Pada tahun 1999, saya bersama teman-teman mengadakan pelatihan kepemimpinan remaja di desa saya. Pelaksananya adalah Forum Komukasi Pelajar Ranggo (FKPR)—wadah yang kami bentuk. Tempatnya di SMPN 1 Ranggo (kini SMPN 1 Pajo). Pesertanya adalah perwakilan siswa SMA/MA dan SMP di Dompu. “Peran Perempuan dalam Islam” adalah salah satu materi yang saya sisipkan dalam jadwal di samping materi umum seperti keorganisasian, kepemimpinan, keprotokoleran, teknik persidangan dan lainnya.
Secara tidak langsung materi perempuan dan Islam itu saya maksudkan untuk melihat gender dalam perspektif Islam. Seorang narasumber, seorang daiyah dan ketua majelis taklim di kabupaten, secara berseloroh mengingatkan peserta agar berhati-hati dengan isu gender yang dinilainya berlebihan dan bertentangan dengan nilai dan ajaran Islam. “Ede sih penti nuntu masalah jender ndai siwe ke. Pede ncara ambi ndadi kai na dende, ” itu kurang lebih katanya dalam bahasa lokal Dompu (Sebagai perempuan kita tak usah ikut-ikutan membahas masalah gender. Bisa-bisa nanti malah jadi wanita binal).
Baca juga: Marry Wollstonecraft: Membongkar Inferioritas pada Tubuh Perempuan
Saya tidak terlalu kaget dengan kesalahpahaman seperti narasumber saya itu. Seperti pernah dikatakan Wardah Hafidz banyak orang menjadi korban dari salah pengertian tentang gender, feminisme atau gerakan perempuan. Feminisme, kata Wardah, sering dilukiskan sebagai gerakan perempuan tukang bakar BH, menolak menikah, tidak mau punya anak dan sejenisnya.
Pengkhianatan kelompok komunis, yang direpresentasikan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) memang sulit dimaafkan. Saat republik ini dalam keadaan genting, menghadapi ancaman dari luar, bahkan dalam usia muda mereka justru menusuk dari dalam. Bahkan berkali-kali sebagaimana upaya pemberontakan yang mereka lakukan. Tetapi rezim Orde Baru juga melakukan romantisasi gerakan komunis sebagai alat politik. Hantu komunis terus dihidupkan, dirawat dan diawetkan hingga mempengaruhi memori publik hingga kini. Dan manipulasi sejarah itu tentu sulit menghapusnya dalam satu dua generasi.
Hantu komunis dijadikan Orde Baru untuk memelihara tirani, otoritarianisme dan melakukan penindasan politik. Orde Baru, sebagaimana diketahui, menjadikan isu komunisme untuk membungkam suara-suara kritis dan menghabisi lawan-lawannya. Diciptakanlah mekanisme screening atau istilah seperti “bersih diri dan lingkungan”, OTB (organisasi tanpa bentuk) dan sejenisnya. Ketika PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang maka pengejaran dan pembunuhan secara besar-besaran dilakukan, baik oleh negara maupun masyarakat, terhadap ribuan anggotanya. Termasuk terhadap organisasi yang berafiliasi kepada PKI seperti Gerwani.
Baca juga: A Vindication of The Right of Woman: Relevansinya dengan Perempuan Era Sekarang
Akibatnya selama prahara politik ini banyak putra terbaik bangsa ini yang tengah studi keluar negeri misalnya, akhirnya tak bisa kembali ke Tanah Air karena dianggap atau dituduh berafiliasi dengan kelompok komunis. Beberapa diantaranya terpaksa menua dan mati di negeri orang. Hingga kini “komunis” telah menjadi stigma yang begitu kuat di masyarakat dan sangat menyakitkan. Stigma komunis itu semacam dosa besar warga kepada negara yang tak terampuni.
Secara sosiologis stigma itu adalah pembunuhan karakter (character assasination) paling mematikan sehingga membuat seseorang seolah jadi kriminal, menjadi sampah masyarakat dan membuat yang bersangkutan kehilangan masa depan. Stigma komunis adalah kegelapan juga keperihan. Singkatnya stigma komunis dijadikan ‘palu’ (hammer) oleh Orde Baru untuk menghajar lawan-lawannya tanpa ampun. Salah satu manipulasi sejarah itu adalah menggambarkan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) seolah organisasi perempuan sadis, memotong alat kelamin pria, melakukan ritual seks aneh dan menyilet wajah para jenderal (seperti dalam film “Pemberontakkan G 30 S/PKI” atau Gestapu).
Padahal Gerwani adalah organisasi independen. Ia juga merupakan organisasi yang konsen dengan isu dan keadilan perempuan, memperjuangkan hak-hak buruh, mengedukasi agar perempuan berdaya dan mandiri, memberikan kursus dan pelatihan menjahit, mengasuh bayi, memasak dan keterampilan lainnya. Gerwani juga mengirimkan wakilnya ke sejumlah pertemuan organisasi perempuan dunia untuk menyuarakan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan.
Tahun 1965 atau sejak Orde Baru menjadi titik balik bagi penataan politik perempuan. Jika sebelumnya perempuan terlibat aktif dalam politik dan memandang politik sebagai medan perjuangan yang normal, maka Orde Baru justru mengubah persepsi politik menjadi sesuatu yang sangat maskulin. Politik identik dengan dunia kaum pria sehingga tak pantas dimasuki perempuan. Akibat maskulinitas itu sehingga kalau ada perempuan terjun ke politik, apalagi vokal dan banyak bicara, dianggap aneh dan melanggar fatsoen. Sosok perempuan baik justru digambarkan sebagai perempuan penurut, pendiam, tidak banyak menuntut; nrimo. Orde Baru berupaya agar perempuan kembali ke rumah sebagai habitatnya. Mengurus anak dan berbakti kepada pria adalah “fitrah” nya.
Kekeliruan anggapan ini, sebagai hasil rekayasa sejarah dan konstruksi sosial negara, tentu saja juga diamini kaum perempuan sendiri. Fakta bahwa tidak semua perempuan mendukung politisi perempuan dalam kontestasi elektoral adalah soal lainnya. Dalam bentuknya yang ekstrem politik penundukkan perempuan juga dilakukan melalui kekerasan seksual khususnya pemerkosaan massal. Di masa awal Orde Baru banyak perempuan yang dituduh Gerwani kemudian menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual militer terutama selama menjalani masa interogasi.
Meski secara politik Gerwani berafiliasi kepada Partai Komunis Indonesia (PKI), tetapi fakta sejarah menunjukkan organisasi ini secara kelembagaan tidak terlibat dalam pembunuhan dan penculikan tujuh jenderal sebagaimana dalam film Gestapu itu. Bahkan banyak elit Gerwani yang tidak tahu-menahu dengan pemberontakan berdarah tersebut. Tetapi Gerwani akhirnya turut menjadi korban dari pengkhianatan PKI. Puluhan tahun para perempuan Gerwani hidup di bawah bayang teror Orde Baru. Mereka dikejar-kejar, dikucilkan, dikriminalisasi bahkan dipenjara dengan tuduhan turut terlibat aksi kudeta tanpa bukti, juga tidak melalui proses peradilan yang sah dan independen. Mereka tidak hanya diperkosa dengan penis tapi juga menggunakan alat lain untuk merusak genialnya.
Baca juga: GOW dan Pengembangan Organisasi Perempuan
Meruntuhkan mental perempuan melalui penggunaan kekerasan seksual (pemerkosaan) merupakan cara efektif rezim Orde Baru dalam membungkam gerakan kaum perempuan. Cara itu bahkan dilakukan saat rezim paranoid ini di ujung kematiannya. Kasus pemerkosaan perempuan etnis Cina pada kerusuhan Mei 1998 adalah contoh kesekian bagaimana rezim Orde Baru tidak hanya menggunakan senjata dan domestikasi, tapi juga seks sebagai sarana penundukkan terhadap perempuan. Dengan rekayasa sejarah yang massif dan panjang oleh rezim Orde Baru serta menggunakan berbagai sarana propaganda yang ada—buku pelajaran hingga film—maka saya sepenuhnya bisa paham dengan kekhawatiran daiyah di atas bahwa “gender” bisa menjadi “dende”. Wallahu ‘alam.
Ilustrasi: Grid.id
Akademisi, mantan wartawan kampus, dan pengagum Gandhi, “Plain Living High Thinking”.