Jum’at, 27 Maret 2021 siang, saya berkesempatan mengikuti webinar yang diadakan oleh Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya dengan tema, “Kontribusi Maqashid al-Syari’ah dalam Perkembangan Hukum Islam di Indonesia dan Dunia Internasional”.
Akhir-akhir ini, tema Maqashid al-Syari’ah (MS) sangat menarik diperbincangkan karena dianggap sebagai salah satu metode jitu dalam menjawab problema kontemporer yang semakin kompleks. Adapun narasumber yang dihadirkan adalah Prof. Nadirsyah Hosen, biasa disapa Gus Nadir, salah seorang akademisi Indonesia yang sejak 2015 mengajar di Fakultas Hukum Monash University, Australia sekaligus Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI NU) di Australia dan Selandia Baru.
Mengawali paparannya, Gus Nadir menjelaskan bahwa Syaikh Izzuddin Abdussalam yang bermazhab Syafi’i tidak seterkenal al-Syatibi yang bermazhab Maliki dalam membicarakan MS. Kenapa demikian? Karena menurut Gus Nadir pembahasan maslahah dalam kitab al-Qawaid karya Syaikh Izzuddin terlalu rumit dan njlimet, sementara Imam al-Syatibi berhasil dan dianggap mampu mensistimatiskan pembahasan MS. Maka dari itu, muncullah teori MS yang back to basic, kembali kepada tujuan disyariatkannya hukum Islam, menghindari ushul fiqh yang lebih pada pembicaraan kaidah kebahasaan yang sangat njlimet dan rumit.
Dalam pengamatan Gus Nadir, belakangan ini banyak sarjana membicarakan maqasid sehingga muncul demam MS di mana-mana termasuk sarjana S1 di Fakultas Syari’ah UINSA Surabaya, sebagaimana informasi dekan FUSA dalam kata pengantarnya bahwa banyak skripsi mahasiswa membahas MS, namun sarjana belakangan ketika membahas MS, ternyata malah membuat teori MS yang sangat njlimet lagi.
Barangkali hal demikian, tambahnya, adalah kebiasaan ahli hukum, di mana mereka terbiasa merumitkan sesuatu yang sudah rumit. Semakin tambah rumit suatu masalah semakin dikatakan tambah ilmiah dan semakin kelihatan pintar. Begitu juga mungkin para dosen yang mengajar di Fakultas Syari’ah, semakin mahasiswanya tidak paham, semakin dosennya bangga bahwa ia berhasil mengajar dengan baik, canda Gus Nadir.
Karena itu, karya-karya sarjana belakangan, semakin dibaca semakin terlihat MS itu kembali seperti produk ushul fiqh, semakin teknis dan rumit. Semakin dibaca, bukannya orang semakin paham tentang MS tapi sebaliknya semakin tidak paham. Karenanya, Gus Nadir mengajak untuk berpikir menyederhanakan persoalan, jangan malah tambah meruwetkan dan merumitkan suatu persoalan.
Membahas tema webinar di atas, Gus Nadir mengajukan pertanyaan, apakah bisa kita katakan bahwa semua produk Undang-undang dan Peraturan Pemerintah dipandang Islami ketika memenuhi unsur kemaslahatan (maqasid al-syari’ah)? Padahal topiknya tidak terkait langsung dengan keislaman, anggota parlemen yang menetapkan Undang-undang itu tidak semuanya Islam. Ada orang-orang non Islam di sana?
Gus Nadir mencontohkan Undang-undang lalu lintas. Di Australia sama aturan main lalu lintasnya dengan di Indonesia. Kita menyetir mobil di jalur sebelah kiri, berbeda dengan Amerika dan Eropa di jalur sebelah kanan. Hukum Islam sendiri tidak mengatur jalur kiri atau kanan, ashabul yamin dan ashabus simal karena memang dahulu tidak ada mobil, adanya onta untuk berkendaraan. Dulu di padang pasir jalannya tidak ribet, tidak ada lampu merah, dan tidak ada jalur kiri atau kanan.
Kemudian timbul pertanyaan, bisakah dikatakan bahwa menyetir di jalur kiri itu tidak Islami, tidak syar’i, karena termasuk ashab al-simal, sementara yang syar’i itu menurut sementara orang adalah jalur kanan, ashab al-yamin. Bisakah kita tidak mengikuti aturan Udang-undang atau aturan pemerintah karena hal itu tidak diatur oleh al-Qur’an dan hadist Nabi dan juga tidak semua anggota parlemen itu orang Islam?
