Spiritualitas dan Modernitas: Tantangan Agama di Masa Depan (2)

SEJAK beberapa dekade lamanya, kehidupan diselimuti dan didominasi oleh aspek duniawi yang sangat mekanistik dan materialistik. Melalui kecanggihan teknologi, menyebabkan aspek ruhani-spritual kita terkikis. Namun dari segala peningkatan kemakmuran dan kecenderungan materialistik juga—menegaskan bahwa kebahagiaan tidak terletak pada kehidupan yang bersifat serba fisik dan duniawi semata.

Di balik derasnya arus globalisasi dan kemajuan zaman yang meluluhlantahkan spritualitas dan aspek ruhani kita; pada sisi lain juga menimbulkan kerinduan terhadap hal-hal yang bersifat spiritual. “Seperti orang yang terbawa oleh arus besar, lalu berusaha meraih susuatu yang bisa dipegang”. Semacam inilah yang (akan) kita rasakan sekarang dan kemudian. Mau tidak mau, pada akhirnya manusia membutuhkan semacam pegangan; yakni aspek spiritual atau sesuatu hal yang melampaui rasionalitasnya.

Pada dasarnya alam materi hanya mengajarkan kita tentang rasionalitas dan empiris—yang kemudian melahirkan budaya inderawi. Pada tahap ini, semua perhatian manusia tertuju “ke luar” dan dengan wajah tercengang kita melihat kemegahan alam semesta. Setelah kita mencari dan mengelilingi dunia; sudahkah kita temukan apa yang hendak kita cari?

Hidup seakan hanya mencari dan mencari—tidak juga menemukan, apalagi mendapatkannya. Karena selalu mencari, kadang melahirkan ketidakpastian tentang  apa yang akan kita dapatkan. Ketika kejenuhan melumuri hati, kita selalu dipaksa memperkuat kembali harapan agar terus mencari—lagi dan lagi—tetap saja kita menemukan kehampaan di ruang kosong yang gersang dan kering kerontang. Pada akhirnya kita sadar bahwa apa yang kita cari lebih dari sekedar materi.

Semacam itulah yang dirasakan oleh mereka yang selalu memfokuskan pandangannya “ke luar”—yakni; mereka yang memahami bahwa refleksi adalah semacam pantulan keluar—“seperti saat seseorang berteriak di atas ketinggian tebing dan melahirkan pantulan suara yang bergelombang”. Tentu saja refleksi yang saya maksudkan merupakan pantulan “ke dalam”—dan kemudian memulai perjalanan pencarian yang sebenarnya—dengan cara mengarungi kedalaman dan keluasan diri.

Baca Juga  Spiritualitas dan Modernitas: Tantangan Agama di Masa Depan (1)

Perbedaan pemahaman ini dipengaruhi oleh dua cara pandang—yakni; kelompok yang cenderung menggunakan pandangan keluasan atau “ke luar diri”—dan kelompok yang cenderung menggunakan pandangan kedalaman atau “ke dalam diri”. Perbedaan dari dua cara pandang ini kemudian juga akan berpengaruh terhadap kesadaran yang dimiliki oleh masing-masing kelompok tadi.

Mereka yang menggunakan prespektif keluasan akan mengatakan bahwa dunia ini luas dan besar—dan manusia hanyalah bagian terkecil (micro) dari dunia. Sedangkan mereka yang menggunakan prespektif kedalaman akan mengatakan bahwa dunia ini kecil (micro)—justeru manusialah yang luas (macro) dan dunia merupakan bagian dari manusia. Alasannya sederhana; karena manusia mampuh memberikan maknah dan nilai atas dunia ini. Tanpa makna dan nilai yang diberikan oleh manusia; bagaimanapun indah dan luasnya dunia—ia hanya akan tetap sebagai objek.

Manusia, karena memiliki kemampuan memaknai dan menilai—menjadikannya sebagai makhluk dengan derajat yang lebih tinggi dari alam. Meskipun pada sisi lain, ada banyak manusia yang saling membunuh hanya karena memperebutkan sepetak tanah (alam) atau benda-benda material lainnya.Jika kelompok pertama memfokuskan perhatiannya “ke luar diri”, maka kelompok kedua memfokuskan perhatiannya “ke dalam diri”.

Mereka yang memfokuskan perhatiannya “ke dalam diri” adalah mereka yang tidak menemukan apa yang mereka cari di luar dirinya. Hanya kehampaan dan kekosongan—lalu semua akan kembali pada jalan yang semestinya. Hal ini semacam titik balik spiritual—yakni; suatu keadaan yang mengajak manusia untuk kembali pada-Nya.

Jika kelompok pertama sekedar memahami teori sebagai instrumen untuk menjelaskan fenomenal-fenomenal alamiah—maka kelompok kedua tak hanya sebatas itu; mereka memahaminya sebagai jalan untuk kembali (menuju) Tuhan. Karena di dalam teori terdapat proses dialektika pengetahuan—dari objek yang diserap dan ditangkap oleh indera kemudian direfleksikan dan direnungi sehingga bertransformasi pada kesadaran kedalaman; “Jangan melihat ke luar, tapi lihatlah ke dalam diri sendiri—dan carilah itu“.~Rumi 

Baca Juga  Sosiologi Kopi: Memaknai Ngopi dan Kesetaraan

… (lanjut ke bagian 3)

Ilustrasi: pixabay.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *