Di estimasi usia tiga belas tahun, saat si anak laki-laki mulai mengenal kekerasan, saat agresivitas mereka mulai berkembang, saat mereka mulai mencintai persaingan, meledaknya hasrat mereka akan kekuasaan, di situlah justru si gadis mulai menjauhi permainan-permainan kasar. Agresivitasnya mulai menurun. Kelincahan si gadis tidak seperti waktu kecil. Olahraga masih terbuka baginya, namun olahraga yang berarti spesialisasi, juga olahraga yang mempunyai standar peraturan-peraturan buatan, sama sekali berbeda dengan suatu kebebasan dan kebiasan menggunakan kekerasan.
Seorang atlet perempuan tidak pernah bisa merasakan kebanggaan laki-laki ketika menindih bahu lawannya. Terlebih di banyak negara, kaum perempuannya tidak boleh menerjuni dunia olahraga, karena berkelahi dan memanjat itu dilarang, tubuh mereka bersifat pasif dalam melakukan segala hal. Dan perempuan jauh lebih tegas dibandingkan saat masa mudanya. Dalam dunia orang dewasa, tidak disangsikan lagi, kekuatan barbar tidak memainkan peranan yang besar pada waktu normal, namun begitu, dia membayangi dunia itu.
Baca juga: Perempuan yang Menyuluh Obor: Tribute untuk Atun Wardatun
Aneka perilaku maskulin timbul dari akar yang memungkinkan terjadinya kekerasan. Di setiap pojok jalanan, ada ancaman kekerasan: biasanya hal itu sering terjadi. Bagi laki-laki, menunjukkan kepalan tangan, itu sudaih cukup untuk memastikan kekuasaannya. Dengan melawan segala hinaan, laki-laki akan mengancam penghina itu dengan kepalan tangannya, untuk menunjukkan kebijakannya dalam berbagai penyerangan, dia tidak akan mau diungguli oleh orang lain, dia sendiri juga berada di jantung subjektivitasnya.
Kekerasan merupakan bukti valid dari setiap orang untuk menunjukkan kesetiaan pada diri sendiri terhadap orang lain. Juga pada nafsunya, dan pada kehendaknya sendiri. Memungkiri kehendak ini berarti sama saja dengan mengungkung diri seseorang salam subjektivitas yang abstrak: kemarahan atau pemberontakan yang tidak disalurkan melalui otot-otot hanyalah suatu spekulasi belaka. Adalah kefrustasian yang luar biasa, seandainya tidak mampu menunjukkan perasaan seseorang terhadap wajah dunia. Sifat inferioritas yang ditempelkan pada perempuan tersebut adalah salah satu sasaran kritik dari Marry Wollstonecraft, salah seorang tokoh Feminisme Liberal.
Marry Wollstonecraft menulis pada saat kondisi sosial dan ekonomi di Eropa sedang terpuruk. Sekitar tahun 1759 hingga 1799. Ketika kita membaca Marry Wollstonecraft, kita akan menemukan definisi yang pas kaitannya dengan Perempuan Kelas Menengah. Menurutnya, perempuan kelas menengah adalah perempuan “peliharaan” yang sudah mengorbankan kesehatan, kebebasan, dan moralitasnya untuk sebuah prestise, kenikmatan, dan kekuasaan yang disediakan suaminya.
Akibat perempuan kelas menengah ini tidak diizinkan untuk berolahraga di luar rumah, karena khawatir bahwa dengan berolahraga akan menggelapkan kulitnya yang putih seperti bunga lili, dan menjadikan tubuh mereka tidak sehat. Karena mereka tidak dibiarkan untuk mengambil keputusan sendiri, mereka sudah tidak memiliki kebebasan. Dan karena mereka dihambat untuk mengembangkan kemampuan nalarnya—dengan alasan hal yang terbaik yang dapat dilakukan adalah memanjakan diri dan menyenangkan orang lain.
Baca juga: Mengingat Siti Hajar, Merenungi Kehadiran Perempuan
Karena diabaikan kekuatan nalarnya, untuk menjadi manusia bermoral penuh perhatian, motif, dan komitmen yang lebih dari sekadar kenikmatan pribadi, dia akan menjadi sangat emosional. Istilah ini yang seringkali dihubungkan Wollstonecraft dengan hipersensitivitas, narsisme yang ekstrim dan pemanjaan diri yang berlebih-lebihan. Karena secara umum penilaiannya yang negatif atas emosi dan penilaian yang tinggi atas nalar, sebagai kapasitas yang membedakan antara manusia dari binatang, tidak mengherankan bila Wollstonecraft sangat membenci Emile, karya dari Jean-Jacques Rousseau.
Dalam buku itu, Rousseau menggambarkan perkembangan rasionalitas sebagai tujuan pendidikan paling penting bagi laki-laki, tetapi tidak bagi perempuan. Rousseau berkomitmen terhadap dimorfisme seksual, suatu pandangan yang berpendapat bahwa laki-laki yang rasional adalah pasangan yang tepat bagi perempuan yang emosional. Juga menurut pandangannya, laki-laki harus dididik dalam nilai-nilai. Misalnya, keberanian, pengendalian diri, keadilan, dan kekuatan mental.
Sementara perempuan harus dididik dalam nilai-nilai, misalnya kesabaran, kepatuhan, temperamen yang baik dan kelenturan. Karena itu, murid laki-laki yang idel bagi Rousseau adalah yang seperti Emile, yang akan mempelajari tentang kajian kemanusiaan, ilmu sosial dan juga ilmu alam. Sementara, murid perempuan yang ideal bagi Rousseau adalah seperti Sophie, yang menyibukkan diri dengan musik, kesenian, fiksi, dan puisi sembari mengasah keterampilannya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah.
Rousseau mengharapkan bahwa dengan mengasah kapasitas mental Emile, dan membatasi kapasitas mental Shopie, akan menjadikan Emile sebagai warga negara yang dapat menentukan nasibnya sendiri, serta menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab dan menjadikan Shopie sebagai istri yang penuh pengertian dan tanggap. Pemikiran Mary Wollstonecraft yang mengkritik Rousseau terhadap proyeksi Shopie sebagai perempuan, bahwa Wollstonecraft berpendapat bahwa asupan novel, puisi, musik, dan perhatian kepada penampilan terus-menerus, akan menjadikan Shopie sebagai kelemahan, bukan sebagai pelengkap suaminya.
Dia—Shopie—akan menjadi makhluk dengan daya pikir yang lemah, dan bukan mempunyai penalaran yang baik. Hormonnya akan semakin meluap, hasratnya meledak-ledak dan emosinya akan mengalami pasang-surut yang cepat. Dampaknya kemudian, maka Shopie akan kesulitan atau bahkan tidak bisa menjalankan tugas kesehariannya sebagai seorang istri, dan terutama sebagai ibu. Penawaran yang diberikan kepada Shopie agar bisa seperti Emile adalah dengan mendapatkan pendidikan yang memungkinkan dirinya untuk mengembangkan kapasitas rasional dan moral, yang mampu untuk menggali potensinya sebagai manusia yang lengkap.
Baca juga: Perempuan dan Kekuasaan
Gagasan radikal seperti itu sangat mempengaruhi kondisi peradaban saat ini. Di mana baik itu perempuan dalam strata sosial dan ekonomi apapun, masih mempunyai akses terhadap pendidikan. Ini adalah suatu kemajuan dari setiap helat pergerakan perempuan di dunia. Sedang semakin luasnya akses pendidikan dengan tidak memperhitungkan perempuan dalam posisi subordinat ini semestinya semakin banyak para tokoh baru yang terlahir dengan mengusung gagasan yang lebih kritis lagi dalam upaya check & balance terhadap setiap kebijakan publik di republik ini.
Ilustrasi: Eats end women’s museum
Bekerja formal di kampus sebagai mahasiswa, di luar itu bekerja sebagai kuli aksara, dan kuli lainnya.