Seorang kawan pernah bercerita kepada saya tentang masa kecilnya, dalam ceritanya, dia berseloroh bahwa masa kecilnya penuh dengan ujian dari Tuhan. Ketika usianya menginjak dua tahun, dia ditimpa penyakit yang entah apa namanya. Tak ada pekerjaan lain yang dilakoninya, selain menangis dan menangis.
Lanjutnya, setelah sekian minggu saya hanya menangis saja, seorang laki-laki paruh baya dengan lugu datang kepada orang tua saya memberi beberapa wejangan, maka disimpulkanlah bahwa saya harus mengganti nama. Usut punya usut kata lelaki itu, nama itulah biang kesialannya. Nama hasil perubahan itulah yang saya gunakan sampai sekarang. Ajaibkan, nama bisa menolak bala, sejak saat itu saya tidak pernah lagi ditimpa penyakit misterius, kalaupun ada hanya sakit-sakit biasa yang obatnya bisa didapatkan di apotek terdekat.
Padahal nama yang diberikan orang tua saya yang sebelumnya ngak jauh-jauh amat dari nuansa religius. Pada umumnya orang Indonesia, diawali dengan nama Muhammad. Tapi masih ada ajadeh kena sial. Ternyata selain akhlak, HP dan penampilan, nama juga perlu di upgrade.
Baca juga: NU di Antara Kiai, Nyai, Akademisi dan Politisi
Nah, kira-kira seperti itulah yang ingin coba di upgrade oleh Abdul Muhaimin Iskandar dari panggilan akrabnya Cak Imin menjadi Gus AMI.
Karir politik Cak Imin bisa dibilang moncer dan sudah kenyang dengan jabatan-jabatan. Mulai dari pimpinan DPR sampai menteri sudah pernah dicicipinya. Namun, masih ada satu anak tangga lagi yang belum diraihnya, apalagi kalo bukan kursi presiden. Saya sih realistis aja, siapa sih yang ngak mau jadi presiden, nanggung gaaees, dah pernah jadi menteri plus modal sebagai ketua umum partai. Nikmat mana lagi yang kau dustakan.
Sek, tapi tidak semudah itu Fergusoo. Abdul Muhaimin Iskandar mendapatkan semua jabatan diatas dengan sapaan Cak Imin loh, Tapi taring “Cak Imin” seolah rontok tak bertenaga jika sudah berurusan dengan kursi RI 1 itu. Cak Imin gigit jari tak berhasil menjadi kontestan Pilpres 2019.
Padahal sudah ngeluarin cuan yang ngak sedikit buat pasang baliho raksasa di sudut-sudut kota seluruh Indonesia, masih aja ngak jadi. Pada tahun 2019 lalu, Presiden Jokowi memang mau mengambil wakilnya dari kalangan nahdliyin dengan menyebut-nyebut inisial M yang membuat jutaan umat penasaran. Publik bertanya-tanya M nya Mahfud MD kah, M nya Muhaimin kah, dan ternyata M nya Ma’ruf lah yang beruntung. Walau banyak pihak yang merasa skeptis, tetapi modal sosial yang dimiliki KH. Ma’ruf Amin juga tak kalah besarnya.
Tak mau gigit jari lagi dan mengulangi kesialan yang sebelumnya. Setelah berhasil meraih satu kursi pimpinan DPR RI tahun 2019 ini. Cak Imin kini hadir dengan sapaan baru yakni Gus AMI. Ya, ini sapaan baru yang diperkenalkan pada Muktamar V PKB di Bali lalu. Nama Gus AMI terkesan lebih sebagai produk pesantren dan keturunan Kyai asli. Sapaan “Gus” mungkin bisa membawa berkah tersendiri, kira-kira begitu pikiran Cak Imin.
Dengan panggilan “Gus” mungkin Cak Imin ingin mengikuti jejak suksesnya Gus Dur melenggang mulus jadi RI 1 dengan sokongan dengkul Amien Rais dan koalisi poros tengah sebagai bantu loncatan. Bejo banget kan.
Panggilan Gus memang memperlihatkan kultur ke–santria-an yang kental, dengan begini Cak Imin makin percaya diri meraup suara kalangan nahdliyin dan suara Islam pada umumnya. Ditambah peran sosok Gus Dur dan KH. Ma’ruf Amin serta hangatnya isu Gus Yaqut yang menjadi Menteri Agama sekarang bisa menjadi modal lain yang bisa membantu Cak Imin mendulang suara pada Pilpres yang akan datang.
Baca juga: Menghitung Diri pada Pesta Demokrasi
Berkah pergantian nama ini pun kini sudah mulai terlihat, melalui polling online SINDOnews mencari Calon Presiden 2024, nama Cak Imin melejit ke urutan tiga besar, menggeser nama-nama besar lain yang memang sejak semula banyak menguasai papan atas survey calon presiden seperti Prabowo Subianto, Ridwan Kamil, hingga Agus Harimurti Yudhoyono.
Sosok Cak Imin sedikit lagi akan mendapat tempat di hati masyarakat. Bukan hanya sekadar menghangatkan bursa calon presiden. Tapi menjadi kontestan yang siap mengalahkan lawan-lawannya. Cak Imin tentu sudah serius memikirkan hal ini.
Oke, kita tengok Pak Prabowo sebentar, tiga kali ikut pilpres dan tiga kali juga menelan kekalahan, bisa jadi kekalahan Pak Prabowo itu disebabkan Pak Prabowo tak rajin meng-upgrade citra dirinya. Disinilah kurang jelinya Fadli Zon dan kawan-kawan melihat bos nya itu.
Dengan pelajaran ini, tentu anak buah, bawahan, dan santri-santri Cak Imin akan lebih hati-hati dalam mencitrakan Abdul Muhaimin Iskandar dengan sosok yang lebih santri, Gus AMI. Sebab, jika Cak Imim tidak cepat-cepat melakukan hal itu, besar kemungkinan kalangan santri/pesantren dan suara Islam pada umumnya akan terpencar.
Mengingat, calon-calon lain yang lebih potensial semacam Ganjar Pranowo yang notabene istrinya keturunan kyai NU atau Anies Baswedan yang lebih di asosiasikan dekat dengan kalangan Muhammadiyah dan bukan tidak mungkin calon lain yang lebih berduit juga bisa mempengaruhi bursa calon presiden semacam Sandiaga Uno dan Erik Thohir yang mulain rajin blusukan ke seluruh Indonesia dengan alih-alih tugas sebagai Menteri Pariwisata dan Menteri BUMN. Atau citra kerakyatan dan wong cilik ala Tri Rismaharini yang juga sudah mulai menggoncang ibukota akan lebih diterima publik.
Tentu Cak Imin tidak tinggal diam melihat kompetitornya mulai mencuri star. Cak Imin sekarang tentu sedang memikirkan strategi apalagi yang harus dilakukannya, kita tunggu saja gebrakan dan aksi-aksi Cak Imin dengan panggilan baru: Gus AMI. Semoga saja dengan berganti panggilan, bala gagal nyapres itu tak terulang lagi dan mitos tolak bala dalam politik nyata adanya.
Ilustrasi: Liputan6.Com
Alumni Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Founder Komunitas Mbojo Itoe Boekoe