Pencatatan Perkawinan di Indonesia dan Mesir

Mesir merupakan negara yang sebagian besar wilayahnya terletak di Afrika bagian Timur laut dan sebagian besar wilayah lainnya terletak di Afrika Utara. Negara itu berbatasan dengan Negara Libya di sebelah Barat, Sudan di sebelah Selatan, jalur Gaza dan Israel di Utara-Timur.

Perbatasannya dengan perairan ialah melalui Laut Tengah di utara dan Laut Merah di timur. Dari segi penduduknya, 90 persen adalah penganut Islam, mayoritas Sunni dan sekitar 10 persen saja masyarakat Mesir menganut agama Kristen.

    Jika dilihat pada awal sejarahnya, penduduk Mesir merupakan penganut mazhab Syafi’i, lalu kemudian Mesir menganut mazhab Hanafi ketika masuk dalam kekuasaan dinasti Utsmaniyah. Pada awal masuknya, dinasti Utsmaniyah berusaha untuk mencatat perkawinan dengan menerbitkan undang-undang dalam hukum keluarga yang dinamakan dengan  Al-yasaq al-Utsmāni (Kumpulan undang-undang dalam hukum keluarga).

    Undang-undang ini terbit pada tahun 1520 saat pangeran Kheir Beik ditugaskan menjadi gubernur jenderal di Mesir oleh Sultan Sulaiman Al-Qanuni ( Sulaiman I ). Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa : Tidak diperkenankan melangsungkan pernikahan atau perceraian kecuali di pengadilan.  

    Dalam penerapannya, aturan pencatatan pernikahan ini kemudian mendapatkan penolakan dari para ulama Al-Azhar saat itu, dengan alasan bahwa hal tersebut melanggar ketentuan Syariat. Menurut mereka, di dalam syariat islam tidak dipersyaratkan adanya akad tertulis di pengadilan. Dengan hadirnya para saksi, akad nikah menjadi sah.

    Penolakan dari ulama-ulama Al-Azhar tersebut tidak memberi pengaruh sedikitpun, pangeran Kheir Beik tetap bersikeras menerapkan undang-undang tersebut. Undang-undang tersebut kemudian diamandemen dengan terbitnya ordonansi tahun 1880 dan disempurnakan dengan terbitnya ordonansi tahun 1897.

    Dalam ordonansi tahun 1897 ini, pada pasal 31 dinyatakan bahwa gugatan perkara nikah atau pengakuan adanya hubungan perkawinan tidak akan di dengar oleh pengadilan setelah meningalnya salah satu pihak apabila tidak dibuktikan dengan suatu dokumen yang bebas dari pemalsuan.

    Dalam pasal ini ditegaskan bahwa yang berwenang mengangkat pejabat pencatat nikah dan mengijinkan mereka untuk melakukan pencatatan akad nikah adalah majelis keluarga (union council) dan bahwa majelis ini memberi ijin untuk melakukan pekerjaan tersebut hanya kepada satu orang pada setiap daerah tertentu.

    Baca Juga  Batas Minimal Usia Perkawinan; Komparasi Indonesia dan Brunei Darussalam

    Penerapan Pencatatan Pernikahan Di Mesir Dan Indonesia

    Pada tahun 1920, Mesir melakukan kodifikasi dan pembaruan hukum keluarga. Hal ini ditandai dengan dibuat dan diberlakukannya UU No. 25/1920 mengenai hukum keluarga dan penjagaan (Law of Maintenance and Personal Status / Qanun al-Ahwal al-Syakhsiyyah wa al-Siyanah). Reformasi hukum di Mesir terus dilakukan secara berkelanjutan hingga pada  tahun 2021.

    Hukum keluarga di Indonesia dengan berlakunya UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama serta UU No.16 tahun 2019, umat Islam Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang tepat untuk mengatur urusan keluarga, perkawinan, Perceraian, Dan Warisan.

    Berikut ini persamaan pencatatan perkawinan di Mesir dan Indonesia :

    Pencatatan perkawinan di Mesir

    Pencatatan perkawinan di Indonesia

    ·  Dapat dicatatkan jika telah memenuhi syarat batas usia perkawinan yaitu 18 tahun bagi laki-laki dan perempuan sebagaimana tertuang dalam Qānun al-Ahwāl as-Syakhshiyah tahun 2021 pasal 31.

    ·  Pencatatan dilakukan oleh pihak yang berwewenang.

    ·  Dapat dicatatkan jika telah memenuhi syarat batas usia perkawinan yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan sebagaimana tertuang dalam undang-undang No. 16 tahun 2019 pasal 7.

    ·  Pencatatan dilakukan oleh pihak yang berwewenang.

     Analisis Perbandingan Penerapan Hukum Keluarga Di Mesir Dan Indonesia

     Dengan berlakunya UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, umat Islam Indonesia memiliki peraturan perundang undangan yang tepat untuk mengatur urusan keluarga, perkawinan, Perceraian, Dan Warisan.

    Pasal 2 ayat 2 dalam undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, meskipun ulama Indonesia umumnya setuju dengan ayat ini dan tidak ada reaksi terbuka, tetapi karna persyaratan pencatatan ini tidak disebut dalam kitab-kitab fikih maka dalam pelaksanaannya masyarakat islam Indonesia masih mendua.

    Misalnya, masih ada orang yang mempertanyakan apakah perkawinan yang tidak dicatat itu dari segi agama tidak sah. Oleh karna itu soal kewajiban pencatatan perkawinan ini dapat dipikirkan untuk menjadi tambahan rukun nikah dalam kitab fikih baru nanti.

    Baca Juga  Hak Anak Pascaperceraian (Studi di Tunisia dan Indonesia)

    Demikian pula penetapan pencatatan perkawinan di mesir dipelopori dengan diberlakukannya Al-Yasaq al-Utsmani, kemudian disempurnakan dengan terbitnya ordonansi tahun 1880 tentang pegawai-pegawai pencatat nikah, pengangkatannya serta tata cara pelaksanaannya.

    Lalu diikuti oleh ordonansi tahun 1897 dalam Pasal 31 yang menyebutkan bahwa pengadilan tidak akan melayani gugatan perkara nikah atau pengakuan adanya hubungan perkawinan setelah salah satu pihak meninggal, apabila tidak adanya bukti perkawinan melalui surat nikah yang sah dari pemerintah. Demikian halnya ordonansi tahun 1921 yang mengandung ketentuan bahwa surat nikah haruslah bersifat resmi yang mana dibuat oleh pegawai yang berwewenang.

    Disisi lain, pencatatan perkawinan di mesir dan Indonesia dapat dilakukan jika telah memenuhi syarat batas usia sebagaimana yang telah diatur pada undang-undang kedua negara tersebut dan pencatatan tersebut dilakukan oleh petugas yang berwewenang.

    Ilustrasi: NU Online

    Tinggalkan Komentar

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *