Syaikh Abdul Gani al-Bimawi, “Maha Guru” Ulama Nusantara

SALAH satu ulama Bima-Dompu yang cukup terkenal di Nusantara bahkan di dunia Islam adalah Syaikh Abdul Ghani al-Bimawi, atau dikenal dengan al-Bimawi. Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan VXIII mencatat bahwa beliau dianggap sebagai “Maha Guru” ulama Nusantara pada abad ke XIX yang belajar di Makkah al-Mukarramah, sehingga tidak mengherankan ulama-ulama sekaliber KH. Hasyim Asy’ari Jombang pendiri NU dan KH. KHolil Bangkalan yang terkenal dengan karomahnya, sangat menghormati Syaikh Abdul Ghani, sehingga muncul cerita ketika keduanya naik delman, dan mengetahui bahwa kuda penarik delman itu berasal dari Bima, maka segera beliau berdua turun dari delman karena menghormati kuda Bima asal sang Guru.

Syaikh Abdul Ghani al-Bimawi lahir pada paruh terakhir abad ke-18, kira-kira tahun 1780 M di Bima Nusa Tenggara Barat dan wafat pada tahun 1270-an H/1853 M dimakamkan di Ma’la Makkah al-Mukarramah. Tidak ada catatan yang terang mengenai kapan hari lahirnya, tapi yang jelas beliau berasal dari lingkungan keluarga ulama yang memiliki perhatian yang sangat tinggi dalam mengkaji al-Qur’an.

Syaikh Abdul Ghani al-Bimawy merupakan putra dari Syaikh Subuh, pernah menjadi imam Masjidil Haram. Beliau menikah dengan gadis asal Dompu dan melahirkan seorang putra yang bernama Syeikh Mansur atau biasa disapa Sehe Jedo. Syaikh Mansur memiliki dua orang putra yaitu Syaikh Mahdali atau lebih masyhur dengan sebutan Sehe Boe dan Syaikh Muhammad. Syaikh Boe sempat menjadi Qadhi Kesultanan Dompu di masa-masa akhir kesultanan Dompu.

Muslimin Hamzah dalam Ensiklopedi Bima menjelaskan bahwa karena putra-putra Syaikh Subuh ini memiliki kemampuan yang mumpuni dalam bidang agama juga memiliki karomah, maka mereka dianggap setara dengan sultan. Panggilan atau sebutan yang disematkan kepada mereka pun sama dengan sebutan untuk sultan. Masyarakat Bima-Dompu menyebut keturunan Syaikh Abdul Ghani al-Bimawi ini sebagai keturunan Ruma Sehe (Ruma artinya Tuhan, Tuan; Sehe yang berarti Syaikh) atau juga dikenal dengan “Koko Janga Ruma Sehe” (kokok ayamnya Ruma Sehe) “orang-orang yang tidak pernah tidur karena rajin beribadah sepanjang malam sebagaimana ayam berkokok di pagi buta”.

Kakek buyutnya bernama Syaikh Abdul Karim berasal dari Makkah al-Mukarramah kelahiran Baghdad. Konon Syaikh Abdul Karim datang ke Indonesia dalam rangka mencari saudaranya. Daerah Nusantara pertama kali yang beliau datangi adalah Aceh, lalu ke Banten dan ke Sumbawa. Sebelum ke Sumbawa, beliau singgah terlebih dahulu di pulau Lombok bagian Utara. Syaikh Abdul Karim mengajarkan sholat masyarakat di sana hanya sampai tiga waktu sholat sehingga muncul istilah “wetu telu” yang berarti waktu tiga yang sampai saat ini dikenal luas oleh masyarakat Lombok. Sumber lain menyebutkan juga bahwa pembawa Islam di Lombok (Bayan) adalah Sunan Prapen anak dari Sunan Giri Gresik dan juga Datuk Ri Bandang dari Minangkabau setelah mengislamkan Bima, Dompu dan Sumbawa.

Baca Juga  Mata Air di Tengah Kegersangan: Franchise untuk Walikota Bima

Sebelum sampai ke Dompu, Syaikh Abdul Karim mampir dulu di Sumbawa untuk berdagang dan mengajarkan agama Islam, setelah itu, beliau menuju ke timur hingga sampai daerah Dompu. Di sini, beliau juga berdagang sambil memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat hingga sultan. Memperhatikan kemampuan beliau, Sultan Dompu pun sangat mengaguminya dan jatuh hati padanya sehingga sultan Dompu menikahkan putrinya dengan Syaikh Abdul Karim.

Dari pernikahannya dengan putri sultan Dompu ini, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Ismail. Ismail mengikuti jejak ayahnya sebagai pendakwah kemudian menikah dengan seorang gadis sehingga melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Subuh. Syaikh Subuh sendiri merupakan seorang penghafal al-Qur’an sejak muda dan pernah menjadi imam kesultanan Bima pada masa Sultan Alauddin Muhammad Syah (1731-1748 M). Syaikh Subuh merupakan penulis mushaf Bima yang diberi nama LA LINO, (al-Syamil, melimpah ruah, menyeluruh), satu-satunya mushaf Bima yang ditulis tangan dan termasuk mushaf tertua di Indonesia.

Dalam perjalanannya menuju Bima, Syaikh Subuh sempat menikahi seorang gadis dari kampung Sarita, Soromandi Bima. Dari pernikahan tersebut melahirkan seorang putra yang diberi nama Abdul Ghani.

Setelah Abdul Ghani tumbuh besar dan menyerap ilmu agama dari keluarga dan ulama-ulama yang ada di sekitarnya, Syaikh Abdul Ghani meminta izin kepada ayahnya untuk pergi haji yang selanjutnya menuntut ilmu di tanah Hijaz. Ada semacam slogan tidak tertulis di kalangan ulama Nusantara “jika ingin mendalami Islam secara spesifik dan mendalam maka belajarnya di kampong Al Jawi di Hijaz”, dan itulah yang dilakukan oleh Syaikh Abdul Ghani.

Di Haramain Syaikh Abdul Ghani belajar kepada ulama-ulama yang bertebaran di Serambi Masjidil Haram dengan halaqoh ilmiahnya. Beliau mengaji kepada ulama-ulama ternama di sana di antaranya: al-Allamah al-Sayyid Muhammad al-Marzuki dan saudaranya Sayyid Ahmad al-Marzuqi, pengarang kitab Aqidatul Awam, Muhammad Sa’id al-Qudsi -mufti madzhab syafi’i-, dan al-‘Allamah ‘Utsman Ad-Dimyathi. Khairuddin Az-Zirikli dalam kamus tarajimnya, al-A’lam, mencatat bahwa Syaikh Abdul Ghani banyak mengambil ilmu dari ulama-ulama tersebut di atas.

Keilmuan Syaikh Abdul Ghani sudah terlihat menonjol sedari beliau belajar dasar-dasar ilmu agama Islam terlebih ilmu Fiqih dan ilmu Falak, maka tidak mengherankan jika beliau ditunjuk oleh para gurunya agar ikut serta mengajar di Masjidil Haram. Sebagai pengajar di Masjidil Haram, Syaikh Abdul Ghani banyak membantu para pencari ilmu terutama dari Nusantara, baik dari urusan keilmuan maupun perekonomiannya. Hal ini terjadi karena pada waktu itu, kiriman biaya hidup pelajar Nusantara sangat bergantung pada orang-orang yang berangkat haji.

Baca Juga  Rakyat Pemimpin, kan? Ya, Traktir, Dong!

Selama mengajar di Masjidil Haram, banyak dikerumuni para pelajar dari penjuru dunia, di antara murid-muridnya Syaikh Muhammad Bin Muhammad bin Wasi al-Jawi, Syaikh Abdul Hamid bin Ali al-Qudsi, Syaikh Ahmad Khathib bin ‘Abdul Ghaffar As-Sambasi, Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar al-Bantani, penulis Tafsir Muroh Labid, Tafsir al-Munir li Ma’alimit Tanzil. Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar al-Bantani adalah guru dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama, TGH. Zainuddin Abdul Majid (maulana Syaikh) pendiri Nahdlatul Wathan di Lombok, Syaikh Tubagus Ahmad Bakri dari Purwakarta, Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Kyai Agung Asnawi Banten, Abuya Dimyati Banten, Syaikh Mubarok bin Nuh Muhammad Tasikmalaya, KH. Abdul Karim Kediri, KH. Muhammad Falak dari Bogor, dll. Syaikh Abdul Ghani senantiasa menyibukkan diri dengan mengajar, ibadah & menulis, tapi sayang tulisan-tulisannya tidak terlacak hingga kini.

Karenanya, dalam suatu acara yang dihadiri oleh Ginanjar Sya’ban pengarang buku Mahakarya Islam Nusantara, yang merangkum kitab-kitab karya ulama Nusantara, penulis sengaja menanyakan keberadaan kitab-kitab yang dikarang oleh Syaikh Abdul Ghani, Ginanjar Sya’ban menjawab bahwa ia belum menemukan jejaknya.
Syaikh Abul Faidh Muhammad Yasin bin Muhammad ‘Isa al-Fadani dalam tashihnya terhadap kitab Kifayah al-Mustafid Lima ‘Ala Lada At-Tarmisi min al-Asanid menyebutkan bahwa Syaikh ‘Abdul Ghani bin Subuh al-Bimawi termasuk salah satu dari 103 ulama asal Melayu yang banyak meriwayatkan hadits. Beliau, kata Abul Faidh, telah meriwayatkan hadist dari ‘Umar bin ‘Abdul Karim al-‘Aththar al-Makki, Ahmad bin ‘Ubaid al-‘Aththar al-Dimasyqi, Sayyid Muhammad Murtadha al-Zabidi, Sa’id bin ‘Ali al-Suwaidi al-Baghdadi, dan Khairuddin bin Syihabuddin al-Maidani al-Dimasyqi. Wallahu a’alam.[]

Rujukan:
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan VXIII (Mizan, 1994).
Zainul Milal Bizawie, Masterpiece Islam Nusantara; Sanad dan Jejaring Ulama-Santri (1830-1945) (Pustaka Kompass).
Muslimin Hamzah, Ensiklopedia Bima, 2004.
Ginanjar Sya’ban, Maha karya Islam Nusantara (Pustaka Kompass, 2017).
https://alif.id/…/ahm…/maulid-nabi-dalam-manuskrip-b205751p/
https://tebuireng.online/syaikh-abdul-ghani-bima-matahari-…/
https://mumaseo.wordpress.com/…/biografi-lengkap-syaikh-ab…/
https://kambalidompumantoi.wordpress.com/…/syekh-abdulgani…/
https://mauhub.wordpress.com/…/abdul-ghani-bima-al-jawi-ul…/
http://komunitasbinu.blogspot.com/…/islam-nusantara-di-nusa…

Ilustrasi: nu.or.id

7 komentar untuk “Syaikh Abdul Gani al-Bimawi, “Maha Guru” Ulama Nusantara”

  1. Pingback: Jatuh-bangun Etos Intelektual-Ulama dan Gerakan Kultural yang Bisa Dilibati | alamtara.co

  2. Subahanallah,Alhamdulillah,LaaIlahaIlallah,AllahuAkbar……ternyata daerah kita dana mbojo ini telah melahirkan ulama besar yang menjadi maha guru bagi ulama ulama seluruh Nusantara di masa lalu…………..Allahuakbar.
    Tapi kenapa pada masa generasi kita sekarang ilmu ilmu yang bersumber dari ulama besar kita semua ini seakan akan tenggelam tidak berbekas,malahan akhir akhir ini generasi kita senang sekali mengikuti bahkan mengagung agungkan kelompok salafi wahabi yang kerjaan nya membidahkan orang yang berbeda dari mereka, sungguh tragis nasib generasi kita sekarang ini.
    Ya Allah yang maha berkendak, lahirkanlah kembali ulama ulama seperti mereka di daerah kami ini ya Allah…..Aamiin ya Rabbal Alamin

  3. Semoga Arwah Buyut Kamo, Syekh Abdul Gani Al Bimawi ditempatkan di Surganya Allah bersama para Ambiya dan para syuhada….. Aamiin3x Yaa Robbal’aalamiin.

  4. Selama mengajar di Masjidil Haram, banyak dikerumuni para pelajar dari penjuru dunia, di antara murid-muridnya Syaikh Muhammad Bin Muhammad bin Wasi al-Jawi, Syaikh Abdul Hamid bin Ali al-Qudsi, Syaikh Ahmad Khathib bin ‘Abdul Ghaffar As-Sambasi, Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar al-Bantani, penulis Tafsir Muroh Labid, Tafsir al-Munir li Ma’alimit Tanzil. Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar al-Bantani adalah guru dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama, TGH. Zainuddin Abdul Majid (maulana Syaikh) pendiri Nahdlatul Wathan di Lombok, Syaikh Tubagus Ahmad Bakri dari Purwakarta, ●_Syaikh_Muhammad_Arsyad_Al-Banjari_● , Kyai Agung Asnawi Banten, Abuya Dimyati Banten, Syaikh Mubarok bin Nuh Muhammad Tasikmalaya, KH. Abdul Karim Kediri, KH. Muhammad Falak dari Bogor, dll.

    Mohon penjelasannya?

  5. Alhamdulillah, Wasyukurillah Bagus menambah ilmu pengetahuan dan wawasan seputar Keulamaan dsri Bima Dompu. Sejarah yg seperti ini sangat menginspirasi…mantaaawaaawp

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *