Sertifikasi dan Labelisasi Haram, Mungkinkah?

DALAM Islam, masalah halal dan haram menempati posisi yang paling penting karena berkaitan dengan masalah ketaatan dan kepatuhan kepada ajaran. Masalah ini juga berkaitan dengan perintah dan larangan.

Perintah melahirkan ajaran yang harus  ditaati dan berkaitan erat dengan masalah halal, sedangkan larangan akan melahirkan ajaran yang harus ditinggalkan dan berkaitan erat dengan masalah haram.

Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, jaminan kehalalan sebuah produk menjadi hal yang urgent bagi umat Islam di tengah beredarnya produk-produk di  pasar global. Umat Islam sebagai salah satu konsumen terbesar yang menjadi target  bagi  produsen dunia, mengharapkan agar setiap produk yang akan dikonsumsi harus terjamin kehalalannya.

Proteksi terhadap konsumen muslim dengan melakukan sertifikasi halal telah menjadi tuntutan Internasional. Tidak hanya di negara mayoritas muslim, tetapi juga di negara “sekuler”.

Baca juga: Wisata Halal: Memenuhi Gaya Hidup Kelas Menengah Muslim

Negara Malaysia memiliki JAKIM (Jabatan Kemajuan Islam Malaysia), Filipina menunjuk Office Muslim Affair (OMA), Singapura mendirikan Majelis Ulama Islam Singapura, Jepang memiliki Islamic Culture Center Kyushu, Halal Integrity Development Association (Taiwan), Westren Australian Halal Authority (WAHA) di Australia.

Di negeri Paman Sam, ada American Halal Foundation (AHF) merupakan salah satu lembaga pensertifikat halal yang ditunjuk di USA, Islamic Dessimination Center For Latin America (CDIL) di Brasil, Belanda memiliki Total Quality Halal Correct Certification (TQHCC).

Thailand, yang agama resmi negara adalah Buddha, memiliki dua lembaga kajian halal, yaitu Halal Standard Institute of Thailand dan The Halal Science Center Thailand, sementara lembaga yang berwenang mengeluarkan sertifikasi halal adalah Central Islamic Council of Thailand (CICOT). Di Indonesia, urusan sertifikasi dan labelisasi halal sudah menjadi kewenangan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Akan tetapi sejak tahun 2014, Pemerintah menerbitkan Undang-undang tentang Jaminan Produk Halal dan membentuk sebuah badan yang menyelenggarakan jaminan produk halal yang dikenal dengan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama RI.

Satu hal yang harus dipahami bahwa terbitnya UU tersebut tidak menghilangkan kewenangan MUI sebagai lembaga yang mengurus produk halal dan haram. MUI tetap berwenang untuk mengeluarkan fatwa halal terhadap sebuah produk, sehingga rekomendasi atau fatwa MUI tersebut dijadikan  sebagai acuan bagi pemerintah untuk menerbitkan sertifikat dan label halal terhadap sebuah produk.

Baca juga: Keshalehan Ruhani dan Harta

Baca Juga  Ntumbu Tuta: Tradisi Unik Masyarakat Desa Ntori dan Desa Maria Wawo

Terbitnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, di mana dalam pasal-pasalnya, terdapat pasal yang mewajibkan pelaku usaha mikro dan kecil untuk memiliki sertifikat halal bagi produk olahannya.

Dengan terbitnya Undang-Undang tersebut, berarti negara hadir dan bertanggung jawab terhadap semua produk makanan, obat-obatan, kosmetika, dan segala produk yang akan dikonsumsi harus memiliki jaminan halal ditandai dengan adanya sertifikasi dan labelisasi halal pada semua produk baik dari dalam negeri maupun produk luar.

Terbitnya Undang-Undang tentang Sertifikasi dan Labelisasi Halal tersebut merupakan salah satu bentuk pencapaian positif umat Islam saat ini, untuk menjamin umat dalam mengonsumsi makanan yang halal di antara beredarnya produk haram di era perdagangan bebas.

Satu hal yang harus dipertimbangkan lagi oleh pemerintah dalam hal ini adalah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai sebuah lembaga pemerintah di bawah institusi Kementerian Agama RI, yang mulai menjalankan tugasnya pada tahun 2019 lalu.

Tugasnya bukan hanya menerbitkan sertifikat dan label halal, tetapi sekaligus menerbitkan sertifikat dan label haram bagi produk yang jelas-jelas ada unsur keharamannya dalam rangka menjaga umat Islam dari beredarnya produk haram ataupun bahan olahan yang haram.

Sertifikasi atau labelisasi produk haram juga sangat dibutuhkan agar terdapat kejelasan status sebuah produk, karena dalam Islam telah dijelaskan bahwa sesuatu yang halal itu harus jelas dan sesuatu yang haram itu harus jelas, jangan sampai ada status abu-abu yang pada akhirnya menjadi sesuatu yang syubhat.

Pada dasarnya, dalam al-Qur`an dan Sunnah telah jelas dinyatakan keharaman jenis makanan. Jumlah dan jenis makanan yang secara tegas dinyatakan haram itu sangatlah sedikit bila dibandingkan dengan jumlah dan jenis makanan yang halal.

Oleh karena itu, dibutuhkan adanya penjelasan status makanan melalui sertifikasi dan labelisasi haram. Dengan demikian, menurut penulis, yang dibutuhkan oleh umat Islam itu bukanlah sertifikasi dan labelisasi halal saja, melainkan juga sertifikasi dan labelisasi haram, karena itu akan menentramkan hati umat Islam sebagai produsen dan konsumen terbesar di dunia.[]

Baca Juga  Pancasila Sebagai Civil Religious: Paradigma Alternatif Menuju Indonesia Harmoni (1)

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *