Dinasti Abbasiyah dan Kebijakan Dua Khalifahnya (2-Habis)

MUSYAWARAH tersebut berjalan penuh tantangan, karena setiap pihak baik dari Kaum Muhajirin maupun Ansar sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam, tetapi dengan semangat ukhuwah Islamiah yang tinggi, Abu bakar terpilih sebagai pemimpin umat Islam.

Menurut Hasan Ibrahim Hasan, bahwa semangat keagamaan Abu Bakar, mendapatkan penghargaan dari umat Islam, sehingga masing-masing pihak Muhajirin dan Ansar dapat menerima Abu Bakar dan mendeklarasikannya sebagai pemimpin umat Islam.

Kota Baghdad, sebagai pusat intelektual terdapat beberapa pusat aktivitas untuk pengembangan ilmu. Antara lain: Baitul Hikmah, yaitu suatu lembaga keilmuaan pengetahuan sebagai pusat pengkajian berbagai keilmuan. Selain itu, Kota Baghdad juga merupakan sebagai pusat penerjemahan buku-buku untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Kota Baghdad sebagai ibu kota Dinasti Abbasiyah, mencapai puncak kejayaannya pada masa Khalifah Harun al-Rasyid. Meskipun kota tersebut belum mencapai lima puluh tahun didirikan, kemewahan dan kemakmuran Baghdad tercermin dalam istana khalifah yang luasnya mencapai sepertiga dari Kota Baghdad yang berbentuk bundar, dilengkapi beberapa bangunan sayap dan ruang yang dipenuhi bermacam-macam perlengkapan yang serba mewah.

Baca juga: Dinasti Abbasiyah dan Kebijakan Dua Khalifahnya (1)

Pada waktu itu, Baghdad menjadi mercusuar kota impian yang dijuluki kota “seribu satu malam” yang tidak ada tandingannya pada abad pertengahan. Dinasti Abbasiyah pada masa itu mempunyai wilayah kekuasaan yang sangat luas, membentang dari Afrika Utara sampai ke Hindukush, India. Kekuatan militer yang dimilikinya juga sangat luar biasa.

Khalifah Harun al-Rasyid memiliki perhatian yang luar biasa kepada ilmuwan dan budayawan. Ia mengumpulkan mereka semua dan melibatkannya dalam setiap kebijakan yang akan diambil pemerintah. Perdana Menteri-nya adalah seorang ulama besar di zamannya, Yahya al-Barmaki.

Ia juga merupakan guru Khalifah Harun Al-Rasyid, sehingga banyak nasihat dan anjuran kebaikan mengalir dari sang ulama. Hal ini membentengi Khalifah Harun al-Rasyid dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam.

Pada masa Khalifah Harun al-Rasyid, hidup juga seorang yang cerdik pandai yang sering memberikan nasihat-nasihat kebaikan kepada khalifah, yaitu Abu Nawas. Nasihat-nasihat kebaikan dari Abu Nawas disertai dengan gayanya yang lucu, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Khalifah Harun Ar-Rasyid.

Selain melakukan penerjemahan buku-buku, Khalifah Harun al-Rasyid juga memperbesar Departemen Studi Ilmiah yang didirikan kakeknya, Al-Mansur. Selain itu, al-Rasyid juga mengangkat menteri dan pejabat istana yang berbakat terutama dari keluarga Barmak. Mereka saling berlomba membantu pemajuan ilmu pengetahuan dan kesenian, yang hasilnya membuat Baghdad menjadi tempat belajar orang-orang dari seluruh dunia.

Baca Juga  Sumur Ilmu dari Amin Abdullah (3-Habis)

Setelah Khalifah Harun al-Rasyid, Dinasti Abbasiyah dipim oleh  Abu Al-Abbas bin Abdullah ibnu Harun Ar-Rasyid atau yang sering kita sebut Al-Makmun. Ia lahir pada tanggal 16 Rabiul Awal 170 H atau 14 September 786 M. Al-Makmun lebih tua enam bulan dari saudara seayahnya yaitu Muhammad Al-Amin.

Al-Makmun lahir dari pasangan Harun al-Rasyid dan ibunya berasal dari budak Persia yang bernama Marajil. Ibunya wafat ketika melahirkan al-Makmun. Ia memerintah di Irak pada tahun 813-833 M.

