Ekosistem yang Rumit
Tentu saja publik berharap ada kabar baik dari mereka. Keluar dari mulut otoritas yang mampu memberi jaminan rasa aman masyarakat dari banjir dan bencana. Serta mampu menjamin kesejahteraan kantong dan asap dapur apabila kemungkinan terburuk hasil solusi banjir ini dari hulu ke hilir antara pemerintah-petani dan kerja ekosistem jagung ini.
Mengapa begitu? Karena ekosistem ini sudah saling mempengaruhi satu sama lain. Tidak bisa satu pihak berhenti, pihak lain belum. Pemerintah menginginkan pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, peningkatan IPM, dan Industrialisasi. Sedangkan petani, juga menginginkan dapur mereka tetap mengepul, kantong mereka terisi dan ada jaminan uang untuk membeli kretek di esok hari. Sambil berharap ada kelebihan uang untuk anak sekolah.
Nah, pihak yang besar juga pengaruhnya tapi jarang ditilik adalah lembaga-lembaga peminjam dana. Mereka jugalah yang banyak bermain dalam ekosistem ini. Kemudahan memberi kredit menjadi agenda dan slogan lembaga peminjam dana. Mereka berlomba-lomba menggaet dan menambah nasabah dengan berbagai kemudahan, tentu saja hanya ingin lembaganya ramai.
Ekosistem ini yang harus diberi garansi terlebih dahulu, jika hal-hal mengenai perbaikan dan solusi jagungnisasi ini benar-benar dilaksanakan sesuai harapan dan agenda perbaikan lingkungan hidup ingin tercapai.
***
Tak ada pelangi setelah hujan dua jam lebih, beberapa hari yang lalu. Yang ada adalah hujan kritik, saran dan masukan untuk pemerintah, petani jagung hingga orang-orang yang terlibat dalam “lingkaran setan” ekosistem jagung ini.
Seluruh amarah publik ditumpahkan di media sosial. Mengkritik, menyodorkan beberapa poin saran, mencoba berpikir konstruktif untuk memberi masukan pada pihak terkait, ada juga yang berkeluh kesah akan keadaan yang ditimpa. Pun ada “pasukan” yang siap membela dan pasang badan untuk orang-orang yang dihujat itu.
Itu semua hal yang wajar dan harus. Speak up dari jari-jari yang ditulis di media sosial itu memang harus disesakkan di ruang publik. Dibaca atau tidak urusan belakangan, disukai atau dikomentari itu hal yang wajar, atau apakah seluruh luapan itu punya daya mempengaruhi, itu subjektif.
Jauh dari itu, luapan ekspresi itu patut untuk dirayakan. Dirayakan karena ada implikasi lain yang harus kita sadari. Masyarakat kita sedang mengalami “kegerahan intelektual”. Tingkat sensitivitas civil society kita sedang menuju puncak. Ya, puncak kegerahan itu.
Tapi civil society yang “peduli” itu juga jangan hanya sekadar melempar wacana ke publik setelah itu angkat tangan dan akhirnya menjadi polemik yang diikuti masyarakat. Habis energi kita untuk hal itu.
Aksi “Diam”
Ruang publik sudah sesak dari awal. Wacana kritik, saran, dan masukan sudah “tidak” efektif. Toh, selama ini juga hal itu sering dilakukan. Tenaga terkuras habis untuk untuk berdebat siapa yang salah, benar sambil menilik sasaran orang yang dikritik. Tapi, sadarkah kita, sejauh ini pihak-pihak yang dihujani kritik itu belum apa-apa, dan mungkin –kita berprasangka baik– sedang merencanakan apa-apa.
Ada baiknya, saat ini jagat publik kita dibuat tenang dulu, adem ayem sambil menikmati derai hujan yang jatuh lewat genteng rumah kita.
Selain bisa menghemat energi, hal itu dilakukan, dengan berharap bahwa kita memberi kesempatan kepada pihak-pihak yang dikritik untuk mulai “sadar”. Kesadaran inilah harapannya, yang akan terinternalisasi dan diwujudkan dalam agenda-agenda solutif dan mencar jalan alternatif untuk problem banjir ini.
Biarkan pihak-pihak itu bertafakur sejenak, menyadari yang sudah dilakukan, menghitung kemungkinan dan merencanakan perbaikan dan berkomitmen tidak mengulangi lagi. Seperti seorang hamba yang bertobat, ia menyadari kesalahan, kemudian bertobat, dan berkomitmen tidak mengulanginya lagi. Jika diulangi lagi, bagaimana? Itulah tobat sambal itu. Begitu juga dengan pihak-pihak itu, sungguh terlalu apabila mereka sampai hati melakukannya. Manusia saja murka, apalagi Tuhan.
Sebab kita harus memilih jalan lain, jalan yang saatnya memang publik harus “diam” bukan apatis. Toh, banyak juga gerakan protes yang diwujudkan dalam bentuk “diam”. Hasilnya? Sama saja, ada kemungkinan berhasil, ada juga kemungkinan tidak berhasil.
Karena semua ini tergantung pada hati pihak-pihak korban dari kritisisme publik ini. Kadang di sini saya menyadari bahwa –memang benar– mikir itu pakai hati bukan pakai otak.
Kemungkinan Terburuk
Ya, kadang kita harus memikirkannya. Jika aksi “diam” publik ditanggapi negatif oleh mereka, tak ada cara lain, kita hanya terus melawan dengan kritik, saran, dan masukan. Kembali lagi, sesaki publik dengan slogan dan bahasa-bahasa agitasi dan propaganda perlawanan.
Sudah pasti isu ini pasti akan diangkat lagi setiap lima tahunan, juga yang pasti mereka dengan lantang menjawab saat kampanye dan debat terbuka dengan janji-janji lagi, lagi, dan lagi: agenda perbaikan.
Kawan, salah satu bentuk gerakan “diam” apabila kemungkinan terburuk terjadi adalah dengan menggagalkan mereka yang tidak mau mendengar keluh-kesah, lolongan, dan ratapan publik untuk tidak lagi menebar janji-janji yang lebih banyak lagi. Setidaknya kita telah menyelamatkan dua manusia agar tidak banyak berbohong.
Tentu kita semua tahu, dan anak kita tahu, bahwa berbohong adalah dosa. Dan yang paling nyata adalah dosa-dosa sosial yang mereka buat.
Ilustrasi: Ragam Bahasa Kita
Alumni Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Founder Komunitas Mbojo Itoe Boekoe