Nuansa Masjid Jawa di Tengah Kota Bangkok yang Metropolitan

KETIKA berbicara tentang Bangkok atau Thailand, secara umum pikiran sebagian besar orang pasti tertuju pada pariwisata yang glamor atau agama budha yang sangat dominan. Tidak banyak orang yang tahu, bahwa ada komunitas kecil masyarakat keturunan Jawa yang tinggal di tengah kemegahan Kota Bangkok.

Bukan hanya masyarakat keturunan Jawa, bahkan cucu KH Ahmad Dahlan, tokoh Islam yang sangat dikagumi di Indonesia bahkan dunia, masih ada di sana dan menjadi tokoh dan intelektual Islam yang cukup disegani.

Perkampungan warga keturunan Jawa tentu saja mayoritas beragama Islam. Yang menarik saat berada di sana, ada sebuah masjid yang berdiri kokoh dengan arsitektur yang sangat identik dengan masjid-masjid kuno yang ada di Jawa, Indonesia.

Baca juga: Relasi Historis Nelayan Makassar dan Suku Aborigin Australia

Bahkan jika kita tidak keluar dari lingkungan masjid, kita tidak merasa sedang berada di Kota Bangkok yang dikenal dengan kota seribu kuil itu. Suasananya benar-benar seperti di Jawa dengan ciri khas gang-gang kecil yang hanya bisa dilewati satu mobil mini bus.

Saya kebetulan berkesempatan berkunjung ke sana pada bulan Ramadhan tahun 2014 silam, sehari sebelum lebaran Idulfitri. Saya bersama teman-teman bertolak dari Kota Hatyai menuju Kota Bangkok dengan bus dengan jarak tempuh sekitar 10-12 jam. Sesampai di terminal bus utama di Kota Bangkok, kami langsung menaiki tuk-tuk menuju daerah Sathorn, tempat masjid Jawa berada.

Suasana Halalbihalal Jamaah Masjid Jawa

Sesampai di sana, saya merasa seperti berada di “Jogja”. Kebetulan waktu itu sudah menjelang berbuka puasa. Warga terlihat sibuk silih berganti membawa takjil untuk berbuka puasa bersama di masjid.

Petugas masjid pun dengan sigap menerima makanan yang dibawa oleh warga, kemudian dimasukkan ke dalam nampan untuk dihidangkan kepada para jamaah yang hendak berbuka puasa di sana.

Baca Juga  Menyoal "Single Mom" dalam Rumah Tangga

Saya dan teman yang berasal dari Jawa tentu saja langsung mengambil posisi. Kebetulan tempat duduk kami bersebelahan dengan seorang kakek yang berusia kira-kira di atas 60 tahun.

Saat mendengar kami berbahasa Indonesia, kakek itu pun langsung menyapa kami, bukan dengan bahasa Indonesia, tetapi dengan bahasa Jawa yang sangat medhok.

Penulis dengan Pak Slamet

“Aku wong Jowo. Njenengku Slamet.” Ucapnya dengan sangat fasih. Kakek ini ternyata merupakan keturunan ke dua, artinya, ibu dan bapaknya asli orang Jawa yang dulu tinggal di sini.

Seketika komunikasi menjadi sangat hangat dan penuh rasa persaudaraan. Setelah itu, Pak Slamet memperkenalkan kami kepada pengurus masjid.

Mengetahui kami dari Indonesia, pengurus masjid sangat senang, seolah-olah melihat kami seperti saudara jauh mereka. Akhirnya niat kami ingin menginap di masjid pun disambut dengan sangat baik.

Ketika menginap di masjid, saya menyaksikan banyak warga keturunan Jawa yang menghidupkan masjid. Peran mereka beragam, mulai dari tokoh agama yang menjadi imam, muazin, pengajar ngaji, sampai dengan jamaah biasa yang sekedar meramaikan masjid dengan berbagai kegiatan dan adat istiadat khas orang Jawa. Ada juga bagian membantu menyiapkan makanan untuk dimakan bersama.

Baca juga: Merantau untuk Membangun Negeri: Kearifan Hidup Diaspora Bima-Dompu

Pakaian yang digunakan di masjid pun beragam: gamis, jubah, dan bahkan perempuan banyak yang tidak mengenakan jilbab, seperti warga lokal yang beragama Budha.

Menariknya, warga keturunan Jawa ini sebagian besar belum pernah ke Jawa dan tidak tahu Jawa itu berada di mana. Bahasa sehari-hari pun menggunakan bahasa Thai dan sama sekali tidak bisa berbahasa Jawa, apalagi bahasa Indonesia.

Wajar saja, mereka ini sudah merupakan keturunan ke tiga atau lebih yang sama sekali tidak pernah bertemu langsung dengan nenek moyangnya atau mendengarkan komunikasi langsung dalam bahasa Jawa.

Baca Juga  Bumi Juga Bernyawa dan Bertuhan

Keesokan harinya, saya bersama teman-teman yang datang dari Kota Hatyai ikut merasakan indahnya suasana Idulfitri yang penuh dengan nuansa kebersamaan khas orang Jawa.

Tidak lupa panitia Idulfitri menyediakan makanan dengan nampan yang merupakan sedekah dari para warga untuk dimakan bersama para jamaah yang merayakan salat Idulfitri di masjid Jawa. Sungguh pengalaman yang sangat berkesan dan penuh makna.[]

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *