Nilai-nilai kearifan lokal di Indonesia masih banyak yang belum terkuak dan belum terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat kontemporer (modern) ini. Sedangkan di era globalisasi ini masyarakat dituntut agar menjadi pribadi yang aktif dan kreatif seiring berkembangnya zaman, dengan demikian diperlukan adanya etos kerja yang tinggi.
Hasilnya, masyarakat yang memanfaatkan nilai-nilai kearifan lokal dalam kehidupan sehari-hari memiliki integritas yang tinggi, suka bergotong royong dan memiliki etos kerja yang tinggi. Sehingga sangat diperlukannya reaktualisasi nilai-nilai dalam kearifan lokal di setiap daerah di Indonesia. (Muhammad Firman Hari Laksono, 2020).
Kearifan lokal memiliki potensi yang sangat besar dalam upaya-upaya harmonisasi kehidupan masyarakat di hampir seluruh daerah di Indonesia. Kearifan lokal adalah bagian inheren dalam budaya lokal di Indonesia, di mana budaya nasional kita adalah personifikasi dari budaya-budaya lokal di seluruh Indonesia.
Dengan memperkuat elemen-elemen kearifan lokal di dalam kehidupan masyarakat lokal atau daerah, di bawah supervisi pemerintah daerah, tentunya akan sangat berguna dalam upaya-upaya pencegahan konflik dan penguatan semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Implementasi dari kearifan lokal dapat menciptakan suatu kondisi di mana relasi antar anggota masyarakat menjadi positif.
Baca juga: Rimpu dalam Masa Kenormalan Baru
Karena itu, kondisi demikian menjadi parameter bagi terwujudnya harmonisasi. Unsur-unsur kearifan lokal dapat menjadi landasan bagi pemerintah daerah untuk memahami dinamika lokal sehingga partisipasi publik daerah pun semakin besar. Jika ekonomi berjalan baik dan rakyat sejahtera, otomatis konflik pun tidak terjadi. Studi ini dimaksudkan untuk melihat kearifan lokal yang berguna bagi harmonisasi kehidupan masyarakat dalam perspektif pencegahan konflik. (Jerry Indrawan Universitas Bung Karno, Jakarta, 2020).
Provinsi Nusa Tenggara Barat terdapat dua pulau besar (Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok), Pulau tersebut dihuni oleh tiga suku (Suku Mbojo, Suku Samawa dan Suku Sasak), yang menjadi etnis dominan Masyarakat Nusa Tenggara Barat. Suku Mbojo dan Suku Sumbawa mendiami pulau Sumbawa, sedangkan suku Sasak menyebar di seluruh Pulau Lombok.
Sebagaimana suku bangsa secara universal, ketiga suku di NTB tersebut memiliki semboyan dan falsafat hidup dan budaya yang berbeda tetapi masing-masing mengandung nilai-nilai luhur dan mengakar dalam kehidupan Masyarakatnya. Suku Mbojo dengan nilai budaya Maja Labo Dahu, suku Sumbawa mempunyai budaya Sabalong Samalewa, dan suku Sasak terkenal dengan budayanya Patut Patuh Patju.
Budaya Bima sebagai perisai kehidupan yang paling menonjol adalah budaya ”Maja labo Dahu”. Sebuah Simbol yang dibudayakan agar menjadi benteng dan tindakan seseorang dalam kehidupan yang dapat memberikan petunjuk untuk menetapkan tentang tindakan yang baik atau buruk, Demikian ‘Maja labo dahu’ sebagai sebuah sistem nilai budaya masyarakat Bima pada masa pemeritahan sultan Muhammad Salahuddin 1917 – 1951 dan suku Mbojo pada umumnya.
Maja Labo Dahu sebagai falsafah kehidupan Masyarakat Bima yang memberikan efek yang positif terhadap karakter masyarakat ketika pesan-pesan moralnya di pahami seutuhnya oleh Masyarakat Bima, Maja Labo Dahu yang berarti “Malu dengan Takut”, secara leksikal “Maja” berarti Malu, “Labo” berarti dengan dan bisa juga diartikan sebagai dan, kemudian “Dahu” yang berarti takut.
Dengan demikian Maja labo Dahu memiliki arti ‘Malu dan Takut’. Sedangkan secara filosofis “Maja Labo Dahu” bermakna: Pertama, Maja; dikonsepsikan sebagai sebuah sikap moral manusia untuk merasa ‘Malu’ terhadap tindakan yang menyimpang, atau melanggar hukum baik hukum Agama, hukum Negara dan etika sosial-budaya yang mencerminkan kearifan lokal sebuah komunitas Masyarakat. (Ilmiawan Mubin dan Hikmah, 2020).
Baca juga: Menelisik Jaringan Ulama dan Islamisasi di Indonesia Timur
Falsafah Maja Labo Dahu
Maja Labo Dahu merupakan pandangan hidup yang dilakukan dalam berpikir, bertindak dan berbicara dalam masyarakat. dengan Maja Labo Dahu yang menjadi falsafah hidup, pandangan hidup serta pengendalian kehidupan suku Mbojo (Bima).
Jadi arti Maja Labo Dahu secara bahasa jika dirangkaikan berarti “Malu dan Takut”. Maka secara semantik atau maknawi Maja labo Dahu berarti, Maja (Malu) bermakna bahwa orang ataupun masyarakat Bima akan malu ketika melakukan sesuatu diluar daripada koridor agama, apakah itu kejahatan, perbuatan dosa dan lain sebagainya, baik yang berhubungan dengan manusia ataupun terhadap Tuhannya.
Dahu (takut), berarti masyarakat Bima seharusnya memiliki perasaan takut untuk melakukan sesuatu kejahatan atau prilaku yang buruk melanggar norma-norma agama dan masyarakat. Persperktif dan pemahaman mahasiswa tentang nilai dan falsafah Maja labo dahu sangat penting dalam upaya melestarikan dan menghidupkan nilai-nilai tersebut di tengah-tengah masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Bagaimana proses internalisasi dan implementasi nilai falsafah budaya bisa terjadi jika mahasiswa sebagai generasi muda dan penerus memiliki perspektif dan pemahaman yang keliru dan salah terhadap nilai-nilai budaya tersebut.
Dengan demikian, bahwa falsafah Maja Labo Dahu merupakan falsafah yang Universal yang bisa diterapkan pada semua orang dan semua wilayah, bahkan dunia sekalipun, karena didalamnya mengandung nilai-nilai positif dan sangat bermanfaat, menjunjung tinggi nilai kejujuran dan saling hormat- menghormati sesama manusia.
Jika dikaji dan dipahami secara mendalam, maka falsafah ini mengandung nilai universal, inilah yang dimaksud etik dalam perspektif Lintas Budaya.
Maja labo dahu merupakan sistem nilai budaya ideal yang bersifat abstrak, sebagai pandangan hidup yang dijadikan pedoman dalam berfikir, bertindak dan berkomunikasi dalam aktivitas kehidupan masyarakat Bima. Makna budaya maja labo dahu juga bersifat simbolis yang mengandung arti yang luas.
Orang Bima di pedalaman misalnya mempunyai pandangan bahwa maja labo dahu berarti dou (manusia) yang mempunyai sifat-sifat yang berbeda dengan binatang. Walaupun dou itu selain memiliki sifat-sifat kemanusiaan, juga memiliki sifat-sifat kebinatangan.
Menurut pandangan mereka, manusia dapat membedakan yang baik dan yang buruk, maka orang yang dapat mengaplikasikan sifat-sifat kemanusiaannya itulah yang disebut dou (manusia) atau yang memiliki maja labo dahu. Dengan analogi sederhana bahwa setiap orang yang berhasil dalam pendidikannya, pekerjaannya atau usahanya disebut telah menjadi manusia karena dianggap telah nilai implementasi budaya maja labo dahu dalam tatanan sosial kehidupannya.
MAKNA FILOSOFIS MAJA LABO DAHU DAN PENGARUHNYA TERHADAP KARAKTER MASYARAKAT BIMA PADA MASA PEMERITAHAN SULTAN MUHAMMAD SALAHUDDIN 1917-1951, Ilmiawan Mubin, Hikmah Hikmah, 2020.
Ilustrasi: Kompasiana.com
Mahasiswa Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang {UMM) dan Pegiat Rumah Baca Cerdas (RBC) A. Malik Fadjar Malang.