“AGAMA itu apa sih, Pak Kyai?” tanya salah seorang santri. Bukannya menjawab, sang kyai malah meraih biola di sampingnya dan menggeseknya sehingga lamat-lamat terdengar nada dengan ritme pelan dan indah. Para santri pun menikmati alunan nada itu, bahkan di antaranya terbuai dan memejamkan mata. Mereka tersentak setelah sang kyai menghentikan gesekan senar biolanya sembari bertanya “Gimana pendapat kalian tentang bunyi biolaku tadi?”.
Seorang santri menjawab “Enak, Pak Kyai, aku senang mendengarnya”.
“Bagus sekali Pak Kyai, hati ini jadi tenteram,” jawab santri lainnya.
“Itulah agama, dia menenteramkan, menenangkan!” Pak Kyai menyimpulkan.
Itulah kurang lebih percakapan Kyai Ahmad Dahlan, pendiri persyarikatan Muhammadiyah, dengan beberapa santrinya saat beliau pertama kali menyiarkan Islam di Yogyakarta pada 1912.Percakapan itu terekam dalam novel Sang Pencerah (2009) karya Akmal Nasery Basral yang kemudian difilmkan dengan judul yang sama. Jika melihat jarak waktunya, tak diragukan lagi bahwa pendekatan dakwah Kyai Dahlan itu dapat disebut sebagailompatan yang luar biasa untuk ukuran zamannya. Beliau mampu menawarkan pendekatan baru dalam aktivitas dakwah dan pembelajaranuntuk umat Islam di tanah air.
Jika dilihat dari perspektif dunia pendidikan hari ini, Kyai Dahlan sudah menerapkan pendekatan kontekstual, atau lebih sempit lagi pendekatan PAIKEMB (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan dan Bermakna) dalam kegiatan dakwahnya. Sebuah terobosan yang melampaui waktu dan tempat dari seorang pemimpin yang juga visioner. Ia merefleksikan sebuah praktik ‘out of the box’sebagai alternatif cara-cara dakwah konvensional umumnya.
Paling tidak ada dua yang hal berbeda dari Kyai Dahlan.Pertama, dia menggunakan media biola dalam aktivitas pendidikan dan dakwahnya, tatkala sebagian besar umat Islam masih sibuk memperdebatkan halal-haramnya hukum bermusik.Kedua, pendekatan dakwahnya yang kontekstual. Inovasi Kyai Dahlan semacam itulah yang bisa menjelaskan keberhasilan persyarikatan Muhammadiyah hingga hari ini. Konon, Muhammadiyah disebut-sebut sebagai salah satu (kalau bukan satu-satunya) ormas keagamaan terbesar – dengan puluhan juta anggota sekaligus memiliki aset terbesar di seluruh dunia.
Bayangkan, amal usaha Muhammadiyah ini menggurita mulai dari lembaga pendidikan (PAUD, pesantren hingga perguruan tinggi), fasilitas kesehatan (klinik hingga rumah sakit), lembaga sosial (panti asuhan), lembaga zakat hingga majelis taklim. Lembaga pendidikannya pun bukan kelas abal-abal melainkan beberapa diantaranya cukup berkelas dan mendapat kepercayaan luas dari masyarakat untuk menitipkan anak-anak mereka. Pada 2020 ini, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) bahkan menjadi perguruan tinggi swasta nomor wahid di tanah air versi Unirank, sebuah lembaga penelitian pendidikan internasional. Muhammadiyah juga sudah punya sejumlah cabang di luar negeri.
Tentu, rahasia lain keberhasilan Muhammadiyah adalah kemampuannya menahan diri dari godaan politik praktis. Meski dulu Kyai Dahlan sempat dibujuk-bujuk pemerintah kolonial Belanda agar Muhammadiyah menjadi parpol, tapi Kyai Dahlan sama sekali tidak tergiur. Dan ternyata pilihan sikapnya itu sangat tepat. Bandingkan misalnya, dengan ‘adiknya’ NU (1926) yang sempat tergoda dengan politiksehingga menyebabkan dua kerugian: selalu dihantui oleh perpecahan (mufarraqoh) internal serta menyebabkan berbagai amal usaha NU juga relatif terbengkalai.
Saya melihat bahwa pola-pola dakwah inovatif dan moderat dengan visi kuat seperti dilakukan Kyai Dahlan di atas mulai luntur dewasa ini. Sebaliknya, rancang-bangun dakwah kita semakin terjerembab dalam pendekatan yang skripturalistik sehingga berpotensi melahirkan pemahaman dan perilaku keagamaan intoleran. Kecenderungan ini terutama sekali bersamaan dengan munculnya era kebebasan sejak reformasi 1998. Saat itu, terbukanya kran demokratisasi juga dimanfaatkan oleh ‘penumpang gelap’ berbagai paham dan organisasi radikal, termasuk yang diimpor dari luar, khususnya Timur Tengah.
Setelah sekian lama bergerilya dan hidup di bawah tekanan politik Orde Baru yang represif maka era demokrasi tersebut menjadi panggung buat mereka untuk menunjukkan kontestasi sekaligus mengekspresikan sikap keagamaan mereka yang tertahan selama ini. Dan hasilnya cukup mencengangkan! Mereka berhasil menarik perhatian termasuk kalangan menengah perkotaan seiring dengan kondisi negara yang lemah (powerless) menghadapi berbagai tekanan masalah dalam negeri seperti kerusuhan, tawuran, korupsi, narkoba, miras, bencana alam,dan lain-lain.
Lemahnya kemampuan negara, terutama dalam penegakan hukum, telah menyebabkan sebagian masyarakat mengalami disorientasi psikologis sehingga tawaran-tawaran pragmatis dari gerakan radikal, seperti isu penegakan syariat Islam, menjadi tidak terhindarkan. Celakanya, invasi paham radikal semacam ini telah menggerogoti hampir semua institusi penting dan strategis seperti lembaga pendidikan (sekolah, pesantren dan kampus), birokrasi pemerintahan, LSM, MUI, bahkan sebagian kalangan Polri/TNI termasuk ormas keagamaan moderat seperti NU dan Muhammadiyah.
Alhasil, invasi yang berlangsung massif tersebut telah mengubah kultur dan corak masyarakat Indonesia dari watak toleran dan moderat menjadi cenderung intoleran, radikal dan anarkis. Paling tidak kesan seperti itu terbaca dari buku Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (2009) yang merupakan hasil riset bareng PB NU dan PP Muhammadiyah.
Lantas, dari mana sumber munculnya radikalisme keagamaan itu? Secara sederhana ada beberapa kemungkinan. Pertama, karena faktor kemiskinan ekonomi. Tapi tesis ini lemah karena sebagian anggota gerakan radikal justru berasal dari keluarga ekonomi menengah ke atas bahkan kaya, seperti tokoh Al-Qaida Osamah Bin Laden yang memiliki kerajaan bisnis terbesar di Arab Saudi (Bin Laden Group). Kedua, faktor rendahnya tingkat pendidikan. Tesis ini juga lemah karena pengikut gerakan radikal banyak yang berpendidikan tinggi seperti dr. Azhari. Ketiga, faktor ideologi. Saya kira faktor inilah yang relatif masuk akal karenasuatu tindakan atau keputusan yang dilakukan atas dasar ideologi melampaui segala rasionalitas (termasuk rasionalitas ekonomi dan pendidikan) yang ada. Jika ideologi itu bersifat keagamaan tentu lebih problematik lagi karena tindakan itu dilakukan untuk ‘memuliakan Tuhan’ meski dengan jalan ‘menghancurkan kemanusiaan’.
Hal itu semakin mengkhawatirkan mengingat kenyataan bahwa ‘agama’ merupakan salah satu faktor ‘pemisah’ yang membuat seseorang merasa ‘berbeda’ dengan orang atau kelompok lain. Menurut Susanto (dalam Fadjar dan Arifin, 2001: 6) dalam interaksi sosial terdapat dua jenis jarak sosial, yaitu jarak sosial objektif dan subjektif. Karsidi (dalam Fadjar dan Arifin, 2001: 6) menjelaskan bahwa jarak sosial objektif meliputi jarak yang disebabkan oleh keadaan geografis dengan kesukaran transportasi, agama, etnis dan status sosial ekonomi. Sedangkan jarak sosial subjektif adalah perasaan dan pikiran seseorang terhadap orang lain yang hendak (tak ingin) diajak berkomunikasi.
Sebagai faktor subjektif, perasaan dan pikiran seseorang terhadap orang lain banyak berhubungan dengan kesan (impresi), yaitu hasil persepsi seseorang terhadap pihak lain yang diajak berkomunikasi. Berdasarkan kategori di atas, tampak bahwa ternyata (perbedaan) agama dapat menjadi sumber munculnya berbagai prasangka dalam hubungan sosial. Ini berarti bahwa meski secara objektif dua orang beragama yang berbeda hidupnya bertetangga tapi secara subjektif mereka merasa berjauhan.
Lalu, bagaimana cara meredam potensi laten perbedaan agama agar tidak berkembang menjadi bola liar yang destruktif? Menurut Arifin (dalam Syahroni AJ, 2003: 100), ada tiga faktor utama yang mendukung integrasi dalam pluralitas keberagamaan. Pertama, pemahaman agama, yang menekankan pada pemaknaan secara eksternal dan internal agama yang dipeluknya maupun agama yang dipeluk orang lain. Pemaknaan internal menunjukkan bahwa masyarakat tetap meyakini kebenaran agama yang dipeluknya. Sedangkan eksternal menunjukkan bahwa dalam agama lain juga ada kebenaran yang seharusnya juga perlu dihormati. Kedua, rasa memiliki kebudayaan yang sama (sense of common culture). Ketiga, tokoh agama dan tokoh masyarakat yang akomodatif yang bisa menyelesaikan konflik antarkelompok agama.
Dari ketiga faktor di atas, saya merasa kita sudah kecolongan ketiga-tiganya. Dari faktor pemahaman agama maka wacana-wacana keagamaan yang bercorak radikallah yang menyerbu kita saat ini. Demikian pula rasa memiliki kebudayaan yang sama, banyak diantara anak bangsa yang menerapkan standar ganda: secara administratif ia memang berkewarganegaraan Indonesia tapi secara ideologis ia menjadi pembenci Pancasila dan anti dengan paham kebangsaan. Hal itu dapat dilihat dari beberapa pribadi maupun lembaga yang sampai hari ini masih mempersoalkan Pancasila sebagai tikar kebangsaan kita: menolak upacara maupun menghormati bendera karena dianggap ‘syirik’. Sedangkan dari faktor ketiga, justru banyak tokoh yang bersikap partisan sehingga sulit diharapkan untuk menyelesaikan berbagai konflik yang ada.
Oleh karena itu, di tengah sikap keberagamaan maupun corak dakwah yang kian eksklusif dan skripturalistik dewasa ini maka pola dan romantisme dakwah ala Kyai Dahlan seharusnya dapat direvitalisasi kembali. Di sisi lain, rangkaian konflik-konflik bernuansa SARA menurut saya merupakan peringatan keras akan bola liar pemahaman keagamaaan semacam itu. Peristiwa tersebut juga peringatan bahwa tikar kebangsaan yang kini kita duduki bersama ternyata belum seluruhnya selesai dianyam.[]
Ilustrasi: benderaindonesia.com
Akademisi, mantan wartawan kampus, dan pengagum Gandhi, “Plain Living High Thinking”.