Jika kita tidak mengikuti aturan lalu lintas, maka kita akan melawan arus. Jika demikian adanya, maka bertentangan dengan hifd al-nafs menjaga jiwa karena kalau melawan arus, besar kemunginan akan bertabrakan dengan pengendara lain sehingga dapat menghilangkan nyawa. Karena itu, kalau kita melanggar lalu lintas, maka kita dianggap melanggar MS, meskipun peraturan lalu lintas itu tidak berkenaan dengan topik keislaman dan tidak semua orang-orang parlemen beragama Islam. Dengan cara pandang seperti ini, kita melihat topik MS lebih aplikatif daripada kita rumitkan dengan teori-teori yang ada.
Namun demikian muncul problem, terdapat kekhawatiran dari sekelompok kyai dan ahli hukum bahwa MS ini dapat digunakan sebagai cara untuk melegalkan semua hal sehingga aturan hukum yang qath’i bisa diterabas semuanya hanya berdasarkan MS. Kenapa? Karena ada sebagian orang yang mengatakan bahwa qath’I – dhanni itu masih berdasarkan kaidah kebahasaan, fi’il amr apakah lil wujub atau tidak, sementara MS sudah bicara substansi, tidak hanya sekedar kaidah kebahasaan yang njlimet tadi.
Maka ada yang mengusulkan agar teori qath’i – dhanni bergeser. Dalam arti qath’i adalah MS, substansi dari syari’at Islam. Selain itu, aturan hukum yang bersifat teknis dan detail adalah dhanni. Bisakah pandangan seperti ini diterima? Jika diterima, menurut Gus Nadir, pendekatan MS merupakan terobosan dalam diskursus hukum Islam.
Gus Nadir sendiri merasa tidak yakin bahwa semua persoalan dapat diselesaikan dengan MS. Ia menyarankan agar kaidah kebahasaan, kaidah ushul fiqh dan ilmu-ilmu lain seperti sosiologi, antropologi, sejarah, dan lain-lain perlu juga diperhatikan. Karena MS itu adalah tata nilai yang dinamis yang bisa dikembangkan lebih jauh. Yang penting adalah titik tolak berangkatnya persoalan itu maupun tujuan akhirnya, tetap MS. Oleh karena itu, kita harus menggabungkan teks dengan konteks dan kaidah kebahasaan dengan MS.
Persoalan berikutnya adalah urutan dari MS, apakah hifd al-din itu urutan pertama atau terakhir, dimana urgensinya meletakkan urutan ini secara hirarkis? Diletakkan secara hirarkis ketika ada kontradiksi antara satu elemen MS dengan elemen lainnya, maka mana yang dimenangkan?
Gus Nadir mencontohkan saat awal terjadinya pandemi Covid-19, terjadi perdebatan luar biasa mengenai apakah sholat Jum’at dilakukan di masjid atau diganti dengan sholat Dhuhur di rumah. Keluarlah fatwa dari ulama yang berhati-hati, yaitu tergantung zonanya. Ada lagi yang berpendapat, tidak bisa tergantung zonanya karena ada orang tanpa gejala, kita tidak tahu, orang itu kelihatan sehat tapi membawa virus Covid-19. Maka mana yang dimenangkan antara hifd al-din (menjaga agama) atau hifd al-nafs (menjaga jiwa)? Sebagian berpatokan pada hifd al–din, maka tetap melakukan sholat Jum’at dengan berbagai modifikasi dengan memakai masker dan shafnya berjarak, sementara ada yang berpendapat cukup dengan sholat Dhuhur di rumah saja.
Setelah sekian lama berjalan, maka mayoritas umat Islam tidak peduli lagi dengan fatwa-fatwa itu, banyak sekali masjid yang tidak peduli dengan protokol kesehatan. Mereka bertanya kenapa masjid saja yang memakai protokol kesehatan padahal hanya sebentar, paling lama tiga puluh menit sampai satu jam, sementara pasar dan mall bukanya dari pagi hingga sore.
Hal ini menunjukkan bahwa ketika para ulama mengaplikasikan teori MS dalam menetapkan kasus yang muncul, mereka beda pandangan. Mereka sepakat tentang MS dan elemen-elemennya walaupun berbeda dalam mengurutkannya, tapi tidak ada dari mereka menganggap hifd al-din dan hifd al-nafs bukan MS. Jadi, para ulama hanya berbeda pandangan ketika MS itu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari seperti persoalan Covid-19 sebagaimana dibahas di atas.
Muncul lagi pertanyaan, siapa kira-kira yang berwenang memutuskan masalah MS ini. Apakah diserahkan kepada individu atau ulama. Di Indonesia terdapat banyak ulama, ada yang tergabung dalam organisasi MUI, NU dan Muhammadiyah, masing-masing mereka memiliki fatwa sendiri-sendiri.
Persoalan berikutnya adalah, kenapa elemen dalam MS itu hanya lima, kenapa tidak lebih? Para ulama memberikan ulasan bahwa elemen itu bisa berkembang karena nilai-nilai itu sangat dinamis dan ternyata tidak hanya lima, ada yang lain seperti hifd al-irdh (menjaga kehormatan atau menjaga HAM), hifd al-bi’ah (menjaga lingkungan), global climate, hifd al-siyasah (menjaga politik kebangsaan).
Pertanyaannya, bisakah ketiga hal tersebut dimasukkan dalam MS. Misalnya hifd al-bi’ah, menjaga lingkungan. Sekarang ini persoalan global climate change, perubahan iklim global, menjadi salah satu hal penting di dunia Barat dan menjadi salah satu poin pertengkaran antara negara maju dengan negara-negara berkembang. Semakin maju suatu negara ternyata semakin tidak peduli dengan global climate. Pada saat yang sama, persoalan lingkungan menjadi pertimbagan penting pemerintah dalam memutuskan kebijakan-kebijan nasional.
Sejauhmana urusan global climate change bisa dijelaskan dengan MS? Kalau di Indonesia itu ada lemari es yang bersertifikat halal dari MUI, sementara di luar negeri jika ingin membeli lemari es bukan masalah halal haramnya yang diperhatikan tapi dilihat dari energy rating–nya, semakin tinggi energy rating–nya, maka semakin hemat listrik, semakin kita turut berkontribusi dalam penyelamatan planet. Oleh karena itu, pemerintah Australia sampai mengatakan ada cashback bagi siapa saja yang membeli produk-produk yang energy reting–nya tinggi, maka dia mengirimkan slip pembayaran itu pada pemerintah dan pemerintah akan mengganti sebagian pembayarannya.
Praktek seperti ini adalah untuk mendorong orang membeli produk-produk yang sesuai dengan hifd al-bi’ah, hemat listrik. Jadi kita masih berkutat masalah halal-haram, sementara di negera Barat berbicara bagaimana menjaga lingkungan dengan membeli produk-produk ramah lingkungan.
Contoh lain dari hifd al-bi’ah, menjaga lingkungan, adalah pengundulan hutan. Di mana saat ini marak dilakukan pengundulan hutan terutama di pulau Sumbawa (Sumbawa, Dompu, dan Bima). Mereka mengunduli hutan untuk menanam jagung. Praktek pengundulan hutan ini termasuk merusak lingkungan dan mengakibatkan tanah longsor dan banjir bandang. Oleh karena itu, praktek pengundulan hutan dengan dalih apapun termasuk melanggar MS berupa hifd al-bi’ah. Begitu juga dengan hifd al-siyasah, menjaga politik kebangsaan. Dan ini membutuhkan diskusi yang panjang.
Jadi usulan menambah elemen-elemen baru dari hifd al-khams(menjaga lima hal) dalam MS (din menjaga agama, nafs jiwa, aql akal, nasl keturunan dan mal harta) itu sah-sah saja dilakukan tapi yang lebih penting adalah bagaimana mengkontekstualisasikan kelimanya itu. Misalnya hifd al-mal, menjaga harta. Jika dikontekstualisasikan, tidak sekedar kalau mencuri dipotong tangannya. Hifd al-mal saat ini dalam konteks kesejahteraan masyarakat. Jika ada pemerintah yang gagal memberikan kesejahteraan kepada masyarakat maka pemerintah itu, baik di Indonesia maupun di luar negeri, baik pemerintahan muslim maupun bukan, dia melanggar MS.
Atau kalau ada pemerintah atau kampus menggaji dosennya tidak memadai, perpustakaan tidak lengkap, dan dana risetnya terbatas, maka kampus tersebut gagal dalam melaksanakan hifd al-aql karena tidak mendukung pengembangan dosennya. Ini juga tentu terkait dengan kebijakan Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang pengembangan perguruan tinggi.
Hifd al-nasl, menjaga keturunan, dalam contoh-contoh klasik adalah larangan berzina. Kalau kita kontekstualkan saat ini maka hifd al nasl adalah harus memiliki keturunan yang berkualitas baik, maka persoalan masyarakat tentang mengatasi stunting (kondisi yang ditandai ketika panjang atau tinggi badan anak kurang jika dibanding umurnya atau anak seusianya). Jika pemerintah masih gagal dalam mengatasi stunting pada bayi dan balita, maka dianggap melanggar hifdun nasl karena tidak menjaga kualitas keturunan.
Begitu juga kalau ada orang yang tidak mau pakai masker dan tidak mengikuti prokes dan menjaga jarak dalam kerumunan orang, maka dianggap melanggar MS terkait dengan hifd al-nafs, menjaga jiwa. Artinya tidak hanya melanggar aturan negara tapi melanggar aturan syari’ah, maka ia berdosa karena ia tidak mengikuti prokes, tidak memakai masker. Begitu juga dengan hifd al-din dikontekstualkan sebagai toleransi dan kebebasan beragama.[]
Ketua Prodi Hukum Ekonomi Syariah UIN Mataram dan Pengkaji Islam dan Budaya Lokal.