Sesajen dan mantra merupakan dua hal tak terpisahkan dalam pelaksanaan ritual masyarakat purba. Keduanya adalah medium komunikasi mahapenting dalam menyampaikan harapan dan doa, juga mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Pencipta.
Hingga pertengahan 1980-an, kala saya duduk di kelas rendah sekolah dasar, masyarakat di desa saya masih patuh melaksanakan ritus-ritus tradisional yang sarat dengan aura dan kepercayaan mistis itu. Penyerahan sesajen dan pembacaan mantra biasanya dilakukan di mata air, sungai, pohon besar atau tempat-tempat tertentu yang dipercayai ‘keramat’.
Macam-macam harapan dipanjatkan: Mulai dari permohonan diberi momongan (terutama pasangan yang sudah lama menikah), jodoh, panen melimpah, dijauhkan dari bala dan bencana, atau diberi kesembuhan bagi warga yang menderita penyakit menahun.
Ritus-ritus juga dilakukan jika ada pembukaan areal ladang baru maupun untuk anak-anak kecil yang mengalami ‘kelainan’, misalnya sering rewel dan meronta-ronta di tengah malam hari. Untuk yang terakhir ini kadang disertai upacara penggantian nama dengan harapan sang anak bisa ‘sembuh’.
Seiring dengan modernisasi yang kian masif yang dialami masyarakat desa, terutama melalui pengaruh media televisi dan lembaga pendidikan, maka mulai akhir 1990-an, praktis ritus-ritus yang melibatkan mantra dan sesajen semacam itu hampir tidak ada lagi.
Baca juga: Menghitung Diri pada Pesta Demokrasi
Kalaupun ada hanya diamalkan secara terbatas sekali oleh generasi tua yang jumlahnya tak seberapa. Di mata generasi yang terlahir belakangan, ritus-ritus seperti itu—jika pun masih ada— cenderung dipandang aneh dan ganjil. Ia dianggap tidak mengandung aura magis lagi, bahkan sekadar ‘aksesoris budaya’ saja.
Pada saat dua jagoan kecil saya disunat pada 2002, salah satu kerabat saya ‘ngotot’ menyiapkan berbagai perlengkapan sesajen untuk hajatan itu, seperti kemenyan dan dupa, nyiur, buah kelapa muda, keris, telur dan aneka kue berkarakter boneka yang terbuat dari tepung beras. Semuanya disimpan dalam satu nampan.
Ketika iseng saya tanya, dia menjelaskan bahwa sesajen itu dimaksudkan supaya proses penyunatan itu berjalan aman dan lancar. Ketika ‘burung’ salah satu jagoan saya banyak mengeluarkan darah usai disunat, dia ‘memarahi’ dan menyalahkan saya yang meremehkan dan melalaikan kelengkapan sesajen itu.
Dia berkeyakinan bahwa pendarahan itu akibat Sang Dewa ‘marah dan tersinggung’ dengan sikap saya, hehehe. Saya dan istri hanya tersenyum. Bagaimana tidak berdarah, lhaa, sunatnya dilakukan secara manual menggunakan pisau, wkwkw.
Sekarang, ketika kebiasaan pemberian sesajen dalam masyarakat tradisional itu berangsur menghilang, tradisi pemberian ‘sesajen’ dalam bentuk lain justru terus berbiak. Dari Kecamatan Wera, Kabupaten Bima jelang Pilkada 2020 diberitakan, seorang guru SMP terang-terangan mengaku menyerahkan ‘sesajen’ kepada tim sukses Calon Bupati Bima sebesar Rp. 20 juta dengan iming-iming diangkat sebagai kepala sekolah.
Setelah namanya tidak termasuk dalam daftar gelombang mutasi dan promosi yang dilakukan Bupati Bima, Hj. Indah Damayanti Putri, sang guru akhirnya ‘bernyanyi’ dan meminta uangnya dikembalikan. Belakangan masalah “sesajen” politik itu kabarnya sedang diselesaikan oleh pejabat pendidikan di tingkat kecamatan bersama oknum timses dan korban.
Kasus ini sebenarnya adalah fenomena gunung es. Baik di Bima, Dompu maupun di daerah lain, fenomena penyerahan ‘sesajen’ atau ‘mahar’ dalam perebutan jabatan-jabatan di birokrasi pemerintahan merupakan fenomena umum.
Menjelang gelombang mutasi dan promosi—-yang umumnya dilakukan sesaat setelah pelaksanaan Pilkada—-timses kepala daerah pemenang biasanya secara aktif bergerilya mendatangi para ‘mangsanya’ untuk menawarkan posisi-posisi baru dengan konsesi ekonomi tertentu. Jika untuk posisi kepala sekolah di pedalaman saja tarifnya Rp. 20 juta, maka tarif untuk jabatan setingkat kepala dinas, misalnya, pastilah di atas nominal itu.
Baca juga: Cara Tolak Bala dalam Politik
Sementara lembaga Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan) yang seharusnya bertugas dan bertanggung jawab atas promosi dan mutasi pejabat itu jatuh tersungkur tak berdaya di hadapan kedigdayaan kepala daerah yang tiba-tiba menjadi sangat bertenaga ini. Ya, dengan kewenangan yang dimilikinya, kepala-kepala daerah kini telah bermetamorfosis menjadi ‘raja-raja’ kecil di daerah.
Saya masih ingat misalnya, saat Bupati Kabupaten Dompu, H. Abubakar Ahmad, terutama pada periode kedua kepemimpinannya (2006-2011), gelombang mutasi menjadi hantu yang sangat menakutkan buat para birokrat plat merah itu. Sebenarnya mereka bukan takut dimutasi, tapi lebih pada pelaksanaan mutasi yang terkesan semau gue tanpa indikator yang jelas.
Penempatan pejabat juga seringkali tidak berdasarkan kompetensi dan keahlian, misalnya Kepala Dinas Kesehatan dipimpin oleh pejabat berlatar belakang sarjana hukum. Padahal itu merupakan dinas teknis yang semestinya diisi oleh pejabat yang punya keahlian di bidang kesehatan. Dalam banyak kesempatan, Abubakar Ahmad juga kerap melontarkan teror dan ancaman ‘mutasi’ secara terbuka kepada bawahannya.
Kepada salah satu media lokal misalnya, dia menyampaikan sesumbar kurang lebih “Selama tinta pulpen saya ini belum kering, maka jangan coba macam-macam dengan saya”. Akibatnya ada banyak pejabat yang mengalami tekanan kejiwaan, shock bahkan ada yang meninggal dunia. Dapat dikatakan bahwa periode kepemimpinan dia merupakan periode paling kelam dalam sejarah birokrasi di Dompu.
Karena tidak ada kenyamanan dalam bekerja, maka sudah tentu kinerja birokrasi juga rendah. Gelombang mutasi sering kali terjadi secara tiba-tiba dan dalam hitungan bulanan. Ancaman dan teror mutasi itu baru benar-benar berakhir setelah sang Bupati dikerangkeng KPK dalam kasus korupsi, sebelum masa jabatannya berakhir.
Karena itu, dalam bahasa lokal Bima-Dompu, istilah “otonomi” daerah akhirnya diplesetkan menjadi “atonomi” yang berarti “semaunya saya”. Sekarang, menyusul tiap gelombang mutasi yang terjadi, di tengah masyarakat terkenal ungkapan bahwa untuk meraih jabatan di pemerintahan harus memiliki “Pa” dan “Pi”. Dalam bahasa lokal “Pa” itu akronim dari “pata” (punya kenalan/koneksi) dan “Pi” yakni “piti” (punya uang).
Tanpa kedua syarat itu, maka jangan harap akan mendapatkan promosi secara otomatis. Seorang kawan saya yang baru saja mendapatkan promosi kenaikan jabatan—juga berkat menyetor “sesajen”—memaklumi praktik itu dengan alasan bahwa sang kepala daerah telah menghabiskan banyak biaya untuk memenangkan pertarungan elektoral. Jadi, menurut logika dia, hal itu dianggap wajar sebagai akibat dari biaya politik yang dikeluarkan.
Secara teoretis, gagasan tentang otonomi daerah—sebagai wujud pengakuan formal negara terhadap keragaman yang ada—-itu pada dasarnya baik. Namun, praktik demokrasi lokal yang bias dan distortif menyebabkan gagasan itu dibajak oleh kekuatan kapital maupun para petualang politik, sehingga mengalami pembusukan sejak dari soal mahar politik hingga praktik politik transaksional yang mewabah di kalangan masyarakat bawah, seperti praktik sesat demokrasi berupa “sesajen” politik itu.
Akibatnya demokrasi mengalami obesitas dan berbiaya mahal. Di sisi lain, pemenang dan pecundang produk Pilkada seolah saling memangsa. Efek yang paling nyata adalah polarisasi dalam tubuh birokrasi yang terjebak dalam praktik dukung-mendukung salah satu paslon. Ini kemudian melahirkan dua jenis praktik politik absurd yakni politik balas dendam dan politik balas budi. Tentu saja keduanya tidak menguntungkan bagi perkembangan dan kemajuan daerah.
Baca juga: Pelik Politik
Keduanya juga merupakan langkah mundur di tengah upaya dan harapan banyak pihak untuk mendorong pembenahan dan reformasi birokrasi yang profesional. Salah satunya manajemen birokrasi yang berbasis merrit system. Politik “balas dendam” dan “politik balas budi” hanya akan melahirkan bala bencana politik.
Kapitalisasi politik yang kian masif dalam praktik demokrasi elektoral dewasa ini adalah ancaman paling mematikan. Celakanya, pembusukan demokrasi itu tidak lagi terbatas pada parpol tapi juga menjangkiti warga, sejak Pilpres hingga kontestasi elektoral level bawah di desa (Pilkades, Pilkadus bahkan pemilihan BPD). Dalam kondisi tersebut tentu sulit akan lahir calon pemimpin yang berkualitas apalagi berintegritas. Siapapun yang terpilih akan tetap tersandera oleh praktik politik transaksional tersebut.
Demokrasi itu memang bukan seperti kaos oblong yang cocok dengan semua orang. Sebagai sebuah sistem, ia tetap memerlukan ‘syarat dan ketentuan berlaku’. Demokrasi, seperti halnya cinta dan kesetiaan, bukan sesuatu yang diberi melainkan harus diperjuangkan. Semua pihak harus berpikir keras untuk keluar dari kemelut dan jebakan demokrasi ini. Sebab kalau tidak, maka praktik demokrasi lokal kita tak ada bedanya dengan ritus masyarakat purba.
Mungkinkah kita berharap yang terbaik dari sesuatu yang buruk. Quo vadis demokrasi kita?
Ilustrasi: Merdeka.com
Akademisi, mantan wartawan kampus, dan pengagum Gandhi, “Plain Living High Thinking”.