SEJAK bulan Dzulqa’dah menampakkan hilal, nuansa haji semakin terasa hangat dan auranya semakin terasa di tengah-tengah masyarakat muslim, apalagi tahun haji saat ini adalah kumpulan dari ambisi yang tertahan selama tiga tahun, sehingga semaraknya lebih hidup dan lebih semerbak.
Haji menjadi ibadah yang sangat spesial dan ibadah yang terhitung sangat mahal, sehingga kemampuan (istito’ah) menjadi prasyarat utama yang harus dipenuhi.
“wa lillāhi ‘alan-nāsi ḥijjul-baiti manistaṭā’a ilaihi sabīlā”. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
Mampu dalam ayat di atas adalah kemampuan multidimensional, bisa kemampuan fisik—harus sehat, kemampuan psikis—harus dengan niat yang tulus, kemampuan material—memiliki dana yang cukup, dan kemampuan keilmuan—memiliki pengetahuan yang cukup tentang haji.
Baca juga: Haji dan Umrah: Bukan Perjalanan Biasa
Pada tulisan yang singkat ini, akan diuraikan secara ringkas, napak tilas perjalanan rohani tokoh tauhid yang akan kita jalani selama proses ibadah haji, sebagai tambahan bekal pengetahuan perjalanan ziarah ke al Haramain—Makkah dan Madinah.
Rangkaian ibadah yang kita jalani selama proses berhaji sesungguhnya merupakan napak tilas kumpulan aksi dari pengalaman spiritual tokoh tauhid yakni Adam a.s, Ibrahim a.s, Ismail a.s, dan Muhammad saw.
Adam a.s telah tercatat dalam sejarah sebagai manusia pertama yang pernah berbuat khilaf melanggar perintah Tuhan. Lalu beliau dengan susah payah meyakinkan Tuhan bahwa dirinya tidak sengaja, hanya suatu kekhilafan.
Untuk membuktikan dirinya benar-benar ingin mendapatkan ampunan Tuhan, Adam a.s sebagai tokoh tauhid menjalani berbagai macam aksi. Dalam satu riwayat yang dipercaya, di antara aksi yang dilakukan beliau selain berkelana adalah berputar mengelilingi Baitil Atiq, rumah tua yang menjadi poros dari aksi ketauhidan seluruh makhluk. Dan aksi yang dilakukan Adam itulah yang diabadikan menjadi gerakan thawaf.
Kemudian rangkaian aksi lainnya dari pertaubatan Adam a.s, sebelum mencapai kepastian dari pengampunan Tuhan, Adam bertemu dengan Jibril di satu daratan yang berbukit, di tempat itulah Jibril berkata “tamanna” (berharaplah, bercita-citalah) ya Adam. Adam menjawab, atamanna al Jannah (saya berharap untuk kembali ke surga). Tempat pertemuan Jibril dan Adam itulah yang sekarang bernama Mina (akar kata dari tamanna—berharap).
Maka para jemaah haji, tatkala berada di Mina saat mabit, perbanyaklah doa-doa dengan penuh pengharapan agar semua yang dihajatkan dipenuhi dan dikabulkan Tuhan.
Kemudian Arafah, konon tempat inilah yang menjadi simbol pengampunan Tuhan atas upaya keras dari Adam dan Hawa berkelana mencari pengampunan Tuhan. Dengan dipertemukannya Adam dan Hawa di lokasi inilah, harapan pengampunan dan surga telah dipenuhi oleh Tuhan.
Arafah yang kemudian menjadi jantung dari ibadah haji, yakni wuquf, di sinilah kehadiran kita sebagai jemaah haji begitu penting untuk pengakuan diri secara tulus dan penuh kerelaan—mengaku bahwa diri ini menjadi hamba yang memiliki banyak khilaf dan tidak merasa menjadi apa-apa di hadapan Tuhan.
Kemudian Ibrahim a.s dan Ismail a.s yang juga sebagai tokoh tauhid tercatat aksi-aksinya menjadi rangkaian dari amalan haji. Sebelum mengulas aksi-aksi Ibrahim a.s dan Ismail a.s, penting kita tahu bahwa bangunan yang sangat bernilai merupakan hasil dari tangan terampil Ibrahim a.s yakni Ka’bah, yang sekarang berdiri kokoh dengan Hijir Ismail sebagai asesoris yang memperindah bangunan tersebut.
Baca juga: Haji dan Penguatan Jati Diri Perempuan: Merdeka!
Bangunan mulia ini konon sebelum dibangun kembali oleh Ibrahim, bangunannya sudah ada, tetapi sudah berusia sangat tua. Beliau merenovasinya sambil memberi pengasuhan terbaik kepada putranya yakni Ismail a.s. Dan sebagai bukti sejarah atas jasa Ibrahim a.s yang tidak terbantahkan, Tuhan abadikan bekas kaki Ibrahim dalam bentuk relief yang dikenal dengan Maqam Ibrahim dan tempat pengasuhan putranya yang diabadikan dengan nama Hijir Ismail.
Di saat-saat pengasuhan Ismail a.s, Siti Hajar sebagai ibu dan istri yang memahami tugas keibuannya, beliau mencari air dengan mondar-mandir di seputaran bangunan Ka’bah yang sedang dibangun oleh Ibrahim a.s, dan aksi Siti Hajar itulah yang menjadi prosesi ibadah sa’i.
Di tengah aksi mondar-mandir sebagai ikhtiar sang ibu dan istri salehah itulah, Tuhan mengabulkan usaha dan ikhtiarnya dengan dimunculkan-Nya mata air segar dan bersih yang sampai sekarang dapat dinikmati oleh pendatang dari seluruh dunia yang bernama zam-zam.
Setelah pengasuhan Ismail dirasa sempurna, Tuhan menguji Ibrahim dengan diperintah menyembelihnya. Perintah itu dibayang-bayangi oleh godaan Iblis untuk menggoyahkan kekuatan pendirian Ibrahim dan Siti Hajar. Oleh keluarga Ibrahim yang terdidik itu, Iblis dilempari dengan batu, dan aksi melempar itulah yang diabadikan dalam bentuk melontar jumrah.
Muhammad saw sebagai tokoh tauhid dan nabi akhir zaman, membaca dan merenungi dengan mendalam seluruh aksi yang dilakukan oleh Adam, Hawa, Ibrahim, Ismail, dan Hajar. Beliau mengamati betapa indahnya aksi-aksi ketauhidan yang dilakukan oleh para tokoh pendahulunya itu.
Dirangkailah aksi-aksi para tokoh itu dengan sistematis yang diperkaya dengan adanya miqat sebagai niat awal untuk berhaji, dan sebagai upaya menanggalkan seluruh kepentingan duniawi menuju kebutuhan rabbani, yang disimbolkan dengan berpakaian ihram.
Baca juga: Kesempurnaan Pemahaman Agama
Di samping miqat dan pakaian ihram, Muhammad saw menyematkan kalimat-kalimat indah sebagai bacaan yang membuat aksi-aksi ketauhidan itu semakin bertuah, sehingga aksi-aksi itu bukan menjadi gerakan main-main, tetapi gerakan yang sarat dengan nilai dan ambisi religius.
Atas petunjuk Tuhan, maka Muhammad saw menghimpun dan menata aksi-aksi itu dengan sistematika yang indah menjadi satu rangkaian ibadah pamungkas dari kesempurnaan rukun Islam, yang diberi label haji dengan seluruh rangkaian proses yang sangat berkesan bagi para alumni haji. Labbaikallahumma Labbaik, la syarikala kalabbaik, innal hamda wanni’mata lakal mulk la syarikalak. []
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram