Hajah Rangkayo Rasuna Said lahir pada tanggal 14 September 1910 di Desa Panyinggahan, Maninjau, Agam, Sumatra Barat. Rasuna Said lahir dan tumbuh di lingkungan keluarga yang cukup terpandang. Ayahnya, Haji Muhammad Said atau yang akrab di panggil Haji Said, saat muda ia merupakan seorang yang aktivis pergerakan di Sumatra Barat.
Haji Said bersama saudara-saudaranya mendirikan sebuah perusahaan yang diberi nama CV Tunaro Yunus. Kesibukan Haji Said dalam mengurus usahanya, membuatnya tidak punya banyak waktu untuk mengurus putrinya, sehingga Rasuna Said kecil dititipkan di keluarga pamannya atau kakek Haji Said.
Rasuna Said meninggal pada 2 November 1965 di umur 55 tahun dan pada tanggal 13 Desember 1974, ia pun diangkat menjadi pahlawan nasional berdasarkan surat keputusan presiden R.I. No. 084/TK/tahun 1974.
Pada tahun 1916, Rasuna Said sekolah pertama kalinya di sekolah desa yang berada di dekat tepian Danau Maninjau. Di sana ia menghabiskan waktu untuk belajar selama lima tahun atau tamat pada kelas lima. Rasuna Said setelah tamat di sekolah Desa, ia melanjutkan pendidikannya di sebuah pondok pesantren Ar-Rosyidiyyah, yang berada di bawah pimpinan Syekh Abdul Rasyid.
Pada masa itu, pendidikan pesantren mayoritas dipenuhi oleh santri anak laki-laki, sehingga ia menjadi santri putri satu-satunya di pesanren tersebut. Pada tahun 1923 Rasuna Said masuk ke sekolah Diniyyah di Padang Panjang.
Pada tanggal 28 Juni 1926 terjadi bencana alam gempa bumi yang hebat dan disertai letusan Gunung Merapi di Padang Panjang, akhirnya para siswa sekolah Diniyyah kembali ke kampung halamannya. Rasuna Said kemudian melanjutkan dengan mengikuti sekolah yang dipimpin oleh Haji Abdul Majid namun hanya sebentar.
Rasuna Said meneruskan pendidikannya di sekolah putri (meisjesschool) untuk memperolah keahlian dalam memasak, menjahit, dan urusan rumah tangga. Di tahun 1930, Rasuna Said memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di sekolah Sumatra Thawalib. Di bawah pimpinan Haji Udin Rahmani, ia memperoleh sifat dan kepribadian pejuang.
Program pendidikan di Sumatra Thawalib, seminggu sekali para murid wajib mengikuti latihan pidato dan debat. Rasuna Said di kalangan teman-temannya terkenal sebagai orator ulung karna kepandainnya. Sekolah Sumatra Thawalib lama pendidikannya empat tahun, namun untuk Rasuna Said menyelesaikan pendidikan di sana hanya kurun waktu dua tahun.
Saat usianya 23 tahun, Rasuna Said menempuh pendidikan terakhirnya di Islamic college di Padang. Selama menempuh pendidikannya, Rasuna Said bergabung dalam kegiatan jurnalistik, dan dengan hal ini Rasuna Said terpilih menjadi pimpinan redaksi Majalah Raya.
Rasuna Said juga mengikuti berbagai organisasi di antaranya Sarekat Rakyat, Persatuan Muslimin Indonesia (PMI ), Pemuda Nipon Raya. Di tahun 1926 Rasuna Said mengawali karirnya di dunia politik, dengan bergabung di Sarekat Rakyat ia dipilih sebagai sekretaris cabang Maninjau.
Akan tetapi, karana Rasuna Said menjadi anggota di dua organisasi ia dikenai peraturan disiplin partai karna menjadi anggota di luar Sarekat Rakyat, ia pun harus memilih di antara keduanya, dan ia memilih tetap menjadi anggota PMI. Di sana Rasuna Said aktif memberikan kursus-kursus berpidato dan berdebat.
Ia juga menjadi satu-satunya anggota perempuan yang di juluki “Singa Betina”. Rasuna Said juga pernah menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS) setelah proklamasi kemerdekaan dan juga menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) hingga akhir hayatnya.
Rasuna Said adalah salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, ia juga seorang yang gigih memperjuangkan persamaan hak-hak dan kedudukan perempuan setara dengan laki-laki. Ia juga dikenal sebagai sosok wanita yang berkemauan keras dan memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam.
Selain itu, Rasuna Said juga dikenal lewat karya tulisnya, ciri khas tulisannya tajam dan mendalam. Pada tahun 1935, Rasuna Said dipercaya menjadi pemimpin redaksi di Majalah Raya. Majalah ini dikenal sangat radikal, bahkan dicatat sebagai tonggak perlawanan di Sumatra Barat.
Perjuangan Rasuna Said di dalam penyetaraan gender yakni ia sangat menginginkan adanya perjuangan untuk memberi kesadaran umum kepada semua kaum perempuan bahwa mereka adalah manusia dengan kedaulatan kemanusiaan yang sama dengan kaum laki-laki, Hanya saja secara kodrati ada hal yang tidak mungkin untuk disamakan antara kaum laki-laki dengan perempuan.
Pada masa penjajahan bangsa kolonial perempuan tidak boleh melakukan pekerjaan di luar selain pekerjaan rumah tangga, karena mereka tidak tahu apa-apa dan tidak ada bekal pendidikan bagi mereka, sehingga apa yang ditetapkan oleh bangsa kolonial khususnya masyarakat Minangkabau hanya bias mengikuti apa-apa yang diperintahkan kepada mereka.
Dari permasalahan itu, tergeraklah hati Rasuna Said untuk berjuang di bidang pendidikan, ia mulai berupaya membangun sekolah-sekolah dan mengajar, memberikan ilmu, bekal dan pengetahuan terutama bagi kaum perempuan sehingga mereka tidak mudah terhasut oleh bangsa kolonial.
Sekilas, Rasuna Said memulai perjuangannya di bidang pendidikan. Maka kesadaran dari Rasuna Said bahwa ia ingin mengangkat kesetaraan derajat kaum perempuan agar sama dengan kaum laki-laki dan tidak dipandang rendah. Timbulnya kesadaran ini sangat memicu Rasuna Said untuk tetap berjuang bagi kaum perempuan.
Karena pada kenyataannya perbedaan gender tidak akan menjadi suatu problem sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi masalahnya ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik dari kaum laki-laki terlebih bagi kaum perempuan.
Maka, Rasuna Said sangat gigih dalam memperjuangkan kaum perempuan untuk dapat bergerak dalam bidang politik dan jurnalisme. Karena Rasuna Said juga merupakan aktivis perempuan pertama yang mengungkapkan keyakinannya bahwa perempuan itu tidak bisa dipisahkan dari politik.
Ilustrasi: Republika.com
Mahasiswa Pascasarjana UIN Mataram