Khalifah al-Makmun ini adalah seorang yang bijaksana dan ahli dalam ilmu politik, dia juga seorang alim, filosof dan rajin membaca karangan-karangan ahli fikir kuno. Pada masa pemerintahannya, perkembangan ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat. Ia melakukan serangkaian penerjemahan buku-buku dari bahasa asing, di antaranya: Hindustan, Persia, Yunani, Romawi, Latin.

Baca juga: Mengapa Khalifah Utsman bin Affan Dituduh Nepotis?

Masa kecil al-Makmun digunakan untuk belajar, al-Makmun mempelajari beberapa ilmu agama seperti fikih, bahasa, dan Sastra Arab. Selain ilmu agama, al-Makmun juga mempelajari ilmu pemerintahan. Al-Makmun belajar kepada ayahnya dan beberapa guru. Guru yang sangat membantu pengembangan ilmu al-Makmun dalam bidang akhlak dan fiqih adalah al-Yazid.

Oleh karena itu, Al-Makmun tumbuh menjadi khalifah yang cerdas, berpendirian kokoh, mempunyai cita-cita tinggi, penyantun, mempunyai pengetahuan yang luas, pemberani, dan mempunyai pemikiran yang logis. Tidak ada khalifah Dinasti Abbasiyah yang lebih pintar darinya. Ia adalah seorang yang fasih dan artikulatif.

Al-Makmun mempunyai sifat pemaaf, tidak suka balas dendam, dan dermawan. Khalifah al-Makmun yang mempunyai basis pengikut di wilayah Persia mengalami kemajuan di berbagai bidang, baik ilmu agama maupun ilmu umum.

Ketika al-Makmun memerintah, timbul masalah agama yang pelik, yakni faham bahwa “apakah al-Qur’an itu makhluk atau bukan”. Kaum muktazilah berpendapat bahwa al-Qur’an itu adalah makhluk, dan itu pulalah pendapat khalifah.

Baca Juga  Tradisi Khataman al-Qurán di NdanonaE

Kepemimpinan al-Makmun dalam menjalankan roda pemerintahan, banyak diliputi oleh berbagai macam rintangan, permasalahan yang dihadapi oleh al-Makmun ini semata-mata bukan tanpa sebab, karena semuanya merupakan dampak negatif atas terjadinya perang saudara antara al-Amin dan Al-Makmun.

Meskipun kondisinya seperti itu, al-Makmun tetaplah melakukan suatu langkah yang baik untuk keberlangsungan pemerintahan yang dipegangnya, hal ini al-Makmun lakukan dengan cara menaklukan Kota Laz di Dailam, penaklukan Kota Laz ini terjadi pada tahun 817 M.

Dalam kondisi Kota Baghdad yang hancur akibat dari perang antara pasukan al-Amin dan Al-Makmun. Al-Makmun berusaha dan berkeinginan untuk memindahkan pusat pemerintahan kembali ke Baghdad dari tempat pemerintahan awalnya di Khurasan.

Pembangunan Kota Baghdad dilakukan pada tahun 819-826 M dan dalam pembangunan ini, al-Makmun membangun kediaman di Istana al-Jafari al-Barmaki. Pada tahun 827 M, al-Makmun-pun memindahkan pusat pemerintahannya ke Kota Baghdad setelah mengalami kerusakan.

Di kemudian hari, Khalifah al-Makmun memberikan jabatannya kepada keturunan Ali, dan ia menunjuk Ali bin Musa al-Ridha. Sikap Al-Makmun tersebut mendapatkan pertentangan dari kalangan Abbasiyah sendiri, karena menurut mereka khalifah sudah terpengaruh oleh ajaran syiah Ali.

Ditambah lagi, adanya salah seorang wazir yang berkebangsaan Persia yang berfaham syiah yaitu Fadhal bin Sahl. Sikap khalifah juga mendapat tantangan dari penduduk Kota Baghdad sehingga mereka tidak mau mengakuinya lagi al-Makmun sebagai khalifah. Buntut kekesalan itu, penduduk mengangkat Ibrahim al-Mahdi sebagai pengganti Khalifah al-Makmun. Adanya sikap ini membuat khalifah sadar sehingga ia mencabut keputusannya tersebut.

Setelah Al-Makmun meninggal, maka jabatan khalifah diambil alih oleh al-Mu’tasim yang merupakan adik dari al-Makmun. Khalifah al-Mu’tasim merupakan seorang khalifah yang gagah berani, kegagahannya itu membuat ia gemar mengumpulkan orang-orang yang dianggap gagah dan berani. Akan tetapi, dibalik kegagahannya itu, ia kurang tajam dalam siasat politik.[]

Ilustrasi: Republika.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *