyakinan lain, ia sedang menjaga ekosistem spiritual dunia agar tidak kering oleh fanatisme dan kebencian.

Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa krisis spiritual modern sejatinya adalah krisis ekologis: manusia kehilangan kesadarannya sebagai makhluk yang terhubung dengan kosmos. Oleh karena itu, membangun harmoni antarumat beragama bukan sekadar proyek sosial, tetapi upaya pemulihan ekologi spiritual manusia—yakni mengembalikan posisi manusia sebagai penjaga keseimbangan, bukan sumber kerusakan.

Tantangan terbesar kita hari ini adalah bagaimana mengembalikan keberagamaan ke dalam ruang pengalaman yang hidup — pengalaman yang menumbuhkan, bukan memisahkan. Dalam kerangka ekofenomenologis, iman tidak berhenti pada doktrin, melainkan berlanjut pada keterlibatan ontologis dengan dunia. Seorang beriman sejati tidak hanya menjaga relasinya dengan Tuhan, tetapi juga dengan manusia lain dan seluruh ciptaan.

Sebagai catatan akhir, bahwa harmoni keyakinan di tengah perbedaan menuntut perubahan cara pandang: dari melihat agama sebagai “identitas tertutup” menuju agama sebagai “ruang dialog eksistensial.” Seperti hutan yang sehat karena keberagamannya, masyarakat akan damai bila iman-iman yang berbeda saling berakar pada kasih sayang, bukan kecurigaan. Dalam kaca mata ekofenomenologi, bahwa perbedaan itu bukanlah jarak, melainkan jembatan bagi kesadaran baru bahwa kita semua adalah bagian dari satu ekosistem yang diciptakan Tuhan untuk saling berdampingan dan saling menghidupi.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *