Pelaksanaan wasiat itu tidak tergantung dari harapan pendonor. Hal ini di buktikan dengan hadirnya Wasiat wâjibah, Ketentuan-ketentuan dalam wasiat wâjibah adalah interpretasi dari ayat 180 surah al-Baqarah. Di situ dikatakan bahwa ada perintah bagi orang yang takut kepada Allah untuk berwasiat kepada orang tua dan kerabat sebelum mereka meninggal.
Di Pakistan wasiat wâjibah diberikan kepada cucu yatim piatu yang kehilangan orang tuanya. Sedangkan wasiat wajibah di Indonesia lebih kepada anak angkat.
Reformasi di bidang hukum kewarisan dan wasiat yang berlaku di negara-negara Islam tidak sebanyak reformasi di bidang perkawinan. Pakistan hanya sedikit mereformasi hukum kewarisan Islam klasik. Sementara Indonesia sudah ada upaya mereformasi hukum kewarisan dan wasiat, hanya saja masih berupa kompilasi hukum. Meski belum diformalkan dalam bentuk undang-undang sudah banyak diberlakukan baik di Pengadilan Agama maupun di tengah masyarakat.
Di antara isu di bidang kewarisan yang paling menonjol dan banyak mengundang kontroversi adalah posisi cucu yatim terhadap kewarisan kakeknya. Hal ini merupakan masalah semua umat Islam kemudian Indonesia dan Pakistan memberikan solusi yang dikenal dengan istilah Ahli Waris Pengganti. Berikut ini akan dibahas tentang pemberlakuan wasiat wajibah atau ahli waris pengganti antara Indonesia dan Pakistan.
Ketentuan wasiat wâjibah merupakan hasil ijtihad para ulama dalam menafsirkan surah al-Baqarah ayat 180. Ibn Hazm menjelaskan bahwa yang dimaksud Al-Aqrabun adalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan si mayit melalui jalur bapak atau ibu, atau melalui keduanya.
Mereka inilah yang disebut dengan Al-Aqrabun.[1] Dengan demikian sebagian dari mereka itu terdiri atas kelompok ahli waris, dan sebagian yang lain tidak, termasuk sebagai kelompok ahli waris inilah yang disebut dengan kelompok Dzaw Al-Arham.
Pemberlakuan wasiat wajibah di Pakistan dengan aturan yang berbeda. Pasal 4 dari ordonansi (The Muslim Family Law Ordinance 1961) mengatur bahwa dalam hal kematian setiap putra atau putri dari pewaris sebelum pembagian warisan, anak-anak (cucu) dari putra putri tersebut akan menerima bagian setara saham yang akan diterima oleh putra atau putri pewaris jika mereka hidup.[2]
Ketentuan ini ditentang oleh kaum tradisionalis Pakistan yang menganggap pasal 4 tersebut bertentangan dengan Alquran dan Hadis.[3] Namun kaum modernis tetap mempertahankan ketentuan tersebut dengan beberapa alasan:[4]
Pertama, tidak ada ayat Alquran atau Hadis otoritatif yang mengecualikan cucu yatim dari mewarisi harta kakek mereka.
Kedua, pengecualian tersebut didasarkan pada praktik pra-Islam.
Ketiga, apabila bapak meninggal lebih dahulu dari kakek, maka kakek mendapatkan bagian dari harta yang ditinggalkan. Ini berarti hak penggantian oleh kakek diakui.
Keempat, Al-qur’an memiliki perhatian untuk perlindungan anak yatim dan harta mereka.
Sejalan dengan ketentuan mengenai wasiat wâjibah yang berlaku di Pakistan sejak Indonesia mengambil peran dalam reformasi dengan melahirkan peraturan yang berbeda, sebagaimana terdapat dalam pasal 185 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut: (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Perbedaan penggantian ahli waris yang diatur di Pakistan dengan yang diatur di Indonesia terletak pada besarnya bagian.
Para ahli hukum Islam secara umum memberikan wasiat wâjibah kepada cucu yatim, lain halnya dengan para ahli hukum Islam indonesia menggunakan wasiat wâjibah untuk memperbolehkan anak angkat dan orang tua angkat aturan lengkap tentang wasiat wâjibah tersebut terdapat dalam pasal 209 KHI sebagai berikut: (1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas.
Sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wâjibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wâjibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
Bentuk pembaruan yang terjadi menggunakan metode ektra-doctrinal murni, dimana posisi cucu yatim ditempatkan pada lembaga “representasi” (penggantian ahli waris) yang tidak pernah dikenal di mazhab manapun di dunia Islam. Selain itu, ketentuan wasiat wâjibah yang berlaku di Indonesia berlaku untuk anak angkat dan orang tua angkat.
Secara umum, faktor sejarah sosial suatu negara sangat memengaruhi pemberlakuan hukum keluarga di negara tersebut. Perbedaan sejarah sosial menjadikan ketentuan hukum keluarga juga berbeda. Begitu pula ketentuan wasiat wâjibah dipengaruhi sejarah.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan mengenai ketentuan wasiat wâjibah di Pakistan, dan Indonesia. menggunakan ketentuan penggantian ahli waris (representasi). ketentuan wasiat wâjibah di negara Indonesia ditetapkan untuk anak angkat dan orang tua angkat.
Catatan Kaki:
[1] Ibn Hazm, al-Muhallâ, juz X, h. 422
[2] Taher Mahmood, Family Law Reform, h. 252; The Muslim Family Law Ordinance 1961,
[3] Alamgir Muhammad Serajuddin, Shari’a Law and Society: Tradition and Change in South Asia, (Oxford University Press, 2001), h. 81
[4] Alamgir Muhammad Serajuddin, Shari’a Law, h. 82
Ilustrasi: Hukumonline
Mahasiswa Pascasarjana UIN Mataram