Antara Perlawanan dan Loyalitas Kaum Subsisten

Book Review
James C. Scott, The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia
(Yale University Press, 1976)
____________________

Kaum petani di Asia Tenggara adalah kelompok masyarakat yang selalu rentan dengan berbagai ancaman, terutama ancaman kekurangan dan kegagalan dalam usaha pertanian. Tantangan alam atau ekologi merupakan hal utama yang harus dihadapi kaum tani. Bayangkan mereka harus menggantungkan hidup kepada lahan-lahan kering atau sawah tadah hujan yang menunggu pemberian alam yang tidak menentu.

Jika pun muncul hujan, muncul kekhawatiran lain: jebolnya tanggul-tanggul yang akan mengirimkan banjir yang membenamkan lahan pertanian. Demikian juga di musim kemarau, kebakaran tak jarang meluluhlantakkan harapan. Akibatnya, kaum tani mengalami gagal panen dan kerugian material yang tidak tertanggungkan. Bahkan ancaman kelaparan tidak bisa dihindarkan.

Selain faktor ekologis, peperangan dan pendudukan militer menjadi ancaman lain yang lebih mengerikan. Seperti di Vietnam, kaum pendudukan Jepang menjarah hasil-hasil panen pertanian, atau memaksa lahan-lahan pertanian ditanami tanaman yang mereka maui untuk kepentingan industri negeri penjajah. Belum selesai, para petani juga harus menghadapi aksi-aksi para bandit lokal yang selalu mengintai peluang mengambil keuntungan ilegal atau bahkan memberangus pertanian mereka. Sama mengancamnya amukan-amukan binatang liar-lapar serta hama yang dalam sekejap saja bisa menggerogoti habis tanaman.

Etika Subsistensi

Kaum tani seperti ini benar-benar nasibnya di ujung tanduk. Nasib sepeti ini telah melahirkan pandangan dunia atau etos kaum tani, baik dalam rangka pemertahanan diri dari bencana atau sekedar untuk meratapi nasib buruk. Etos ini disebut “etika subsistensi” yakni seperangkat sikap hidup yang lahir sebagai konsekuensi kekurangan-keterancaman-kemusnahan. Ingat pandangan Marx bahwa kondisi ekonomi (struktur atas) memproyeksi pandangan moral manusia (struktur bawah).

Etika subsistensi adalah pengaturan sosial yang mengandaikan para petani dapat menghasilkan kebutuhan pangan untuk menjaga kelangsungan hidupnya dan keluarganya. Hidup tidak lagi bisa digantungkan kepada nasib, tetapi harus diupayakan dengan menata siklus pertanian, mulai dari pemilihan bibit, cara bertanan, pola pengolahan lahan, cara memanen dan menyimpan hasil panen, penentuan waktu bertanam, dan seterusnya.

Etos ini juga mengembangkan relasi sosial yang guyub, gotong-royong, dan saling tolong di antara sesama anggota. Etika ini melahirkan pola kedermawanan sosial dan komunalisme, yang ternyata teruji membantu mereka tetap hidup. Karenanya mereka menganut etika ini secara ketat sampai mereka harus membangkang atau berkeras kepala dalam merespon-intervensi dari luar. Tidak jarang sikap seperti ini melahirkan resistensi atau perlawanan dan pemberontakan kaum tani terhadap pemerintah (kolonial).

Meskipun pada akhirnya perlawanan kaum tani selalu gagal, tetapi perjuangan mereka mempertaruhkan segalanya telah menyiratkan suatu “moral ekonomi” kaum tani yang merupakan akar-akar normatif bagi sepak terjang sosial politik mereka selanjutnya atau menjelaskan bagi kegiatan politik petani di belahan wilayah lain. Moral ekonomi adalah pandangan mereka tentang keadilan ekonomi, pemahaman mereka mengenai eksploitasi terutama praktek pemungutan hasil produksi, mana yang bisa dinegosiasikan dan mana yang tidak.

Sifat Eksploitasi Kaum Tani dan Pembusukan Sosial

Baca Juga  Dua Pendengaran Manusia: Catatan untuk Dua Suara Tuhan

Prilaku ekonomi kaum tani adalah prilaku “enggan resiko” (risk averse), yaitu mereka bertani bukan untuk menghimpun keuntungan, tetapi sekedar untuk menyelamatkan mereka dari kehancuran. Mereka tidak mau mengambil resiko menanam modal yang besar untuk keuntungan yang jauh lebih besar sebagaimana dilakukan oleh para wirausahawan. Prinsip yang mereka anut adalah “yang penting selamat” (safety first). Inilah yang menyebabkan mereka pada akhirnya terikat oleh cara kerja tradisional seperti penggunaan bibit yang beragam dengan lahan yang terpencar-pencar. Cara ini relatif memberi mereka alternatif ketika satu komoditi di suatu lahan tertentu gagal. Anutan seperti ini melahirkan pengaturan-pengaturan sosial, seperti pembagian lahan dan penataan hak milik pribadi dan tanah bersama, serta pembagian peran-peran sosial dalam masyarakat. Praktek ini lama-kelamaan mengandung makna sebagai bentuk eksploitasi terselubung.

Masyarakat secara faktual terbagi kepada the have (berpunya) dan the have not (miskin). Yang pertama mempunyai peran melindungi dan mengopeni yang kedua, karena pada dasarnya segala kekayaan di kampung adalah milik bersama. Tatkala kesepakatan ini diabaikan, maka bencana lain, berupa konflik sosial, akan segera muncul. Jaminan redistribusi ini menandai masyarakat sosialis-tradisional.

Prinsip mendahulukan selamat seringkali menjebak kaum tani ke dalam praktek pertanian yang – dalam kacamata ilmu ekonomi – tak masuk akal. Dengan lahan yang kecil dan pola tanam tradisional tidak akan memutus mata rantai perjuangan keras mereka untuk menghidupi keluarga. Mereka bekerja keras tetapi tidak menghasilkan tambahan. Inilah yang disebut Chayanov “self exploitation,” eksploitasi diri sendiri, atau mencerminkan “agricultural involution,” involusi pertanian sebagaimana disebut Geertz. Jika musim gagal panen tiba, petani rela menjual ternak bahkan tanahnya demi keluarga dengan harga yang rendah sampai pada tingkat ironi selanjutnya, yaitu membeli atau menyewa lahan orang lain dengan harga lebih mahal. Keadaan ini memerosokkan mereka ke dalam kemelaratan lebih dalam lagi.

Jadi, perilaku “enggan resiko” atau prinsip “utamakan selamat” betul-betul pilihan hidup mati bagi kaum subsisten. Karakter ini juga melahirkan sikap hidup fatalistis. Mereka juga cenderung apriori kepada bentuk-bentuk inovasi yang ditawarkan oleh modernitas. Lebih dari itu, mereka juga terbuai oleh pengharapan akan datangnya ratu adil, messiah, yang akan menyelematkan mereka dari ancaman-ancaman kesulitan. Inilah potensi yang pada akhirnya menggerakkan mereka mengambil peran terdepan dalam berbagai perlawanan dan pemberontakan.

Hubungan Patron-Klien  

Akibat krisis ekonomi yang selalu melanda keluarga petani, dan cara penyelesaian masalah itu yang mengandalkan kedermawanan orang lain yang lebih mampu di, maka hubungan patron-klien antara pelindung dengan petani tidak bisa dielakkan. Ikatan patronase ini adalah suatu bentuk jaminan sosial yang dapat diandalkan, tetapi menyimpan problem moral dan jarak sosial, terutama jika patron berasal dari luar warga desa atau di luar kerabat sendiri serta dari tuan tanah, pejabat, atau pedagang kaya. Setiap uluran tangan yang diberikan oleh patron, selalu mengandung konsekuensi moral yang harus dibayar oleh petani sebagai klien, misalnya rasa berhutang budi, sehingga posisi petani di hadapan patron menjadi sangat lemah. Pola hubungan seperti ini mnyuburkan feodalisme di desa.

Baca Juga  Agama-Agama Pra-Islam dalam Berbagai Sorotan (2)

Negara sebagai pihak terakhir yang diharapkan bisa mengatasi keadaan, seringkali berperan tidak memadai diukur dari besarnya sumberdaya yang dimilikinya (contoh, ketika negara menangani bencana di Indonesia, aparat atau relawan dibekali peralatan yang tidak memadai, padahal negara mempunyai sumberdaya yang baik untuk keadaan darurat), atau tidak tulus (BLT misalnya, lebih merupakan proyek politik pencitraan daripada pengentasan kemiskinan). Bahkan intervensi negara ke dalam proyek-proyek perbaikan dan pemajuan pola produksi kaum subsisten, dipersepsi mengandung maksud untuk melipatgandakan produksi yang sebagian besar hasilnya akan diraup kembali oleh negara (misalnya, kredit yang diterima petani dari bank-bank pemerintah, ternyata jauh lebih kecil dari dana yang mereka serap dari masyarakat). Negara menerapkan peranan ambivalen.

Keterlibatan yang ganjil seperti ini melahirkan prilaku yang juga ganjil dan ambivalen dari kaum subsisten dalam berhadapan dengan negara. Terdapat hubungan moral yang mewajibkan klien untuk menerapkan loyalitas dan kepatuhan kepada negara, karena negara telah menghindarkan mereka dari binasa. Suatu kepatuhan terpaksa yang berjarak sangat tipis dari perlawanan.

Transformasi kepatuhan menjadi perlawanan bisa terjadi tatkala klien menyadari bekerjanya modus eksploitasi tindak lanjut, yakni tuntutan-tuntutan yang dirasakan oleh klien memberatkan. Mereka harus membayarkan kembali jasa-jasa negara, lembaga, atau pihak patron dengan keterpaksaan, baik melalui konversi modal tenaga yang sewaktu-waktu siap dipertaruhkan jika patron membutuhkan, maupun dengan menerima berbagai posisi hegemoni-legitimatif patron terhadap tata nilai mereka.

Pada tahap ketika mereka tidak bisa melakukan konversi modal tenaga, maka serangkaian pilihan pelik akan muncul, menjual aset produksi, migrasi (hijrah), atau melawan (bandingkan dengan studi Parsudi Suparlan tentang kaum gelandangan yang melakukan perlawan terhadap kolonial).  

Akhirnya, pola enggan risiko, safety first, atau distribusi risiko telah melahirkan pola pikir dan etos budaya yang khas bagi kaum subsisten, kaum tani yang nasibnya tidak menentu, yaitu “moral ekonomi orang miskin”. Moral ini mengacu kepada cara melihat kaum papa terhadap praktek penanganan masalah mereka oleh pemerintah (negara) atau pihak lain yang berfungsi patron, apakah uluran tangan mereka meringankan atau memberatkan, menyelamatkan atau malah membinasakan. Penilaian moral ini mengarahkan pilihan tindakan mereka, apakah memilih hidup di tepi subsistensi tetapi ada kepastian seperti yang ditawarkan masyarakat gotongroyong, atau menggadaikan harga diri, berhijrah, atau melawan.

Nampaknya, perilaku condong ke kiri, resistensi, perlawanan, pemberontakan, dan kerusuhan yang melibatkan kaum subsisten selama ini, antara lain, berakar dari moral petani seperti ini.[]

Ilustrasi: infopublik.id

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *