Siapa yang masa kecilnya pernah buka puasa sembunyi-sembunyi bersama teman-temannya?. Setelah itu merengek-rengek ke orang tua minta belikan ini dan itu waktu beduk magrib tiba. Berhagialah, anda termasuk orang yang setia kawan, walau untuk membatalkan puasa bersama-sama.
Tentu yang ada dalam benak kita saat itu adalah solidaritas. Satu kena, semua harus kena. Satu batal, yang lain juga harus membatalkan puasanya. Solidaritas di atas segalanya. Apakah itu baik? baik!. Ingat, Ramadan bukan bulan untuk unjuk gigi saya yang lebih kuat puasa, anda tidak. Saya yang lebih banyak khatam Al Qur’an, kamu jarang atau saya yang lebih banyak sedekahnya. Itu semua ranah Tuhan yang menilai.
Baca juga: Ramadhan: Gerakan Revolusi Mental
Jauh dari itu, Ramadan itu bulan solidaritas. Di mana sekat-sekat dan perbedaan di dalam masyarakat itu kita lebur dalam menyambut, merasakan dan menikmati bulan baik ini. Senasip dan sepenanggungan.
Bukti mengapa saya berani mengatakan Ramadan ini adalah bulan solidaritas adalah romansa dan semangat kita dalam menyambutnya. Semua orang dengan ikhlas harus berhaus-hausan dan berlapar dalam menjalankannya. Malamnya kita sama-sama salat dengan khusyuk. Berbondong ke Masjid, walau sebelumnya kita jarang sekali berjamaah di Masjid.
Ini membuktikan, bahwa daya Ramadan sebagai bulan solidaritas dan penguat rasa kolektivitas antar masyarakat sangat kuat. Bahkan, sudah sering dikhotbahkan bahwa puasa saja tanpa salat amatlah rugi, tapi karena daya Ramadan dan termotivasi melihat yang lain ke masjid, kita sama-sama ke Masjid.
Intinya kita sudah berada pada ranah Ramadan sebagai bulan ibadah kolektif yang kuat dibandingkan Ramadan sebagai bulan ibadah vertikal hamba dan Tuhannya.
Contoh lain misalnya, anak-anak yang rela bangun pagi-pagi untuk membangunkan kita sahur, berjalan keliling kampung, berteriak, dan memukul apapun yang bisa menghasilkan bunyi yang keras. Pertanyaannya adalah, apakah kita memberi mereka imbalan atas kebaikannya itu?.
Jika tak ada solidaritas dan kebersamaan, mustahil itu dilakukan bukan?. Bahkan lebih jauh lagi, kelompok anak-anak ini sudah menyiapkan jauh-jauh sebelumnya, biasanya mereka langsung tidur bersama-sama dalam satu tempat, bangun bersama dan melanjutkannya dengan sahur bersama-sama.
Tanpa kita sadari, ini adalah sebuah modal sosial yang bagus untuk agenda kedepan umat Islam. Hari-hari ini kita yang dihantui dengan isu polarisasi agama, populisme Islam, dan isu-isu sektarian lain yang banyak memecah-belah kita sebagai ummatan wahidah. Inilah momentumnya, untuk kembali rekonsiliasi dalam tubuh umat kita.
Baca juga: Ketika Kebaikan yang banyak Terasa Tidak Cukup, Namun Ujian Sedikit Justru Menjerumuskan
Sebagai sebuah momentum, Ramadan tak hanya mampu mengikat masyarakat dalam sebuah ritual kolektif sesama masyarakat. Jika Ramadan saja mampu membangun solidaritas anggota masyarakat, mengapa kita juga tidak membangun rasa solidaritas itu dalam tubuh anggota keluarga kita?.
Daya pancar Ramadan ini harus mampu kita terima sebagai daya untuk rekonsiliasi juga dengan sesama keluarga kita. Tak jarang sekat-sekat yang terjadi sebelum bulan Ramadan ini terjadi di tengah keluarga. Riak-riak kecil dalam masalah-masalah ekonomi, warisan dan harta gono-gini harus bisa dicairkan dalam bulan Ramadan ini.
Tunggu apalagi untuk kita rekonsiliasi, agar menjadi manusia yang fitri di akhir Ramadan nanti. Bulan suci yang berdaya, membuat kita solid dan rekonsiliasi untuk satu, ummatan wahidah yang tentunya harus kita respon, agar kita menjadi khaira ummah itu.
Predikat khaira ummah itu tidak begitu saja kita dapatkan. Khaira ummah itu adalah kulminasi dari segala sikap respek, solidaritas dan tanggung jawab kita terhadap sesama. Rasa senasib-sepenanggungan sebagai khalifah fil ardi. Ia adalah akibat, bukanlah hasil. Khaira ummah adalah proses yang terus-menerus harus digeluti oleh umat Islam, agar ia lebih berdaya.
Semoga daya Ramadan ini mampu kita respon dengan sebaik-baiknya.
Ilustrasi: Kaligrafi Ustadz Didin Sirojuddin AR.
Alumni Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Founder Komunitas Mbojo Itoe Boekoe