Di masa lalu, di Desa Renda dan Desa Ngali yang terletak di wilayah kecamatan Belo Kabupaten Bima, Ndempa tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari tradisi masyarakat.
Ndempa dalam bahasa Bima berarti ‘duel’. Adu fisik atau pertarungan antara dua orang atau sekelompok orang.
Bukan dalam makna bermusuhan tetapi lebih pada menguji kekuatan fisik antar pemuda di desa serta merupakan bagian dari selebrasi, pertunjukan dan hiburan atas usainya masa panen padi di kedua desa.
Tradisi Ndempa juga dimaknai sebagai ajang silaturrahmi dan bentuk komunikasi komunitas setempat.
Singkatnya, Ndempa dalam tradisi ini bermakna positif dan menjadi bagian dari adat istiadat.
Waktu berubah, penerjemahan tradisi ini kemudian bergeser jauh dari akarnya.
Segelintir generasi pewaris memaknai Ndempa sebagai aktifititas fisik yang dangkal yang dimanifestasikan sebagai tawuran dan perkelahian antar kampung. Bahkan menurut catatan kasus, ada yang dipicu oleh persoalan personal yang kemudian membawa-bawa nama kampung dan komunitas.
Upaya membenahi pergeseran makna ini membutuhkan partisipasi dan keterlibatan banyak pihak.
La RIMPU, akronim dari Sekolah Rintisan Perempuan untuk Perubahan, bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Bima, telah mengambil peran aktif dengan mengusung perempuan – ibu dan remaja putri setempat – diposisikan sebagai agen perubahan.
“Sekolah Rintisan Perempuan untuk Perubahan atau yang dikenal La RIMPU, adalah sekolah yang dikhususkan bagi pengembangan kapasitas dan nilai potensi pada diri masing-masing perempuan dan remaja putri. Terutama diniatkan sebagai agen perdamaian dan pembawa perubahan di lingkungannya,’
Demikian urai Bupati Bima Hj. Indah Dhamayanti Putri, SE atau yang akrab dipanggil Dinda ketika memberikan sekapur sirih dalam acara Literasi Konstitusi yang juga menghadirkan ketua MK Dr. Anwar , SH, MH sebagai pembicara utama di Kalikuma EduCamp & Library, Ule Kota Bima, Sabtu 22/05/2021
Ibu dua anak ini merupakan the rising star yang mengawali karir sebagai ibu rumah tangga di usia muda, yang kemudian terjun ke ranah politik setelah suaminya, Bupati Bima terdahulu H. Ferry Zulkarnaen, ST meninggal dunia.
Dinda sebelumnya terpilih sebagai Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bima sebelum akhirnya mencalonkan diri dan menang menjadi Bupati Bima dua periode (2015-2020 dan 2021-2026).
Karenanya ia paham, ada potensi tersembunyi pada setiap diri perempuan yang dapat digali dan diapreasiasi bersama untuk kebaikan diri, keluarga, dan lingkungannya.
Dengan mengusung peran perempuan sebagai agen, La Rimpu mengikuti filosofi Mahawo (pendingin), Manggawo (peneduh) dan Marimpa (menginsipirasi) dalam filosofi lokal.
Sekolah yang dimentori Dr. Atun Wardatun ini menginisiasi serangkaian pertemuan, sosialisasi, pelatihan dan refleksi pada perempuan di dua desa sejak 2018. Sekolah ini memfasilitasi perjumpaan sehingga jarak sosial menjadi rekat dan konflik menjadi berkurang.
“Mengapa perempuan? Karena sebagai pilar keluarga, perempuan menyimpan potensi untuk menjadi agen perdamaian, menjadi peneduh pada setiap persoalan, menggerakan asset lokal dan menjadi kontrol sosial pada kehidupan keluarga dan bermasyarakat,” tegas Dinda, panggilan akrab Bupati Perempuan satu-satunya di NTB ini.
“Kami dengan bangga menyampaikan bahwa selama kurun waktu 2018-2021 La Rimpu telah bekerja di enam Desa yakni Renda, Ngali, Kalampa, Dadibou, Nanga Wera dan Wora. Harapannya ini dapat terus dikembangkan dan direplikasi di desa-desa lain di Kabupaten Bima” ungkap Dinda saat peluncuran sekolah La Rimpu di Desa Nanga Wera dan Wora Kecamatan Wera pekan lalu.
“Sekolah ini cocok diadaptasi di wilayah lain, seperti halnya Kota Bima” tambah Dinda pada pertemuan yang dihelat oleh Alamtara Institute dan Lembaga Pengembangan Wilayah (LPW)-NTB, yang juga dihadiri walikota Bima H. Muhammad Lufti, SE.
Sebab sejatinya Perempuan adalah mahluk unik yang bersamanya membawa sifat rahim dari yang Maha Rahim. Merupakan peneduh, pengayom dan penginsipirasi bagi kebaikan di sekelilingnya.
Sebagai ibu, perempuan juga adalah madarasah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Mengajarinya nilai kebajikan dan kemanfaatan bagi sesama.*(RR)
Penulis buku Gurun Tak Bernama, mantan wartawan, dan alumni Erasmus University Rotterdam.