MANUSIA merupakan ciptaan Tuhan yang amat sangat baik (Ahsanu Taqwim) dengan segala kelebihan dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya. Diberinya potensi yang lebih dari makhluk lain, hal ini Tuhan lakukan tidak lain agar manusia itu bisa menjadi figur yang diunggulkan Tuhan di hadapan makhluk lain ciptaan-Nya.
Dalam perjalanan kiprahnya, kehebatan potensi yang diberikan Tuhan ternyata tidak serta merta membuatnya menjadi unggul bahkan sangat mungkin menjadikannya terhina dan bisa lebih rendah derajatnya dibanding makhluk lain apabila potensi itu tidak digunakan dengan semestinya, demikian Tuhan berkomitmen dalam kalamnya di surah ke-7 ayat 179 “…mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai pengelihatan (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai pendengaran (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah), mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai”.
Sebagai makhluk dengan ciptaan terbaik, manusia memiliki daya dan potensi yang membuat dirinya memiliki ragam kreasi. Begitu tinggi kemampuan berkreasinya hingga aktifitas-aktifitas yang membawa mafsadat bagi dirinya pun dikreasikan dalam wujud aktifitas hening. Yang terakhir ini dalam dunia sufi diistilahkan dengan “bermaksiat dalam hening”. Aktifitas tersebut tidak diumbar dalam ramai, tetapi juga tidak dirayakan dalam sepi. Karena aktifitas itu tidak pantas untuk diumbar apalagi dirayakan baik dalam ramai maupun dalam sepi. Hanya pantas dilakoni dalam keheningan di mana dia merasa hanya dirinya saja yang ada saat itu.
Aktifitas model itu terlalu banyak teraplikasi dalam keseharian hidup kita. Perhatikanlah dan jawab dengan jujur dan damai beberapa pertanyaan yang jawabannya adalah aktifitas yang masuk dalam aktifitas maksiat dalam hening. Pernahkan kita bersepakat dengan hati dan pikiran kita tentang sesuatu keburukan dan kesepakatan itu hanya kita saja yang mengetahuinya? Pernahkan kita berdamai dengan pendengaran kita untuk menyimak bisikan-bisikan yang apabila didengar oleh orang di sekitar kita akan membuat diri ini malu? Pernahkan kita bersepakat dengan pengelihatan kita untuk diam-diam melihat sesuatu yang apabila orang-orang di sekitar kita mengetahuinya akan membuat kita sangat cela? Pernahkan kita mengajak tangan ini berdamai di atas kertas maupun keyboard untuk sesuatu yang tidak boleh ada yang mengetahuinya kecuali diri ini saja? Pernahkan kita bertransaksi dengan catatan maupun kwitansi yang tidak ada orang lain tahu kecuali kita yang melakukan transaksi? Pernahkan kita bersekongkol dengan waktu, dengan kesempatan, dengan malam, dengan keadaan untuk sesuatu yang tidak boleh menjadi boleh, untuk sesuatu yang tidak sesuai menjadi sesuai, dan untuk sesuatu yang tidak jelas menjadi jelas?
Hakekat dari semua pertanyaan di atas adalah aktifitas yang mengandung unsur maksiat hening yang jarang kita sadari. Jangan kira aktifitas hening yang kita lakukan itu tidak menjadi maksiat oleh karena tidak ada yang tahu. Justru inilah yang harus kita waspadai karena aktifitas ini akan berpengaruh buruk terhadap aktifitas-aktifitas yang mengandung kebenaran, bisa saja kebenaran yang dilakukan menjadi minus akibat terlalu banyak volume dan kuantitas dari maksiat hening yang kita lakukan.
Pernah suatu waktu Rasul SAW mengajarkan kepada sahabat tentang muflis yang bermakna bangkrut. Kata Nabi “Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?” Mereka menjawab: “Orang yang bangkrut di kalangan kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak pula memiliki harta/barang.” Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun ia juga datang dengan membawa dosa kedzaliman.
Salah satu dari dosa kedzaliman yang dimaksud Nabi pada hadis di atas adalah maksiat hening, di mana seseorang yang ibadah shalat wajibnya bagus dan rajin, shadaqahnya bagus dan rutin, shalat sunnahnya istiqomah dan konitinyu, puasa wajib dan puasa sunnahnya tetap tertunaikan dengan ajeg, namun di sela-sela ketekunanannya dalam melaksanakan kebaikan, mereka melakukan maksiat hening, maka dia akan datang di pengadilan rabbul jalil dengan amalan kebaikan yang kosong, karena setiap amal kebaikannya dikurangi oleh kemaksiatan yang dia lakukan. Itulah kerugian atau muflis yang tidak kita sadari.
Maka berhati-hatilah dengan kebiasaan aktifitas diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Bisa saja amalan-amalan itu tidak disadari dan menjadi jebakan yang tidak dirasa sebagai amalan maksiat hening yang mengurangi nilai dari amal kebaikan yang kita tunaikan.[]
Jika aktifitas hening itu pantas dan tidak malu jika orang sekitar kita tahu, maka amalan itu bukanlah amalan maksiat, akan tetapi apabila aktifitas hening itu terasa tidak pantas dan malu apabila orang sekitar kita mengetahuinya, maka itulah maksiat hening dan bersegeralah meninggalkannya, sebelum aktifitas itu berdampak merugikan amalan-amalan lainnya.
Ingatlah nanti di hari kita berhadapan dengan pengadilan Tuhan, konon banyak orang menyesal dan kaget dengan amalnya, mereka merasa amal baiknya melimpah, namun tatkala dihisab amalan baik yang disangkanya banyak dan melimpah itu ternyata kecil bahkan tidak menemukan apa yang disangkakan. Pesan Tuhan “Hasibu anfusakum qabla antuhasabu” Hisablah amalan-amalan kalian terlebih dahulu (pastikan diri ini bersih dari maksiat hening), sebelum sampai di depan penghisaban Tuhan Rabbul Jalil yang Maha Teliti dan Maha Adil.[]
Ilustrasi: pixabay.com
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram