SPIRIT beramal saleh tidak boleh kendor selama kita menjalani kehidupan di dunia, karena salah satu konsekwensi dari kesanggupan hidup yang kita jalani adalah senantiasa melaksanakan amal saleh, yang balasannya akan kita terima di kehidupan abadi nanti.
Amal saleh memang merupakan perintah Tuhan untuk kita jalankan sebagai bentuk ketundukan kepadaNya, tetapi penting untuk kita sadari bahwa buah dari kepatuhan kepada perintah Tuhan itu akan kembali kepada diri masing-masing.
Kita sering salah persepsi dalam beramal saleh—walaupun terkadang kita menyadari bahwa Tuhan tidak butuh dengan persembahan apa pun dari hambaNya, akan tetapi di luar kesadaran itu, ada persepsi di dalam diri bahwa semua yang kita jalankan dan kita tunaikan adalah untuk Tuhan. Untuk membuat Tuhan senang, untuk membuat Tuhan memberi maaf dan ampunan, untuk membuat Tuhan lebih sayang kepada kita, atau untuk memancing agar Tuhan memberi perhatian yang lebih kepada kita.
Kenyataan ini sulit kita pungkiri, buktinya dalam setiap melaksanakan amal saleh seperti shalat, puasa, shadaqah, atau amalan lainnya, kita mengerjakannya dengan persepsi karena kita sedang mempersembahkannya kepada Tuhan. Padahal apa yang kita kerjakan hakikatnya semata-mata untuk diri kita, yang akan kita terima hasilnya nanti di hari akhir—bukan untuk Tuhan.
Terkadang ada kalanya kita melaksanakan amal saleh itu sekadarnya saja, tidak terlalu serius, sekadar menggugurkan kewajiban yang Tuhan perintahkan. Pelaksanaannya jauh dari kesempurnaan, yang penting Tuhan menyaksikan bahwa kita sudah melaksanakan amal saleh. Ini kadang menjadi spirit dari amalan yang kita tunaikan.
Saatnya kita harus menyadari bahwa kita terkadang salah persepsi, bahwa amalan yang kita lakukan adalah untuk Tuhan, padahal semata-mata untuk diri kita sendiri. Semakin baik kualitas cara kita dalam melaksanakan amal saleh, maka semakin baik pula apa yang kita terima nanti. Sebaliknya semakin jelek kualitas cara kita dalam melaksanakan amal saleh, maka semakin jelek pula balasan yang akan kita terima nanti.
Begitu pula dengan kuantitas, semakin banyak amalan yang kita laksanakan, maka semakin banyak pula balasan yang kita terima nanti. Sebaliknya semakin sedikit amalan yang kita kerjakan, maka sedikit pula yang kita terima nanti.
Ibnu Athaillah, seorang ulama besar yang terkenal di dunia dalam bidang Fiqh, dengan karya terbesarnya adalah kitab Al-Hikam mengatakan, “Ketaatanmu tidak bermanfaat untukNya, dan maksiatmu tidak mendatangkan bahaya kepadaNya. Tuhan memerintahkan dan melarang, itu tidak lain hanya untuk kepentingan dirimu sendiri.”
Dengan memahami dan menyadari bahwa apa yang kita laksanakan dalam amal saleh dan bagaimana melaksanakannya adalah semata-mata untuk diri kita, maka spirit kualitas dan kuantitas harus kita kedepankan dalam melaksanakan amal saleh.
Jika beribadah, entah shalat, puasa, atau hajji, maka tunaikanlah dengan sebaik dan sesempurna mungkin, maka kita akan menerima hasil dari ibadah itu berupa imbalan yang terbaik dan yang sangat sempurna.
Apabila menguntai kalimat-kalimat thoyibah, entah berdzikir, beristigfar, bertahmid, bertakbir, hingga bershalawat kepada Nabi SAW, lakukanlah yang terbanyak, kapan saja, di mana, dan dalam kondisi apa saja. Apa yang kita untai dari kalimat-kalimat thoyibah itu akan memberi keuntungan yang besar buat diri kita sendiri.
Demikian pula dengan amalan-amalan sosial, keluarkanlah yang terbaik dan dalam jumlah yang banyak, agar kita menerima hasilnya nanti berupa hasil yang terbaik dan sangat banyak.
Terkadang kita malas-malasan dan ogah-ogahan dalam melaksanakan amal saleh, termasuk melaksanakan ibadah, melantunkan kalimat-kalimat thoyibah, ikut dalam gerakan amalan-amalan sosial, mengapa? Itu disebabkan oleh kesalahan kita mem-persepsi amalan-amalan yang kita lakukan, dominan amalan itu kita persepsikan untuk Tuhan, sehingga kita sering tidak serius dan sering asal-asalan.
Kalau dalam persepsi kita bahwa apa yang kita lakukan dalam amal saleh itu untuk diri kita sendiri, maka kita pasti serius. Satu contoh, dalam aktivitas hidup kita di luar amalan yang berkaitan dengan ibadah, mencari pasangan hidup misalnya, karena dalam persepsi kita bahwa pasangan hidup itu untuk kita sendiri, maka kita selalu serius menjalani semua prosesnya.
Mengikuti ujian, dalam bentuk ujian apa saja, karena dalam persepsi kita bahwa hasilnya untuk keuntungan diri sendiri, maka menyiapkan dan menjalaninya pasti serius.
Jika selama ini kita belum serius dalam setiap amal saleh dan amal sosial, belum berkualitas, belum pula memenuhi standar kuantitas, maka sadarilah bahwa kita sebenarnya telah menzalimi diri kita sendiri.
Perlu kita memperbaiki persepsi kita dalam setiap amal saleh yang kita lakukan, bahwa melaksanakan amal saleh dengan kualitas terbaik dan dengan kuantitas terbanyak, atau dengan kualitas terjelek dan dengan kuantitas yang sangat kurang, sadarilah bahwa sesungguhnya apa kita lakukan adalah untuk diri kita sendiri.
Mari kita camkan baik-baik firman Tuhan yang sangat bijak, di surah al Isra’ ayat 7, “In ahsantum ahsantum li anfusikum wa in asa’atum falahaa”. Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri.[]
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram