Jika pada pembahasan sebelumnya kita menemukan keselarasan antara konsep civil religion dengan Pancasila—dan bahkan telah sampai pada kesimpulan bahwa Pancasila itu sendiri sebagai agama sipil (civil religion), maka tidak hanya konsep civil religion-Bellah, Pancasila pun sangat mungkin untuk menjadi “agama alternatif”, paling tidak sebagai penengah (moderat) bagi agama-agama konvensional di Indonesia.
Baca juga: Pancasila Sebagai Civil Religious: Paradigma Alternatif Menuju Indonesia Harmoni
Spekulatif tersebut bukan tanpa alasan, mengingat agama-agama konvensional di Indonesia seringkali terlibat dalam beberapa kerusuhan, seperti konflik Islam-Kristen di Maluku, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atas dukungan kaukus Islam melalui Tengku Syafi’i, penyerangan terhadap Ahmadiyah di Banteng serta perusakan Gereja di Temanggung Jawa Tengah, dan masih banyak lainnya merupakan bukti atas “gagalnya” agama-agama konvensional di Indonesia dalam merajut kehidupan yang harmonis. Kenyataan itu lah mengapa konsep agama sipil dalam pemikiran Bellah ini penting untuk dipertimbangkan.
Konsep civil religion ini bukanlah agama baru atau sesuatu bentuk pemujaan nasionalis. Namun lebih kepada ketaatan bangsa Amerika akan prinsip-prinsip dan nilai-nilai etis yang di atasnya bangsa itu dibangun, (Titaley, 2013: ). Kata “religion” dalam agama sipil Bellah sama sekali tidak menunjukkan pada pengertian agama sebagai sistem kepercayaan atau – super agama – dari agama-agama yang ada di Amerika, namun hanya menjadi indikator perekat perbedaan dan titik temu (common platform) multiagama (Bellah: 78). Sehingga konsep civil religion ini dapat menjadi model pengembangan terhadap masyarakat plural.
Konstruksi civil religion dapat menjadi paradigma dan acuan bagi terciptanya tatanan masyarakat dunia yang beradab, karena sejatinya konsep agama sipil merupakan bentuk kesadaran warga negara yang merasa diikat oleh adanya kontrak sosial yang dibangun untuk mencapai kehendak umum (general will) secara bersama-sama, yakni keadilan dan kesejahteraan bersama. Kontrak sosial yang dimaksud adalah kesepakatan bersama antar penduduk untuk mencegah tindakan sepihak dalam mempertahankan hak-hak seseorang selama yang lain juga bertindak sama (Shapiro, 2003: 121).
Baca juga: Oksigen Baru untuk Pancasila
Dalam konteks ini, Bellah seperti ingin membangun sebuah antitesa dengan menolak anggapan kalangan liberal yang menganggap bahwa negara hanya bisa didasarkan pada perangkat hukum legal murni tanpa memiliki tujuan dan nilai. Bagi Bellah, tidak ada negara yang benar-benar murni liberal. Bahkan dalam kehidupan sosial-budaya dan politik di Amerika Serikat, agama masih memainkan peranan yang sangat penting. Dengan kata lain, agama atau religiusitas masih menjadi loyalitas utama yang melebihi loyalitas nasional. Dan ketika keduanya bertentangan, loyalitas terhadap agama harus diutamakan. Ini tidak berarti bahwa keduanya secara otomatis saling bertentangan (Sahidah, 2019: 9-13).
Konsepsi yang dibangun Bellah, jelas tidak mengabaikan apalagi menghapus agama dalam kesadaran hidup bernegara sebagaimana yang dikampanyekan oleh kaum liberal, sehingga suatu negara tidak perlu membangun tembok kokoh yang menjadi pemisah antara agama dan negara. Sebab menurut Bellah, agama sipil sangat dibutuhkan sebagai suatu komunitas politik yang tumbuh dalam negara dengan tetap memiliki orientasi tentang nilai-nilai dan tujuan-tujuan tertentu.
Tegasnya, agama sipil merupakan ide yang menempatkan agama sebagai sebuah substansi dan bukan sebagai formalisasi yang membuat jiwa rasional terabaikan. Ide ini dipahami sebagai kesepakatan akan nilai-nilai agama yang menjadi pegangan secara kolektif atau spirit pengikat dalam kehidupan berbangsa. Singkatnya, bahwa prinsip dasar agama sipil merupakan gagasan untuk menghilangkan disharmoni sosial (Wahyudi, 2013: 294).
Gagasan Bellah tentang pentingnya peranan agama dalam kehidupan juga ditegaskan oleh sosiolog terkenal, Beter L. Berger, ia menulis;…orang-orang yang ingin menghapus agama dalam kehidupan dunia akan merasa kecewa dengan realitas faktual, dan orang-orang yang mengabaikan agama dalam melakukan analisis terhadap masalah-masalah dunia kontemporer adalah suatu kesalahan bahkan menjadi tindakan yang berbahaya…(Berger, 1999: 18). Berger dalam hal ini ingin menegaskan bahwa upaya sekularisasi dengan keinginan menghapus peranan agama adalah sesuatu yang sia-sia.
Menurut Auguste Comte (1795-1857), dalam suatu komunitas masyarakat tertentu selalu ada nilai yang berfungsi sebagai alat perekat dan menciptakan harmoni sosial dalam masyarakat tersebut. Dalam hal ini agama menawarkan nilai-nilai yang dapat menjadi spirit pemersatu (Wahyudi, 213: 20). Kesadaran akan adanya kohesivitas dalam dinamika sosial masyarakat yang multikultur baik secara agama maupun budaya. Demikian juga diungkapkan oleh sosiolog Emile Durkheim, bahwa masyarakat heterogen yang menganut nilai-nilai atau gagasan-gagasan yang beragam, dapat dipersatukan dalam suatu bentuk ikatan tunggal yang lahir karena adanya moralitas yang hidup dan tumbuh serta menjadi nilai untuk kehidupan bersama (Durkheim, 2017: 235).
Max Weber, ketika melihat fenomena Konfusianisme, Islam dan Budhisme, menegaskan bahwa konflik antara agama dan politik hanya muncul ketika agama berada dalam posisi yang dikucilkan dari kesetaraan politik. Ini juga terjadi dalam Yudaisme, yang dalam teorinya tidak pernah menolak negara tetapi mengharapkan datangnya Mesias sebagai penguasa politik. Dalam pandangan Weber, sejarah telah menunjukkan bahwa anarkisme atas nama agama hanya merupakan fenomena yang sangat singkat karena iman seperti itu hanya terdapat dalam kharisma yang berdurasi pendek. Dalam konteks ini, agama apapun menurut Weber tidak akan mengalami benturan dengan negara jika keduanya tidak saling mengsubordnasi tetapi memainkan peran dalam ruang sosial yang tepat (Weber, 2012: 484-485).
Baca juga: Islam, Ideologi dan Tafsir Kesetaraan Pancasila
Dalam pandangan Kuntowijoyo, agama dan negara merupakan dua satuan sejarah yang berbeda. Agama memberikan kabar gembira sekaligus peringatan, sedangkan negara adalah suatu kekuatan pemaksa. Melalui kesadaran bersama, agama dapat memberi pengaruh terhadap perjalanan sejarah manusia sedangkan pengaruh negara akan muncul dalam bentuk keputusan, kekuasaan dan juga perang (Kuntowijoyo, 2018: 232).
Jika agama adalah kekuatan yang tumbuh dari dalam, maka negara adalah kekuatan yang muncul dari luar. Dual hal ini juga dirumuskan oleh Bellah dalam agama sipilnya yang terilhami oleh paradigma kontrak sosial Rosseuo dan Paradigma Solidaritas dari Durkheim. Penggabungan antara dua konsep inilah yang menjadikan konsep civil religious-Bellah kokoh dan melahirkan sinergisitas antara agama dan negara dalam membangun kehidupan yang harmoni. Berdasarkan kenyataan ini pula, konsep agama sipil (civil religious) bukan hanya sekedar konsep dalam arti kering akan nilai-nilai luhur dan spiritual, bahkan ia merupakan “(a)gama alternatif” bagi umat manusia di masa depan []
Ilustrasi: wordpress.com
Mahasiswa Studi Agama-agama, Eksponen Kalikuma Mataram: Penyuka Musik dan Buku