Tapi, kan, saya seorang karyasiswa jurusan Kajian Budaya yang bahasa Inggrisnya cultural studies bukan yang study of culture! Pada tahap ini saya terguncang, antara lain karena saya harus mengubah cara pandang saya tentang kebudayaan, dari cara pandang yang lama “kebudayaan sebagai struktur, bentuk yang given dan statis” ke cara pandang baru “kebudayaan sebagai praktik manusia berkepentingan, sengaja dibuat untuk mewadahi hasrat yang laten, dan karenanya bersifat dinamis serta sarat makna dan nilai.”
Wah, rumit! Kalau begitu saya harus lebih banyak curiga, berandai-andai, atau tidak henti bertanya, harus terbuka, tidak boleh kaku atau terikat pada satu perspektif (monodisiplin), tidak boleh juga hanya melihat bentuk luaran dari sebuah formasi budaya. Saya harus masuk ke dalamnya untuk membongkar (dekonstruksi) struktur pembentuknya dengan menggunakan perangkat kritis dan perspektif teoretik yang beragam (multidisiplin).
Yang hendak dicari dalam pekerjaan pembongkaran ini adalah relasi-relasi kuasa, dominasi, hegemoni, kesadaran palsu, intrik, konspirasi yang menyebabkan adanya ketimpangan, penghisapan, penindasan, pemiskinan, peminggiran, dan peniadaan, baik itu melibatkan kelas-kelas sosial tertentu atau struktur/sistem. Adakalanya juga ditemukan perlawanan atau resistensi terhadap kekuatan dominan dan hegemonik itu dalam wajah kebudayaan.
Agar kerja pembongkaran ini bisa efektif, saya gunakan perangkat-perangkat teoretik serta konsep-konsep yang diambil dari para pemikir teori kritis (critical theory) Mazhab Frankfurt (Adorno, Horkheimer, Marcuse, dan Habermas), Mazhab Birmingham (Hoggart, Hall, William, Thompson, Willis), Neo-Marxisme (Gramsci), Poststrukturalisme/Postmodernisme (Derrida, Foucault, Bourdieu), Postkolonial (Said, Spivak), dan – karena saya berlatar belakang studi agama Islam (islamic studies) – juga para pemikir kiri Islam seperti Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaed, Muhammad Syahrur, Bassam Tibbi, dan lain-lain.
Tentu tidak semua teori/konsep mereka saya gunakan serentak. Ada yang digunakan untuk mendefinisikan fenomena/praktik budaya agar bisa ditentukan secara pasti fokus perhatiannya. Ada yang digunakan untuk mengurai jalinan praktik budaya. Ada yang memandu jalannya studi sebagai perangkat metodologi. Ada yang memberi perspektif dan nuansa, dan sebagainya. Keragaman sumber teoretik inilah yang antara lain menyebabkan kerja saya menjadi multidisiplin.
Pilihan teoretik itu adalah pilihan akademik yang subjektif. Tampaknya tendensius, tetapi itulah cultural studies. Ia tidak “bebas nilai” sebagaimana ilmu-ilmu kealaman (natural sciences) atau klaim objektivitas ilmu sosial (social sciences) atau ilmu-ilmu posivistik lainnya. Cultural studies bukanlah ilmu melainkan “hanya” sebuah disiplin (makanya tidak pakai sciences tetapi studies) yang justru mencoba memecah kebuntuan aksiologi ilmu-ilmu sosial positivistik.
Dengan pilihan teoretik yang subjektif dan tendensius itulah para pekerja cultural studies mulai menapaki jalan menuju peran-peran sosial profetik dalam masyarakat tertindas dan hegemonik. Pilihan teoretik itu penuh sadar, karena ada kepentingan menjalankan tugas emansipatoris yang dibebankan oleh paradigma cultural studies. Karena itu, teori-teori terpilih adalah teori progresif yang bisa memicu praksis sosial-politik-budaya.
Teori-teori cultural studies itu sudah benar, sudah tajam dari sananya, tetapi dalam penggunaannya di lapangan tetap saja membuat gamang. Saya – juga banyak teman – seringkali dilematis dalam menjalani cultural studies.
Dapat saya pastikan penyebabnya: pertama, karakter multidisipliner-nya lebih banyak menyebabkan ambigu; juga tumpang tindih, sehingga narasi-narasinya terkadang menjadi simpang-siur dan panjang lebar, juga membosankan. Kedua, teori-teori yang diadopsi cultural studies dari teori-teori sosial, masih menyimpan karakter dasarnya sebagai teori “pembangunan” dan “penataan (order)”, sehingga perlu waktu untuk “memanipulasi”-nya sebagai perangkat pembongkaran dan perlawanan. Ketiga, alam pikiran penggunanya (mahasiswa/peneliti/pekerja CS) masih terkabuti oleh atmosfir dan lingkungan sosial-budaya-politik di sekitarnya yang kental.
Dilema ini harus diakhiri. Caranya satu: menggeser teori menjadi praktik. Teori harus menjadi basis tindakan. Strateginya adalah membangun “wacana” karena wacana adalah wadah pertemuan antara teori dan tindakan. ‘Encoding’ dan ‘pemaknaan’ terhadap realitas berdasarkan refleksi teoretik membentuk wacana. Inilah wajah CS sebenarnya. Inilah muara kerja CS.
… Di kerumunan para penjudi pacuan itu, saya “gambarkan” posisi mereka di dalam struktur sosio-kultur dunia. Dalam kelas sosial apa mereka terselip. Ada yang kaget, ternyata mereka ada di ujung tanduk kehidupan. Ada yang menyadari, selama ini mereka bermain-main dalam kepalsuan. Ada yang bertambah murung, ada juga yang berkobar. Tetapi saya tahan amarah mereka. Tidak boleh kasar dalam bertindak. Saya tarik 2-3 orang di antara mereka. Tujuan saya: satu, mengurangi intensitas perjudian karena pelaku pemicu berkurang 3; dua, menjadikan mereka “agen” atau “intelektual organik” bagi komunitas penjudi pacuan; tiga, saya berharap mereka jadi “ulama organik” bagi umat di luar masjid (pacuan itu!). Saya mengajak mereka juga menyadari pentingnya komunitas dan organisasi. Sesekali, saya buat mereka kapok berjudi, atau menghentikan sementara aktivitas berjudi mereka dengan “menguras habis kantong mereka. Mudah saja bagi saya, karena saya punya kuda jago yang sewaktu-waktu bisa saya mainkan agar tiba-tiba kalah, padahal saya bertaruh untuk kuda orang lain….
Lho, kok begini jadinya? Saya ini peneliti CS atau penjudi kuda?
Sudahlah, berani saja menulis dan menghadap para pembaca. Apakah nanti dianggap etnografis dan ilmiah atau pamflet dan politis, obyektif atau subyektif dan tendensius, akan ada prosesnya sendiri menilainya. Yang penting, nyali sebagai pengkaji dan penulis tidak boleh ciut.[]
baca juga : Buku dan Perspektifnya: Jara Mbojo Kuda-kuda Kultural (1)
Ilustrasi : Alamtara.co
Pegiat literasi dan peminat sufisme lokal
Pingback: Buku dan Perspektifnya: Jara Mbojo Kuda-kuda Kultural (1) | alamtara.co