Di tengah kemajuan teknologi robotik misalnya, boleh jadi konsepsi tentang agama dan kematian akan berubah total terutama saat nyawa sudah dapat di-download. Hal itu berdasarkan lompatan kemajuan sains dan teknologi yang luar biasa sekarang ini. Banyak mitos, rahasia ilmu pengetahuan bahkan beberapa informasi dari kitab suci yang dibantah fakta-fakta sains. Misalnya sosok dan berbagai keajaiban serta peristiwa besar pada zaman Nabi Adam, Musa atau Nuh yang tidak memiliki jejak-jejak arkeologis.
Baca juga: Radikalisme dan Moderasi Beragama
Dalam buku terbaru Denny JA “11 Fakta Google: Bergesernya Pemahaman Agama” (2021) dibentangkan fakta empiris bahwa banyak negara yang mencapai kesejahteraan ekonomi, pendidikan, kesehatan, kebebasan, kebahagiaan dan kedamaian sekarang justru mendasarkan prinsip-prinsip kenegaraannya pada sekularisme daripada agama. Sejumlah negara muslim juga menunjukkan kecenderungan serupa. Mereka semakin menegaskan pilihannya pada demokrasi sekular dibandingkan teokrasi. Yang pertama dianggap lebih menjanjikan kemajuan, kesejahteraan dan kebebasan dari yang pertama.
Begitu pun, warga negara-negara tersebut di atas menyatakan dirinya ateis atau agnostik. Prinsip dan nilai-nilai sekularisme dianggap lebih menjanjikan ketimbang agama.
Negara-negara yang menikmati kemajuan ini terutama di kawasan Skandinavia dan Eropa (Finlandia, Denmark, Swedia dll). Sebaliknya negara-negara yang mendasarkan diri pada agama justru terbelakang, korup, otoriter, menindas kebebasan dan demokrasi. Fakta-fakta di atas berdasarkan survei Gallup Poll maupun dipadukan temuan Human Development Index (HDI), World Happines Index (WHI) dan Corruption Perception Index (CPI). Simpulan dari buku Denny JA adalah terjadi pergeseran dalam cara orang beragama secara global: dari klaim kebenaran mutlak (truth claim) menjadi kekayaan kultural milik bersama.
Agama tidak lagi dilihat sebagai alat permusuhan dan kebencian tapi menjadi sesuatu yang dirayakan secara bersama dalam semangat kesetaraan dan saling menghargai. Sejak 2013 banyak orang yang secara santai terlibat dalam berbagai perayaan hari besar meski dari agama lain bahkan tidak beragama. Malah sejak 2018 hampir 80 persen warga AS terlibat dalam perayaan hari Natal, Lebaran, Thanks Giving dan sejenisnya meski mereka berasal dari kelompok atau agama berbeda, agnostik atau ateis. Apa yang terjadi? Buku Denny menyimpulkan ada 3 berlian biru yang menyatukan umat manusia saat ini.
Baca juga: Spiritualitas dan Modernitas: Tantangan Agama di Masa Depan (4)
Satu, the Golden Rule yakni semangat kebajikan dan nilai-nilai moralitas universal. Sejatinya prinsip ini terdapat dalam hampir semua ajaran agama 500 tahun lalu: lakukanlah sesuatu sebagaimana kamu harapkan orang lain melakukan nya padamu. Begitu juga sebaliknya. Dua, Power of Giving. Semangat untuk saling memberi dan berbagi kepada orang lain tanpa memandang ras, suku, warna kulit, agama, jenis kelamin, orientasi seksual dan lainnya. Tiga, the Onenes. Kita adalah satu. Kita saling membutuhkan dan tergantung satu dengan lainnya.
Jika NU bisa melahirkan “Islam Nusantara” dapatkah kekristenan melahirkan “Kristen Nusantara” atau sejenisnya, merupakan pertanyaan lain dalam rangka mencari keserasian antara agama dan lokalitas. Itulah kegalauan yang kini menyelimuti alam pikiran sebagian teolog, pendeta dan akademisi Kristen di Indonesia. Memang, pergulatan antara lokalitas dan universalitas merupakan isu yang tak pernah selesai baik dalam konteks agama maupun lainnya semisal isu HAM. Kebutuhan untuk memberikan nuansa lokal tentu saja didorong keinginan dan harapan untuk mengakomodasi sekaligus lebih mendekatkan pemahaman, ajaran maupun praksis agama dengan masyarakat setempat.
Apalagi semua agama besar di Indonesia merupakan agama ‘impor’, sehingga kesan asing jadi tak terhindarkan. Banyak jamaah maupun kalangan pendeta yang mengeluhkan aroma asing itu dalam pelaksanaan ritus-ritus peribadatan di gereja. Sebagian kalangan lain juga mengusulkan penghapusan penggunaan awalan “di” pada institusi “Persekutuan Dewan Gereja di Indonesia” demi alasan lokalitas itu. Tetapi masih ditolak yang lain dengan alasan hal itu demi menjunjung tinggi universalitas Kristen dengan alasan istilah “Dewan Gereja Indonesia” belum tentu direstui Tuhan ketimbang “Dewan Gereja di Indonesia”.
Dari Toleransi ke Pluralisme
Sebelum pandemi dua tahun lalu, seorang perempuan teman dumay saya di Surabaya, selalu memposting foto jatah daging kurban tiap Idul Adha. Daging itu berasal dari panitia hari raya, mesjid di kompleks tempat tinggalnya. Kendati ia Kristiani tapi dia selalu mendapat jatah daging kurban dari panitia. “Lumayan, nggak perlu beli daging hehehe,” candanya. Tentu saja ia menerimanya dengan suka cita.
Baca juga: Spiritualitas dan Modernitas: Tantangan Agama di Masa Depan (2)
Konon, saat penyebaran Islam di Kudus, Sunan Kudus meminta warga muslim di wilayahnya agar tidak menyembelih sapi sebagai hewan kurban saat Idul Adha. Salah satu Wali Songo—penyebar Islam di tanah Jawa— ini menggantinya dengan binatang lain seperti kerbau atau kambing demi menghormati perasaan umat Hindu. Sapi merupakan binatang yang amat dihormati dan disucikan dalam keyakinan umat Hindu. Ketika berlangsung demo Aksi Bela Islam di Jakarta pada 2017, sekelompok massa terlihat menolong sepasang pengantin yang sedang terjebak lautan manusia. Mereka memberi jalan dan mengawal pasangan pengantin yang akan menikah dan melakukan pemberkatan di Gereja Katedral Jakarta—yang bersebelahan dengan Mesjid Istiqlal, salah satu titik kumpul massa.
Foto pengantin bergaun serba putih itu lalu diberi caption: bukti toleransi umat Islam. Tetapi benarkah, semua hal di atas—pemberian daging kurban, pelarangan sembelihan sapi, menolong orang beragama lain maupun melihat deretan bangunan berbagai rumah ibadah–menjamin harmoni kehidupan beragama secara permanen dan berkelanjutan? Dalam konteks toleransi, secara simbolik, mungkin iya. Fakta-fakta itu akan memberikan kesan tentang kerukunan umat beragama. Tetapi dalam relasi beragama jangka panjang, toleransi saja tidak cukup. Sekadar mengucapkan hari raya kepada teman atau tetangga yang beragama lain tidak cukup sebagai fondasi kerukunan beragama.
Mengapa? Secara sederhana ‘toleransi’ diartikan sebagai sikap menghormati perbedaan. Sekadar ‘saling menghormati perbedaan’ saja tentu tidak cukup tanpa disertai pemahaman yang memadai tentang makna terdalam dari satu doktrin, keyakinan, ajaran, tradisi atau ritus agama tertentu. Itulah yang disebut pluralisme. Sayangnya sebagian besar orang mengacaukan makna pluralisme seolah semua agama itu sama atau bahkan diidentikkan dengan sinkretisme. Padahal logikanya, untuk apa seseorang menganut satu agama tertentu kalau menganggap semua agama sama.
Dalam rentang waktu cukup lama samudera ajaran, kebaikan dan kebenaran dalam agama disempitkan, meminjam istilah AE Priyono, bagai baterai yang hanya terdiri atas elemen positif (+) dan negatif (-) di kedua ujungnya. Lahirlah kepicikan beragama: memandang dirinya sebagai satu-satunya paling benar, lurus dan murni, sedangkan di luar itu dianggap salah, sesat-menyesatkan dan pagan. Tidak hanya sampai di situ. Klaim kebenaran tunggal (truth claim) ini membawa konsekuensi lanjutan. Karena keyakinan lain dianggap sesat dan kafir maka menindas, menghina, merendahkannya, mempersekusinya bahkan memeranginya adalah kebaikan atau tugas suci.
Baca juga: Spiritualitas dan Modernitas: Tantangan Agama di Masa Depan (3)
Di luar itu relasi beragama diwarnai prasangka (prejudice) sehingga bisa memicu diskriminasi bahkan kekerasan. Agama, seperti kata AN Wilson, mengakibatkan umatnya menjadi egois. Mereka sangat mengagungkan perasaan dan pikirannya sendiri tapi mengabaikan perasaan dan pikiran orang lain. Dengan demikian toleransi sebagaimana ilustrasi di atas bukan jaminan bahwa kehidupan beragama kita sedang baik-baik saja. Toleransi adalah keharmonisan level paling bawah. Kita membutuhkan pluralisme. Dalam pluralisme kita bisa tetap meyakini kebenaran agama sendiri tapi juga tetap memahami dan menghargai keyakinan yang lain. Di era global kita memerlukan jenis dan cara beragama yang baru—menjunjung tinggi semangat kesetaraan secara teologis. Beragama dengan semangat “saling” bukan “paling”.
Stigma, Intoleransi dan Moderasi Beragama
Stigma, termasuk yang ditanamkan melalui kitab suci, merupakan salah satu hambatan terbesar dalam membangun relasi yang harmonis dan setara dalam beragama. Bagaimana menghilangkan stigma kepada orang lain? Dalam webinar “Break the Stigma, We are One” pada 7 Mei 2021 Pendeta Hariman AP sekaligus Kepala Pusat Studi Perdamaian Universitas Kristen Maranatha, Bandung, menyebutkan perlunya “3 P”.
Satu, pendidikan yakni menggalakan berbagai pendidikan kamajemukan, moderasi, multikulturalisme dan sejenisnya. Pendidikan kebhinekaan bukan dimaksudkan agar semuanya sama melainkan agar orang respek dan bersikap wajar terhadap perbedaan. Membiasakan orang saling berbaur tanpa larut.
Dua, pergaulan. Untuk menumbuhkan saling pengertian dan menghargai perbedaan pendidikan saja tidak cukup tapi juga perlu bergaul secara luas dengan berbagai kelompok berbeda. Hal itu akan memperkaya wawasan dan perspektif mengenai keragaman; bahwa kita hidup di tengah lingkungan dan suasana kebhinekaan yang kaya. Dari sini akan lahir rasa respek bahkan mensyukuri realitas yang ada; bahwa setiap orang tidak bisa memilih takdirnya: terlahir dimana, jenis kelamin apa, suku bangsa mana, ras, warna kulit atau keyakinan dan agama apa.
Tiga, perkuat berbagai kerjasama kolaboratif. Ibarat membikin film, group paduan suara atau pertandingan sepak bola, diperlukan kekompakan dan kerjasama para pihak untuk mewujudkan saling pengertian itu. Upaya tersebut juga bersifat multivalen baik dengan pendekatan politik, hukum, intelektual, kultural, kemanusiaan bahkan militer sebagaimana dijelaskan pada paragraf berikutnya.
Seorang penulis asal India pernah menyebutkan bahwa kita sekarang hidup dalam abad kebencian. Hal itu ditandai kebangkitan populisme dan era post truth. Tidak jelas kapan kemelut ini akan berakhir. Penyerangan gedung parlemen Capital Hill oleh para pendukung Donald Trump dalam sengketa Pilpres AS tahun 2020 lalu adalah puncak dari prahara ini. Puncak? Ya karena orang tidak pernah membayangkan bagaimana kekonyolan itu terjadi di sebuah negara yang mendaku dirinya sebagai champion of democracy tapi justru mempertontonkan perilaku ‘crazy’. Persis sama konyolnya dengan terpilihnya Trump sebagai presiden dis ebuah negara adidaya—sosok yang gemar membangkitkan sentimen rasisme. Pengalaman AS menunjukkan bahwa membangun demokrasi merupakan sebuah proses yang tak pernah selesai.
Seperti peristiwa kesejarahan lainnya masa depan dan nasib demokrasi memang harus selalu diperjuangkan selamanya. Ia bersifat eternal. Demokrasi—-sebagaimana karir dan masa depan, cinta dan kesetiaan—itu diperjuangkan bukan sesuatu yang diberi atau turun dari langit. Moderasi beragama maupun menghapus intoleransi juga demikian. Dalam webinar SRILI (Srikandi Lintas Iman) pada 4 Mei 2021 Sumanto Al-Qurthuby mengingatkan bahwa potensi sikap dan tindakan intoleransi dapat dilakukan oleh agama atau kelompok mana saja. Tidak hanya oleh mayoritas terhadap minoritas tapi juga sebaliknya, termasuk seagama. Intoleransi dapat dilakukan Muslim (mayoritas) terhadap non muslim (minoritas) dan sebaliknya: membalas intoleransi dengan intoleransi. Intoleransi juga dapat dilakukan oleh agama-agama besar terhadap berbagai kepercayaan lokal, tapi juga bisa sebaliknya: dilakukan agama lokal terhadap berbagai agama yang dipandang ‘agama impor’ dan seterusnya.
Wujud intoleransi juga dapat bermacam-macam: secara verbal (ujaran kebencian), psikis (teror dan ancaman), fisik (persekusi, melukai, merusak tempat ibadah dan lainnya). Harus diakui di ruang-ruang publik, baik di dunia nyata maupun maya, suara kelompok yang memperjuangkan semangat moderasi kalah kencang dari kelompok yang mengobarkan intoleransi. Selain karena secara psikologis ungkapan-ungkapan bombastis memang lebih berpeluang viral ketimbang seruan bernada sejuk, kelompok moderat juga cenderung lebih memilih menjadi mayoritas yang diam (silent majority). Baru belakangan ini saja kelompok moderat ini secara perlahan ikut bersuara dan mengkampanyekan moderasi baik dalam bentuk kajian dan pengajian virtual maupun berbagai portal.
Lantas bagaimana cara menghadapi narasi dan perilaku intoleransi, atau sebaliknya menyebarluaskan moderasi beragama? Menurut Sumanto Al-Qurthuby ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan.
Pertama, pendekatan politik yakni melalui berbagai kebijakan dan keputusan dalam pemerintahan. Pemerintah Kerajaan Arab Saudi misalnya dalam tiga tahun terakhir ini gencar melakukan pembaruan kurikulum pendidikan. Yakni dengan menghilangkan aneka prasangka, permusuhan dan sentimen kebencian terhadap agama lain atau kelompok lain (seperti Syiah) dalam buku-buku pelajaran (agama). Termasuk di dalamnya adalah mengganti makna dan penafsiran ayat-ayat tertentu dalam kitab suci agar lebih inklusif sebagai pengakuan terhadap kelompok lain.
Kedua, pendekatan hukum yakni melakukan penindakan tanpa pandang bulu terhadap setiap tindakan dan perilaku intoleran. Ketiga, pendekatan intelektual yakni dengan memberikan pencerahan, pengetahuan dan menyebarluaskan ide-ide kepada publik melalui berbagai saluran literasi, termasuk konten-konten di media sosial maupun tulisan ilmiah di jurnal akademik.
Keempat, pendekatan budaya, yakni menggunakan berbagai kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat untuk mempromosikan moderasi, hidup harmoni dan sikap saling menghormati satu dengan lainnya. Kelima, pendekatan kemanusiaan yakni terlibat dalam berbagai aksi sosial kemanusiaan seperti menjadi relawan bencana atau penyaluran bantuan bagi para korban bencana. Keenam, pendekatan militer. Ini adalah cara terakhir untuk menghentikan intoleransi jika semua pendekatan di atas telah gagal.
Ilustrasi: NU.or.id
Akademisi, mantan wartawan kampus, dan pengagum Gandhi, “Plain Living High Thinking”.