Haji dan Penguatan Jati Diri Perempuan: Merdeka!

KAMIS, 30 Juli 2020 terselenggara International Seminar secara virtual yang menghadirkan delapan pembicara perempuan Muslim dari delapan negara (Indonesia, Iran, Nigeria, India, Iraq, Turki, Greece, dan  Lebanon) dengan tema besar “Hajj and Women’s Role in Promoting The Islamic Lifestyle”

Semua pembicara tersebut sepakat bahwa perempuan memiliki peran yang sangat penting dan efektif sebagai trendsetter nilai-nilai keislaman. Sementara itu, perkembangan media informasi yang begitu pesat memberikan dampak yang signifikan bagi pembentukan pribadi generasi. Oleh karenanya perempuan harus terlibat aktif dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya dalam mengarahkan perubahan ini ke arah yang positif. Perempuan adalah agent of social change, aktor perubahan yang sangat strategis dalam berbagai identitas yang mereka miliki. 

Lalu apa kaitannya dengan perjalanan haji? 

Haji adalah perjalanan personal yang sarat dengan makna spiritual juga berfungsi sebagai pembentuk solidaritas sosial sesama muslim. Solidaritas inilah yang akan memperkuat otoritas perempuan di dalam melakukan transformasi sosial. Seminar ini juga mengusung sub tema: Spirituality, Solidarity, and Islamic Authority

Saya sendiri, mewakili perempuan Muslim Indonesia, menyampaikan pokok-pokok pikiran dan refleksi personal tentang pembentukan spiritualitas perempuan dan gaya hidup Islami melalui haji. 

Saya merasa bahwa perjalanan haji mengkonfirmasi kembali kekuatan, nilai, dan, derajat keperempuanan saya. Allah telah memberikan ketiga hal tersebut sejak penciptaan perempuan. Sayangnya, kesemua hal yang sejatinya fitrah tersebut mengalami reduksi sedemikian rupa di sepanjang sejarah kehidupan perempuan. Dan haji, menurut pengalaman saya ,mengembalikan aspek-aspek fundamental tersebut. 

Bagaimana bisa?

Dalam perjalanan haji yang kami tempuh selama lebih kurang 45 hari dari keberangkatan sampai kembali ke tanah air, saya mengalami perjalanan spiritual yang luar biasa. Haji adalah penemuan kembali jati diri sekaligus menginternalisasi lebih dalam akan eksistensi manusia sebagai hamba Allah. Manusia haji diyakini dan diharapkan sebagai manusia yang terlahir kembali setelah menempuh rukun Islam kelima penyempurna menjadi Muslim ini. 

Setiap momen dan tempat serta segala do’a yang dipanjatkan selama itu menginspirasi, yang secara sadar atau tidak, memberikan penguatan atau memulihkan ketiga hal tersebut dalam diri saya. 

Menginjakkan kaki di Madinah, tergambar bagaimana dalam sejarahnya Nabi telah meletakkan peradaban yang egalitarian terhadap umatnya tanpa sekat-sekat identitas dan status keduaniawian. 

Kunjungan ke Raudhah yang juga berdampingan dengan maqbarah Rasulullah SAW menjadi peristiwa yang sangat menyentuh. Setiap pagi, saya menyaksikan bagaimana jama’ah perempuan berlomba mendapatkan tempat di depan pintu Raudhah menunggu jam buka karena harus bergiliran dengan jama’ah laki-laki. Dalam penungguan itu, hati berdebar dan penuh munajat. Ketika pintu dibuka, mereka berhamburan berlomba mencapai tempat tersebut sambil menangis mengharapkan ‘pertemuan’ dengan manusia termulia yang sepanjang hidupnya menjadi contoh ahlak terbaik bagi perempuan dan sesama. 

Baca Juga  Merayakan Bulan Cak Nur, Menjadi Bintang Caknurian

Momen tersebut selalu memberikan suntikan semangat bagi saya bahwa tangisan yang tersampaikan tersebut adalah luapan perasaan yang mengakui kelemahan sekaligus pengharapan agar bisa meneladani sifat Rasulullah.  Hal yang saya yakini juga menghinggap pada benak semua jama’ah yang kurang lebih juga mengalami ekspresi emosional  yang sama.

Memperlakukan perempuan dengan sebaik-baiknya menjadi penekanan pesan dalam pidato terakhirnya ketika haji wada’ bahwa “sebaik-baik kalian adalah yang memiliki akhlak yang baik kepada perempuan”

Menelusuri jalan dari Madinah menuju Mekkah, memberikan gambaran betapa heroiknya Rasulullah dengan ummatnya saat itu dalam keadaan khawatir dikejar kaum kafir  Quraisy,  menempuh perjalanan jauh dengan fasilitas yang terbatas dan medan yang tidak bersahabat. Sebagian dari mereka adalah para perempuan, Ummul Mukminin, perempuan-perempuan mulia yang dengan kekuatan fisik maupun spiritual meninggalkan segala yang dimiliki menuju tempat baru dalam rangka berhijrah. Menemukan kota yang kelak menjadi pusat bagi tersebarnya Islam ke seantero dunia. 

Kisah-kisah perempuan dalam sejarah haji juga adalah perpaduan karakter keperkasaan dan kelembutan  makhlukNya.  

Siapa yang tidak mengakui kekuatan Sayyidah Hajar, yang berani ditinggal seorang diri bersama bayinya yang masih merah di padang luas nan tandus. Dengan menangis beliau melambaikan tangan merelakan kepergian sang suami, kekasih Allah Nabi Ibrahim,  karena memahami bahwa perintah Tuhan adalah segalanya. 

Ketika bayinya kehausan, ia tidak menemukan air. Lalu berlarilah ia mendaki bukit Shafa dan Marwah bolak-balik  sebanyak tujuh kali. Tiba-tiba Allah memancarkan sumber air yang lalu disebut air Zamzam dari hentakan kaki sang putra,  Ismail, yang kelak menjadi salah seorang Nabi. 

Peristiwa maha dahsyat inilah yang terus menyuntikkan kepercayaan diri akan kekuatan perempuan selama melakukan Sa’I sebagai perwujudan dari kisah berlarinya Sayyidah Hajar di antara dua bukit tersebut di atas. Menyadari akan nilai dan derajat perempuan yang tinggi sebagai sumber inspirasi bagi salah satu rukun haji dan umrah. 

Menziarahi Gua Hira mengingatkan kita pada kekuatan  Sayyidah Hadijah yang dengan kelembutan disertai keyakinan  memberikan dukungan psikologis, memeluk Nabi Muhammad yang gemetar ketika pertama kali menerima wahyu.  Ia adalah perempuan sekaligus manusia pertama yang menyatakan keimanan terhadap wahyu yang pertama di turunkan dan,  dalam riwayat disampaikan, lalu diikuti oleh 42 perempuan lainnya. 

Baca Juga  Budaya Baca-Tulis dan Proses Penulisan (2-Habis) (Orasi Budaya pada Mbojo Writers Festival 2021)

Haji adalah perjalanan kepada dua kota, Makkah al Mukarramah dan Madinah al Munawwarah,  yang merupakan tempat dimulainya perjuangan Rasulullah membina Islam sebagai agama yang sempurna. Yang dibangun atas keimanan, keislaman dan keihsanan. Tidak cukup dengan percaya, tetapi perlu perwujudan dalam amaliyah atau tindakan. Amaliyah itu sendiri tidak hanya terhadap sang Pencipta tetapi juga ditandai dengan akhlak mulia terhadap sesama.   

Menghayati sejarah dibalik perjalanan haji semakin memberikan keyakinan kepada saya pribadi sebagai perempuan, bahwa sejatinya Islam telah memberikan titik pijak dan topangan yang luar biasa akan nilai-nilai ketauhidan dan kemanusiaan. Nilai-nilai yang tidak menyisakan celah sejengkalpun untuk memperlakukan siapapun, termasuk perempuan, sebagai mahluk kelas dua, dalam konsep keadilan (al ‘adalah).   Ajaran yang telah memberikan kemandirian dan kemerdekaan bagi perempuan untuk memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan laki-laki karena nilai dan derajat mereka sama sekali tidak ada beda di hadapan Allah sang Pencipta , dalam konsep persamaan (al musawa’). Petunjuk hidup yang mengedepankan  cinta dan kasih sayang (al Rahmah) sebagai tali pengikat solidaritas dan pergaulan sosial. 

Nilai keadilan, persamaan, dan kasih sayang tersebut adalah jati diri yang harus terus diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Gaya hidup islami yang dimaksud dalam topik tersebut di atas tidak akan menjadi islami jika jauh dari nilai-nilai luhur tersebut. 

Oleh karenanya,  tidak ada alasan bagi Muslimah, sebagai trendsetter gaya hidup islami, untuk tidak mempraktikkan dan  memperjuangkan keluhuran tersebut dalam setiap aspek kehidupan. Dan untuk itu, perempuan Muslim hanya butuh kepercayaan diri dan keyakinan bahwa mereka juga adalah manusia yang telah diciptakan dengan bentuk terbaik (at Tin:5)  dan memiliki kekuatan, nilai, dan derajat yang sungguh mulia di hadapan RabbNya!

Merdeka!

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *