Aktivitas yang kita jalani dalam putaran spiral waktu, merupakan lempengan-lempengan agenda yang sudah terencana. Hari ini kita mau ke mana dan mau apa—pasti sudah direncanakan dengan benar. Minggu ini kita mau melakukan apa dan ingin mendapatkan apa—pasti sudah terprogram dengan baik.
Begitu pula dengan bulan yang kita lalui, kita tidak pernah lupa dengan nama dan bilangan bulan, dan pasti sudah merencanakan prestasi apa yang ingin kita raih. Tahun pun juga demikian, rencana kita sangat matang di akhir tahun untuk menyongsong pergantian tahun. Semua ini kita rencanakan karena kita tidak ingin menuai kegagalan dan kekecewaan dalam hidup ini.
Sungguh indah kehidupan ini, sungguh menantang untuk kita taklukkan, dan sungguh memukau untuk kita gapai. Rencana demi rencana kita ukir dengan amat serius. Bahkan bukan hanya rencana biasa, tetapi kita lengkapi pula dengan strategi-strategi yang dipandang sangat efektif, menjadilah rencana strategis.
Dalam mewujudkan rencana indah dan strategis itu, terkadang kita kekurangan waktu dari dua puluh empat jam sehari, dari tujuh hari dalam sepekan, dan tiga puluh hari dalam sebulan. Untuk mewujudkan apa yang kita rencanakan, rasanya kita ingin diberikan waktu yang lebih panjang lagi dari ukuran waktu yang telah Tuhan takdirkan.
Di tengah kesibukan kita merencanakan bagian kita di dunia, kita sering lupa bahwa masa hidup yang diamanahkan Tuhan kepada kita, terdiri dari dua dimensi orientasi, dimenasi duniawi dan dimensi ukhrowi.
Sebegitu tingginya perhatian kita terhadap orientasi duniawi, ingin rasanya kita mengerahkan segala daya, kekuatan, dan upaya untuk mensukseskannya. Tidak rela rasanya waktu dikerat oleh detik tanpa adanya aktivitas menuju kesukseskan meraih program yang sudah kita rencanakan.
Waktu pun terus berjalan maju, pantang untuk memutar balik apalagi mundur. Tidak kita sadari bahwa gumpalan salju dari usia kita yang dijatah oleh Tuhan, semakin waktu semakin mengecil. Rencana kehidupan untuk dunia kita boleh hebat dan boleh pula strategis. Akan tetapi jangan kita lalai dengan orientasi hidup yang kedua, yakni orientasi ukhrowi.
Pernahkah kita merencanakan orientasi ukhrowi seindah dan sestrategis rencana kerja untuk orientasi duniawi? Kita mau mendapatkan apa, mau merasakan apa, mau seperti apa, dan mau bagaimana di kehidupan ukhrowi, pernahkah kita merencanakannya?
Tuhan mengingatkan kita di surah Al Qasash ayat 77, “Wabtagi fīmā ātākallāhud-dāral-ākhirata wa lā tansa naṣībaka minad-dun-yā…”. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi.
Ayat di atas menggambarkan bahwa Tuhan ingin agar kita memiliki rencana indah untuk kehidupan akhirat—merencanakan dengan serius dan sebaik-baiknya sebagaimana merencanakan orientasi duniawi, karena orientasi ukhrowi sudah kita yakini sebagai rukun iman yang dimensi waktu menikamtinya jauh lebih panjang.
Apa yang akan kita terima nanti, dan seperti apa kondisi yang akan kita rasakan, kitalah yang merencanakan dan menentukannya saat berada di kehidupan sekarang. Maka selagi masih mampu membuat rencana-rencana strategis untuk orientasi dunaiwi, jangan kita lupa untuk merencanakan kampung akhirat kita, tentunya dengan rencana strategis pula.
Ada satu kisah yang mungkin bisa menjadi iktibar bagi kita, bahwa kehidupan pasca di dunia ini sangat tergantung apa yang kita rencanakan dan usahakan sekarang.
Alkisah dalam sebuah kerajaan, sang raja begitu marah kepada para menterinya, raja akhirnya menghukum menterinya dengan memberinya masing-masing satu lembar karung dan disuruh oleh raja membawakan satu karung buah-buahan yang bagus dan berkualitas.
Para menteri menyanggupi denda itu. Menteri yang sangat senang dengan printah raja, membelikan rajanya buah terbaik, dia carikan buah yang mahal, bagus, dan berkualitas. Menteri yang satunya membeli buah yang sedang saja, dengan prinsip bahwa raja tidak akan tahu buah ini tidak mahal dan tidak berkualitas.
Ada pula dari sang menteri membawa buah yang tidak berkualitas, juga tidak mahal, dengan prinsip bahwa raja tidak mungkin tanda siapa yang membawakannya. Ada juga menteri membawa buah yang kualitasnya sangat jelek, kecut, dan murahan, dengan prinsip bahwa hukuman ini tidak adil, maka saya belikan buah yang jelek-jelek saja, toh raja tidak mungkin tahu.
Tibalah hari yang ditentukan oleh raja untuk diantarkan buah-buahan. Masing-masing menteri membawakan satu karung bauh yang diikat rapi. Sesampainya di hadapan raja, dipanggilnya pengawal kerajaan untuk memasukkan para menteri itu ke dalam penjara. Masing-masing menteri dimasukkan ke dalam satu kamar sel yang berbeda, lalu raja memerintahkan untuk memberikan menteri itu bauh-buahan yang dibawanya sebagai makanannya selama berada di dalam penjara.
Kisah di atas dapat menjadi pelajaran berharga, bahwa apa yang kita rencanakan dan bawa sebagai bekal yang kita siapkan untuk kehdidupan akhir, bukanlah untuk Tuhan, tetapi untuk kita nikmati sendiri selama kehidupan panjang di alam malakut. Maka selagi roda kehidupan kita masih berputar, rencanakanlah yang terbaik untuk dimensi ukhrowi kita, untuk kenikmatan terindah di sisi-Nya.
Ilustrasi: Republika
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram