Kiai Imam Mawardi: Maqasid al-Syari’ah As a Total Approach

Rabu (31/3/2021) UIN Sunan Ampel Surabaya mengukuhkan enam orang Profesor dalam berbagai bidang. Tiga Profesor di antaranya berasal dari Fakultas Syari’ah, dosen-dosen terbaik menurut penulis. Prof Dr H Muh Fathoni Hasyim M.Ag, dalam bidang ilmu hukum Islam, Prof Dr H Masruhan M.Ag, bidang ilmu hadis dan Prof Dr H Ahmad Imam Mawardi MA, bidang ilmu filsafat hukum Islam.

Tiga lainnya tersebar dalam tiga bidang keilmuan yang berbeda, Prof Dr Hj Rr Suhartini M.Si, dalam bidang ilmu sosiologi, Prof Dr Hj Jauharoti Alfin M.Si, bidang ilmu bahasa Indonesia, dan Prof Dr H AH Zakki Fuad M.Ag, bidang ilmu pendidikan Islam.

Keenam profesor diberi kesempatan menyampaikan orasi ilmiah secara singkat sesuai dengan bidang keahlian mereka. Salah satunya adalah kajian maqasid al-Syari’ah yang disampaikan oleh Prof Dr H Ahmad Imam Mawardi MA, biasa disapa kiai Imam Mawardi berjudul Menemukan Wajah Damai Hukum Islam melalui Maqasid al-Syari’ah As A Total Approach.

Baca juga: Tirakat dengan Al-Quran: Pengalaman Seorang Santri

Dalam orasi singkatnya kiai Imam Mawardi menuturkan bahwa hukum Islam merupakan hal yang sangat vital dalam kehidupan umat Islam dan selalu diperbincangkan.

Dalam kajian keislaman atau Islamic Studies, hukum Islam merupakan queen of Islamic Studies, ratu dari studi Islam. Sebagai ratu, menurutnya, seharusnya tampil indah, tampil anggun, dan tampil mendamaikan.

Pertanyaannya, sudahkah wajah Islam muncul dalam wajah damai? Sudahkan hukum Islam muncul dalam wajah sejuk? Ternyata media massa menunjukkan bahwa banyak kegaduhan dan keriuhan gara-gara hukum Islam yang kesannya garang, kasar, dan kaku.

Semua orang mengetahui bahwa karakter hukum Islam, murunatus syari’ah itu fleksibel, elastis, dan adaptable. Tapi mengapa dalam level fakta, karakter itu tidak selalu berdialog dengan kenyataan. Apa sebenarnya penyebab hukum Islam itu tampil garang?

Baca juga: Mengapa dan Bagaimana Islamisme Muncul: Bedah Buku The Failure Of Political Islam Karya Oliver Roy (Bagian 1)

Dalam pengamatan kiai Imam Mawardi banyak kajian menunjukkan semua itu terjadi karena ada kepentingan politik, ada kepentingan ekonomi dan lain sebagainya, tidak murni lagi sebagai sebuah kajian keislaman.

Pada masa ulama-ulama salaf ketika kekuasaan tidak banyak bermain, ketika politik tidak banyak mempengaruhi, Islam tampil dengan bagus, diskusi tampil dengan gampang dan perbedaan pendapat adalah sesuatu yang biasa.

Tetapi kini, perbedaan pendapat akan menjadi pemicu suatu permusuhan dan kebencian. Kemudian apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Hal inilah yang paling penting untuk kita catat.

Menurut kiai Imam Mawardi, hal itu terjadi karena ada pertarungan kekuasaan politik yang memanfaatkan manusia-manusia yang harusnya netral sebagai scholars, netral sebagai sarjana dan ulama kemudian mereka tidak lagi netral. Lalu hukum Islam tidak lagi muncul dalam watak dan wajah aslinya yang damai dan menyejukkan.

Baca Juga  Malingi-nya Jalan Alan Malingi (Obituari untuk Alan Malingi)

Bagaimana mengembalikan ini semua? Menurutnya, tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada core message of Islamic law, inti pesan dari hukum Islam itu sendiri. Dalam kajian keislaman masuk dalam ranah kajian maqasid al-Syari’ah.

Baca juga: Pancasila Sebagai Civil Religion: Paradigma Alternatif Menuju Indonesia Harmoni (2)

Saat ini, kajian maqasid al-Syari’ah begitu ramai, banyak orang berbicara maqasid al-Syari’ah, sayangnya, kita terbelenggu sekian puluh tahun berdiskusi tentang konsep maqasid, lalu naik sedikit menjadi pendekatan, sehingga banyak juga orang berbicara tentang pendekatan.

Kajian terbaik dari diskursus pendekatan adalah syistem approach, pendekatan sistemnya-Jasser Audah yang mengagendakan bahwa hukum Islam tidak dapat berdiri sendiri tanpa diletakkan dalam sebuah konteks yang konteks itu berjalin kelindan satu dengan lainnya.

Meletakkan dalam konteks akan menjadikannya sangat luar biasa karena universality of Islam, universalitas Islam bahwa Islam itu bersifat semua, kapan saja, dan di mana saja, sholih li kulli jaman wa makan, yang akan muncul bukan karena teksnya tapi karena pesan yang terus mengisi konteks. Kalau hanya teks, menurut kiai Imam Mawardi maka habislah pembahasannya.

Abu Zahra menyatakan bahwa an-nushus tatanahi, teks itu terbatas, sudah berakhir, al-Qur’an hanya segitu teksnya tidak akan menambah lagi, malaikat jibril tidak akan menurunkan wahyu lagi, begitu pun dengan hadis Nabi hanya sebegitu saja. Walakinnal hawadis la tatanahi, tapi yang namanya peristiwa-peristiwa baru tidak akan pernah berakhir. Bagaimana kemudian merespon sesuatu yang baru itu, karena di situ bukan teksnya tapi pesan dari teks, core message, itulah yang sangat penting dan itu ada dalam maqasid al-Syari’ah.

Sayangnya, hal itu hanya sampai pada pendekatan, belum secara total. Sampai saat ini, banyak yang mengatakan bahwa Jasser Audah sudah lengkap sebagai sistem, Ahmad ar-Rasuni dengan al-tahdzib wa al-taqrib, dan Majid an-Najjar dengan indikator-indikator walaupun juga tidak lengkap.

Tapi mengapa hukum Islam belum mampu tampil damai? Jawabannya adalah karena fokus maqasid al-Syari’ah saat ini hanya pada tathbiqul ahkam hanya pada penetapan hukum, belum pada penerapannya.

Maqasid al-Syari’ah tidak hanya dibutuhkan pada waktu membuat hukum tapi ketika diterapkan dan dilaksanakan pun membutuhkan pertimbangan maqasid. Tidak setiap hukum yang ditetapkan dituntut untuk diterapkan segera, bisa jadi besok, bisa jadi lusa, bisa jadi tertunda, tergantung kemaslahatannya menuntut mana yang didahulukan. Inilah yang kiai Imam Mawardi sebut “dibutuhkan maqasid al-Syariah as a total approach”, pendekatan maqasid secara totalitas dan saat ini Indonesia sedang membutuhkannya untuk meminimalisir kegaduhan yang kerap kali muncul.

Baca Juga  Dinasti Abbasiyah dan Kebijakan Dua Khalifahnya (2-Habis)

Sebagai contoh kiai Imam Mawardi menyinggung sebuah karya disertasi bimbingannya yang mengkaji tahanan teroris. Apakah tahanan teroris dibiarkan berkumpul dalam satu sel dengan tahanan-tahanan biasa dengan alasan tidak ada rutan khusus teroris. Mereka memiliki kemampuan membaca Al-Qur’an dengan baik sehingga diminta untuk menjadi imam sholat dan mengajari ngaji, juga mengajari tafsir dan hadis. Pada akhirnya paham-paham terorisme yang mereka miliki dialirkan kepada tahanan-tahanan yang lain.

Baca juga: Tatkala al-Aqsha Diganggu Kewibawaannya

Maka ada ide pembangunan penjara khusus teroris dipertimbangkan untuk dibangun karena ada kekhawatiran mereka memiliki banyak kesempatan untuk merencanakan teror yang lebih dahsyat lagi. Jadi dalam persoalan ini terdapat masalah kemaslahatan. Maka dari itu, kita membutuhkan comprehensive approach pendekatan secara menyeluruh, pendekatan secara total.

Terdapat juga kajian disertasi tentang dua orang waria cantik, salah satunya dinikahi oleh orang besar, orang berada. Setelah empat tahun menikah, waria cantik ini tidak mengalami haid. Maka diajaklah oleh suaminya ke rumah sakit dokter Sutomo untuk diperiksa. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter, ternyata si waria itu kromosomnya laki-laki.

Ketika dokter mengatakan bahwa waria itu adalah laki-laki lalu putuslah percintaan mereka dan harus bercerai. Pertanyaannya, apakah hukum Islam akan menghancurkan cinta yang secara murni lahir dan dititipkan oleh Allah dalam hati? Dimanakah keindahan hukum Islam? Bisakah masalah tersebut dijawab dengan teks?

Menurut kiai Imam Mawardi, persoalan ini dapat dijawaban melalui pendekatan maqasid al-Syari’ah as a total approach. Untuk lebih jelasnya jawaban dari masalah tersebut, dapat ditelusur lebih lanjut dalam kajian disertasi dimaksud atau makalah orasi ilmiah beliau secara menyeluruh.

Ke depan, persoalan kontemporer yang semakin kompleks tersebut akan menjadi titik fokus kiai Imam Mawardi untuk diadvokasi dengan pendekatan maqasid al-Syari’ah as a total approach. Wallahu a’lam.

Ilustrasi: INews

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *