Gerakan Moderasi Beragama

TULISAN ini merupakan sebuah refleksi dari kegiatan International Conference on Religious Moderation (ICROM) dengan tema “Religious Moderation on Digital space” yang diinisiasi oleh Kementerian Agama di Hotel Mercure Convention Center, Jakarta pada tanggal 26-28 Juli 2022.

Acara ICROM ini juga dirangkaikan dengan peluncuran dan diskusi buku terbaru Bimas Islam berjudul Moderasi Beragama Perspektif Bimas Islam (2022) yang secara resmi diluncurkan oleh Prof Dr Phil H Kamaraddin Amin, MA (Ditjen Bimas Islam).

ICROM 2022 ini dihadiri dan dibuka langsung oleh Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, yang sekaligus menjadi pembicara kunci (Keynote Speaker) pada acara tersebut. Selama tiga hari pelaksanaan, Kemenag RI menghadirkan delapan narasumber utama, di antaranya adalah Lukman Hakim Saifuddin (Penggagas Moderasi Beragama, Menteri Agama RI 2014-2019), Alissa Wahid (Tim Ahli Pokja Moderasi Beragama Kementerian Agama), Shalahuddin Kafrawi (Dosen Studi Agama Hobart & William Smith College, Amerika Serikat), James B. Hoesterey (Dosen Studi Agama Emory University, Amerika Serikat).

Baca juga: Moderasi Beragama dalam Kearifan Dou Mbojo

Selain itu, peneliti dan aktivis dalam negeri juga terlibat dalam agenda ini, seperti Iim Halimatusa’diyah (Peneliti PPIM UIN Jakarta), Ismail Fahmi (CEO Drone Emprit Indonesia), Savic Ali (Founder NU Online dan Islami.co) dan Unaesah Rahmah, (Peneliti RSIS Nanyang Technology University, Singapura), dan diikuti oleh 72 pembicara lainnya dalam sesi diskusi paralel.

Dari semua pembicara di atas, semua sepakat bahwa moderasi beragama bukan hanya sekedar paradigma atau sebuah konsep belaka, tetapi harus menjadi sebuah gerakan yang mampu memberi dampak dan membawa misi perdamaian dan toleransi. Mulai tingkat dasar kehidupan beragama sampai pada level kebijakan pemerintah dalam mengusung program yang berlandaskan pada nilai-nilai moderasi beragama.

Kata “moderasi beragama” sebagai sebuah konsep dalam ber-Islam mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita, karena sudah beberapa dekade terakhir ini “konsepsi moderasi beragama” terus dipopulerkan dan dijadikan program prioritas pada Kementerian Agama. Meskipun konsepsi tersebut umumnya dipahami untuk melawan narasi-narasi yang mengandung intoleransi, radikalisme serta terorisme oleh banyak orang.

Pada tahun 2019, Balitbang Kementerian Agama menerbitkan sebuah buku berjudul Moderasi Beragama yang belakangan menjadi landasan secara teoritik, praktik, dan implementasi kebijakan oleh akademisi dan praktisi dalam kaitannya dengan pengembangan kehidupan beragama yang harmonis di Indonesia.

Baca Juga  Perempuan dalam Perspektif Sejarah (2-Habis)

Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa, moderasi beragama adalah sikap memilih jalan tengah (The Middle Way) di antara dua kelompok ekstrim-konservatif dan liberal. Dua kelompok Islam ekstrem tersebut adalah tantangan utama bagi paradigma dan gerakan moderasi beragama.

Baca juga: Homo Sacer: Moderasi Beragama, Apakah Masih Idealis dan Realistis?

Oleh karena itu, semua sepakat bahwa seorang muslim tidak boleh menjadi ekstrim, baik ekstrim ke kiri maupun ekstrim ke kanan, tetapi harus menjadi muslim yang moderat. Menjadi muslim yang moderat dalam praktiknya adalah muslim yang terbuka terhadap perbedaan, dan menghargai keragaman agama dan budaya.

Secara spesifik, Lukman Hakim Saifuddin menegaskan bahwa moderasi beragama adalah “cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama, dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa”.

Tentu, dengan cara lebih mengedepankan pokok ajaran agama yang universal, dan tidak melampaui batas dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama yang bersifat partikular.

Oleh karena itu, Alissa Wahid, Tim Ahli Penyusunan Moderasi Beragama, juga menegaskan bahwa moderasi beragama adalah pesan utama ajaran agama. Sehingga moderasi beragama haruslah menjadi gerakan membangun kesadaran bersama, bukan sebuah program, kegiatan, atau proyek beberapa individu saja, sehingga moderasi beragama dapat diterima oleh semua kelompok dan agama.

Moderasi beragama menuntut komitmen, konsistensi, dan kesabaran dalam menghadapi paham dan amalan keagamaan yang ekstrem, dengan tetap bersikap moderat.

Pada tahap ini, gerakan moderasi beragama bukan sebagai wacana untuk menghakimi kelompok mana yang pantas dianggap moderat, dan mana yang tidak moderat. Atau dengan kata lain, moderasi beragama bukan sebagai alat untuk mengekslusi kelompok-kelompok yang dianggap ekstrem.

Jauh dari itu, gerakan moderasi beragama dapat mengajak mereka untuk bersikap adil, berimbang, dan antikekerasan dalam menyikapi perbedaan pandangan dalam amalan dan ideologi beragama yang bersifat multitafsir dan interpretasi.

Baca Juga  Gerwani, Seksualitas, dan Penundukan Perempuan

Urgensi Gerakan Moderasi Beragama

Untuk konteks Indonesia, pengarusutamaan moderasi beragama adalah wujud nyata untuk menjaga stabilitas bangsa dalam menghadapi narasi dan propaganda dari kelompok-kelompok radikal yang mengoyak ikatan kebangsaan sebagai negara yang multiagama dan budaya.

Di era perkembangan teknologi, informasi, dan akses internet yang mudah dan cepat ini, penggunaan narasi-narasi yang mengandung kebencian, provokasi, dan intoleransi di sosial media oleh kelompok-kelompok radikal sangatlah masif, disebarkan dan mendominasi media-media dan berita online di tanah air.

Tentu saja hal ini sangatlah mengkhwatirkan, mengingat pengguna sosial media terbesar adalah anak-anak muda dan kaum milenial yang mana sebagian mereka masih sangat labil dalam menelaah informasi.

Baca Juga: Radikalisme dan Moderasi Beragama

Di sinilah peranan dan penguatan pengarusutamaan moderasi beragama di media digital diperlukan, bagaimana narasi-narasi dan pesan perdamaian oleh kelompok Islam moderat harus mendominasi media-media online.

Penulis mengutip kata-kata dari salah satu pembicara “If radicals, extremists, and fundamentalists speak loudly with acts of violence, then moderate Muslims must speak louder with peaceful actions both in offline and online media”.

Atau dengan kata lain, sudah saatnya moderasi beragama sebagai sebuah gerakan harus mendominasi konten-konten media sosial di mana mayoritas anak muda dan milenial melakukan banyak interaksi dan komunikasi.[]

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *