Kita sering mendengar atau membaca istilah kecanduan. Kecanduan yakni ketidakmampuan psikologis dan fisik untuk berhenti melakukan aktifitas tertentu karena ketagihan dan faktor kebiasaan. Kita disebut pecandu bila kita memiliki ketergantungan secara fisik dan ketergantungan secara psikologis terhadap sesuatu.
Kecanduan merokok misalnya, ketagihan menikmati nikotin dalam rokok yang membuat seorang perokok sulit menghentikan kebiasaan merokoknya. Kalaupun ada yang bisa berhenti merokok, itu melalui perjuangan yang panjang.
Demikian pula kecanduan narkoba, alkohol, dan ketagihan berhalusinasi dengan sentuhan-sentuhan halus dari efek narkoba. Obat-obatan dan alkohol membuat pelakunya ketergantungan, karena dapat menghilangkan kepenatan dan rasa stres, yang akhirnya menjadi kebiasaan yang sulit terhindarkan karena terbayang bagaimana terbuai dalam halusinasi yang berada di luar dunia real.
Kecanduan main game, ketagihan yang diakibatkan oleh penasaran untuk harus menang. Begitu sampai pada titik menang, maka sungguh sangat puas, lalu disuguhkan lagi dengan tingkatan-tingkatan game yang lebih menantang, akhirnya menjadi kebiasaan yang sulit dihindari. Sama dengan kecanduan atau sindrom dance aplikasi tiktok di kalangan remaja dan anak-anak, di setiap ruang dan kesempatan secara otomatis melakukan gerakan-gerakan dance tiktok.
Mengapa seseorang bisa kecanduan? Awalnya, seseorang akan mencoba-coba suatu karena rasa ingin tahu. Kemudian dilakukan dengan peningkatan yang serius dengan alasan yang dibuat-buat. Selanjutnya, pelakunya akan semakin sering melakukan aktivitas tersebut dan mulai menikmati. Yang terakhir, mereka inginkan melakukannya setiap hari.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa tidak pernah terdengar, ada seorang muslim yang kecanduan beribadah? Terutama kecanduan dalam ibadah salat? Padahal kalau kita runut proses orang-orang yang kecanduan dalam rokok, obat, alkohol, dan game tidak jauh beda dengan proses orang-orang menjalankan ibadah.
Awalnya, gerakan salat itu coba-coba pada masa anak-anak yang sedang belajar, semenjak usia PAUD, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, sampai Sekolah Menengah Pertama. Kemudian meningkat menjadi serius karena sudah mengalami akil balig. Selanjutnya melakukannya secara intens setiap hari sesuai waktunya. Dan telah dilakukan berulang-ulang setiap hari dan dalam tempo bertahun-tahun.
Akan tetapi dalam kenyataannya belum nampak pada diri umat muslimin prilaku kecanduan untuk beribadah salat. Belum banyak kita lihat umat yang datang ke tempat salat seperti seorang yang sudah kepingin salat, belum banyak umat Islam yang rindu dengan suara azan untuk segera menunaikan salat. Belum banyak yang lari meninggalkan pekerjaannya karena sudah kepingin salat. Belum pernah terjadi atau terdengar ada seorang muslim merasa tersiksa psikisnya karena alpa atau terlambat melakukan salat.
Malah sebaliknya, masih banyak yang pura-pura tidak mendengar azan, atau yang mendengar azan tetapi masih menunda-nunda untuk mengerjakan salat, kadang juga menunaikan salat tetapi di akhir waktu, bahkan yang lebih parah—ada yang lupa untuk salat.
Padahal ibadah salat ini adalah perbuatan yang dilakukan setiap hari secara rutin, melibatkan seluruh anggota badan dan psikis, diulang-ulang seperti yang dilakukan oleh seseorang yang kecanduan obat, rokok, alkohol, dan game. Tetapi mengapa belum terdengar ada orang menjemput waktu salatnya seperti orang yang kecanduan?
Mungkinkah karena penunaian salat dalam praktik sehari-hari belum dilakukan dengan penuh penghayatan, sehingga kurang berbekas dalam jiwa dan prilaku? Atau mungkin gerakan-gerakan dan bacaan-bacaan dalam salat yang dipraktikkan setiap hari kurang dinikmati?
Ataukah praktik salat belum dilakukan dengan tumakninah, dengan santai—tidak tergesa-gesa, bacaan-bacaan dalam salat masih banyak yang tidak tuntas dan malah tidak sempurna? Atau mungkinkah seluruh rangkaian salat dan bacaan-bacaannya belum dimasukkan dalam perenungan yang mendalam, sehingga belum menancap kuat ke dalam sanubari dan pikiran?
Jika jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas adalah iya, maka wajar jika kita belum kecanduan dengan salat yang selama ini kita tunaikan. Patut kita tersinggung dengan ayat Tuhan dalam al-Quran surah Al Anfal ayat 35, “Wamaa kaana shalaatuhum ‘indal baiti ilaa mukaa-an watashdiyatan”. Dan salat mereka di sekitar baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan belaka.
Ayat di atas setidaknya menjadi pemantik untuk menyoal diri masing-masing terkait dengan ibadah salat yang kita tunaikan selama ini. Bahwa salat yang berbekas pada jiwa dan raga pelakunya adalah di mana seluruh rangkaian pelaksanaannya dilakukan dengan penuh penghayatan, dilaksanakan dengan penuh kenikmatan, dilakoni dengan santai—tidak tergesa-gesa, semua bacaan dan gerakan-gerakannya tuntas dan sempurna, dan seluruh rangkaian pelaksanaannya direnungkan dengan mendalam hingga meresap ke dalam sanubari dan pikiran.
Bahasa Rasul saw “Shalluu Shalata Muwaddi’. Salatlah kalian seolah-olah salat orang yang akan berpisah (salatnya orang yang akan meninggalkan dunia).
Dengan begitu, bisa jadi ibadah salat yang kita tunaikan setiap hari tanpa henti dan berkesinambungan itu akan dapat mengantarkan kita untuk menjadi pecandu salat, menjadi orang yang rindu waktu salat, rindu dengan azan agar segera bisa salat, bersegera meninggalkan segala pekerjaan dunia untuk melaksanakan salat, dan pada akhirnya akan merasa tersiksa psikisnya apabila alpa atau terlambat untuk melakukannya.
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram