Cerita Sepotong Piza

Namanya Bre. Usianya 9 tahun. Hobinya masak, bikin kue, menata makanan di atas meja. Di usia belia ini, Bre cukup mandiri mengatasi kebutuhannya akan makanan. Banyak cara ia ungkapkan kecintaanya pada masak. Salah satunya, saat pagi hari ia bertanya “apa yang kita masak, bukan apa yang kita makan.”

Berbeda dengan ungkapan “we are what we eat” atau “we are what we don’t eat”. Bahan-bahan seadanya dia bisa sulap menjadi kue yang enak. Saya-lah yang selalu ia percayakan untuk mencicipi masakannya pertama. Walaupun Bre selalu bilang ibu hanya kenal dua rasa: “enak dan enak sekali”.

 Minat Bre membuat kue bukan tanpa alasan. Waktu mereka kecil, ayah Paox sering membuatkan kami kue. Jenis kue yang bagi saya  jarang  dinikmati. Maklum, secara saya minim sense di hal  berbau dapur dan masak-memasak. Untung bertemu ayahnya yang sangat menguasai ilmu dapur. Chef andalan kami. Bukan hanya kue yang  tersaji, tapi lengkap dengan pengetahuannya.  Ternyata dari kue dan kuliner menyimpan suatu tradisi sendiri. Menunjukkan suatu identitas budaya suatu komunitas, bahkan identitas suatu bangsa. Serupa  ungkapan Linda Civitello dalam bukunya  Cuisine and Culture, History of Food and People bahwa identitas, agama, negara, etnis adalah hal yang terikat erat dengan makanan (Civitello: 2011).

Baca juga: Perempuan Kedua

Makanan walau nampak sepele, ternyata memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat. Makanan serupa suatu pengikat keterpisahan satu komunitas dengan komunitas lain. Ketika berada jauh dari rumah, makanan merekatkan rasa memiliki dalam ruang terasing sekalipun.  Serupa ingatan ayahnya akan  Mbok Sni, seorang juru masak keluarga. Ia sangat lihai meracik masakan jenis apapun ditemani sebatang linting rokok dimulutnya.

Kembali ke piza. Suatu malam Bre cerita tentang keinginannya membuat piza. Dia jelaskan bahan yang dibutuhkan lengkap dengan cara membuatnya. Pengetahuan itu ia dapatkan lewat tik tok. Upsss, jangan salah bu, di tik tok juga ada konten positifnya. Rupanya adek Bre paham respon saya terkait itu. Saya pun bertanya, kenapa piza bentuknya bundar?  

Dilansir dari history today. Sejak berabad-abad lalu, tepatnya abad-18, makanan menyerupai piza muncul di Napoli, Italia Selatan. Dengan bentuknya berupa potongan roti pipih dengan taburan gurih disajikan sebagai makanan sederhana dan lezat bagi mereka yang tidak mampu membeli piring. Juga menemani para penempuh perjalanan jauh. Piza identik dengan makanan murah. Piza sama halnya dengan potret kemiskinan. Kata pizza sendiri berasal dari kata kuno Italia yang artinya “cubit”. Mencubit merupakan cara memakan pizza yang sebenarnya.

Bre baru tahu kan? Yes bu, nanti Bre cek di tik tok lagi. “Sudah bu, jangan senyum gitu. Tik tok ada pengetahuannya juga,” tegas Bre. “Siap Bre, Bre bosnya.” Balas saya. Akhirnya kami memutuskan membeli bahan yang sudah ia catat. Roti, mentega, sosis, saos spageti, keju lapis. Diantar ayahnya, Bre melaju riang.

Baca Juga  Empat Puluh Jam Tanpa HP, Sungguh Menyenangkan

Saatnya masak. Bre meracik bahan yang dibutuhkan. Suara blender terdengar dari luar rumah. Kami menawarkan bantuan tapi ditolak halus. “Ibu duduk saja, lihatin Bre masak. Tugas ibu nyicipin.” Tegasnya.

Sebagai ibu saya merasa bahagia. Bre membuat dua buah piza. satu piza untuk di rumah, 1 lagi untuk Majesty, kakak tertua Bre di Pondok Pesantren. “Bagaimana rasanya?” Kami sangat mengapresiasi kemampuan Bre membuat piza, dan rasanya. “ewwwwnaaak tenan. Terima kasih banyak  Bre.” Balas kami, sambil tersenyum.

***

Sore menjelang, langit kelihatan menghitam. Tanda-tanda hujan pun akan turun. Kami tidak sabar mengantar sepotong piza untuk  Majesty. Karena mobil sedang diopname, hanya motor yang tersedia sebagai alat transportasi menuju Madani Super Camp. Kami membayangkan bahagianya Majesty menerima sepotong piza itu. Tanpa sepengetahuan ayah, saya pun melaju ke pondok seorang diri. Serupa petugas pengantar piza.

Hujan turun di tengah perjalanan. Saya pun mencari tempat berteduh. Terlihat pos jaga samping sungai kecil disinggahi dua orang pengendara sepeda motor. tiga dengan saya. Wadah piza diamankan. Hujan semakin deras. Dering telepon terdengar. Video call ayah. Beliau mengingatkan untuk hati-hati, perjalanan masih jauh. Tidak ada tanda-tanda hujan segera reda. Hati saya tetap tenang, bahagia. Teringat kisah yang disampaikan Maulana Syamsudin “setetes air dari hari Alastu”. Seorang kafilah menempuh perjalanan jauh yang tidak menemukan pemukiman dan mata air. Hingga seorang pandai menemukan cara menghadapi mahluk hitam penjaga sumur. Para penempuh selamat dengan meminum air itu. Kisah ini bagian dari penggalan tulisan dalam buku Fihi Ma Fihi, karya monumental Jalaluddin Rumi.

Hujan menyisakan rintik. Saya pun bersiap kembali melaju. Hari semakin gelap. Tanda azan magrib akan mulai berkumandang. Kendaraan terus dipacu. Lokasi yang dituju di Desa Sedau Kecamatan Narmada. Jalan yang dilewati tidak terlalu mulus. Ada retakan, lubang menganga. Sebagai desa dengan lokasi tujuan wisata perkemahan dengan bendungan yang cukup terkenal: Gunung Jae. Tempat ini sangatlah indah. Hutan alami. Hawa dingin  sangat terasa. 

Gunung Jae bukanlah sebuah gunung, tapi tebing perbukitan yang mengitari sebuah muara sungai berbentuk danau kecil. Danau kecil nan tenang salah satu yang menjadi daya tarik keindahan obyek wisata tersebut. Serupa miniatur Gunung Rinjani. Danau ini mendapat aliran air dari dua sungai di kiri-kanannya. Satu sungai agak besar dan sungai kecil. Kedua sungai memiliki air bening dan jernih. Dari aliran sungai inilah akhirnya bertemu di muara yang dikenal dengan bendungan Gunung Jae. Air dari danau mengalir deras menuju sungai yang melewati pinggiran Taman Narmada.

Sorot lampu kendaraan yang berlawanan kerap kali ditemui. Ada yang membawa sekarung rumput, pisang, juga yang membonceng anak/ istrinya. Perasaan terasa lega. Secara ini pengalaman pertama ke Pondok menempuh perjalanan seorang diri di malam hari. Wadah piza kembali dicek. Alhamdulillah masih aman.

Baca Juga  Pers, Distrupsi Informasi dan Mudarat Demokrasi

Dari jauh terlihat spanduk bertulis Madani Super Camp. Hatipun lega. Sebentar lagi sampai. Belok kiri dengan kondisi jalan yang menurun membutuhkan kehati-hatian lebih. Motor melaju pelan dengan stang rem ditarik perlahan. Terlihat tiga motor  ditunggangi orang tua santri yang beranjak pulang. Lengkap dengan persiapan jas hujan melekat di badan.

“Assalamualaikum wr. wb.” Salamku.

“Waalaikumsalam.” dijawab lembut para santriwati yang berjaga.

Karena wajib jaga jarak, seorang santriwati  bertanya dengan suara agak keras.

“Mau titip apa bu, siapa nama anaknya?”

“Kanayan Sirra Majesty,” jawabku.

“Oooooooo mbak Majes,” balasnya.

Terlihat ia akrab dengan Majesty. Seorang santriwati menelpon petugas kamar memberitahukan kedatangan ibunya. Sambil menunggu, saya keliling melihat sekitar. Hamparan gunung  hijau, suara jangkrik, rintik hujan. Tidak ada suara kendaraan lalu lalang. Hening. 

Baca juga: Perempuan yang Menyuluh Obor: Tribute untuk Atun Wardatun

Terlihat anak perempuan dengan mukenahnya berjalan sedikit mendaki. Pelan pelan. Di tanganku sepotong piza masih aman.

“Assalamualaikum. Kenapa malam-malam ibu kesini. Sepi bu. Tapi insya Allah aman,” ungkap Majesty.

Dengan jarak sekitar 4 meter kami saling menanyakan kabar. Seperti biasa, Majesty menanyakan kondisi ayah dan adeknya. Ia juga tidak pernah kehilangan rasa terimakasih karena sudah menjenguknya. Kami pun menyampaikan hal yang sama. Terima kasih sudah belajar sungguh-sungguh. Aturan social distancing sangat patuh dijalankan. Walau kami sangat ingin berpelukan. Serupa teletubbies, berpelukaann, hehehe.

Sebelum pamit, ia menyampaikan sesuatu. Bu, Majes mendapat penghargaan “Student of the Week”. Penilaiannya santriwati cerdas, atitude baik, disiplin, dll. Dengan perasaan haru saya menyampaikan selamat. Kami percaya dengan kesungguhannya. Dari kecil, ia memiliki minat yang baik dengan belajar dan prestasi. Proses belajar dilakukan dengan riang, semampunya. Karena tidak ada yang lebih hebat dari kekuatan ilmu.  “Uthlubul ‘ilma minal mahdi ilal lakhdi”, ungkapan yang sangat terkenal “tuntutlah ilmu dari buaian (bayi) hingga liang lahat” itu.

Sepotong piza itu telah sampai dengan kisahnya. Melewati deras hujan, gelegar petir, hutan belantara. Sepotong piza dari gadis belia untuk kakaknya. Semoga kalian saling mencintai selamanya. Saling berpelukan dalam doa!!!

Ilustrasi: ICHI.Pro

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *