Mengaji Fitua dalam Teks dan Konteks (1)

AHAD, awal Januari 2020, Kalikuma Educamp melaksanakan diskusi dengan tema Ngaji Fitua antara teks dan konteks. Pemantik diskusi antara lain Aba Du Wahid sebagai tuan rumah, Sudirman Makka sebagai pegiat Fitua, Syukri Abubakar, dan Fahru Rizki sebagai pemerhati Fitua, Alan Malingi pemerhati budaya Bima dan masih banyak lagi pembicara-pembicara lainnya.

Diskusi kali ini cukup menarik karena semua peserta diskusi diberi kesempatan satu persatu untuk menyampaikan pengetahuan dan pengalamannya mengenai Fitua, karena ngaji Fitua ini termasuk ilmu yang bersifat rahasia dan karenanya tidak semua orang memahaminya secara mendalam.

Karena kerahasiaannya, maka Kalikuma Educamp mencoba membuka sedikit celah yang dapat dikaji secara luas dibalik kerahasiaan Fitua itu agar diketahui oleh generasi muda dan publik luas.

Diskusi ini merupakan permulaan dari rangkaian diskusi Fitua yang direncanakan  berkelanjutan. Oleh karenanya, diskusi ini mencoba menggali “apa” dan “kapan” Fitua mulai dikenal oleh masyarakat Bima, bagaimana perkembangannya dan bagaimana aplikasinya dalam tata kehidupan masyarakat Bima.

Terdapat beberapa hal penting yang dapat dipetik dari diskusi sesi pertama ini, di antaranya, terkait dengan istilah Fitua, sejarah awal munculnya, tema-tema kajian yang disampaikan, metode pengajarannya, dan keterkaitannya dengan ajaran Islam.

Baca juga: Moderasi Beragama dalam Kearifan Dou Mbojo

Istilah “Fitua” atau “Ngaji tua” atau “Fiki tua” sudah sering didengar oleh masyarakat Bima. Walau demikian, tidak banyak orang yang mengetahui secara mendalam apa sebenarnya Fitua tersebut.

Penelusuran Fitua

Menurut Mawardin, dalam tulisannya di Kahaba.Net (15/7/2019) bahwa istilah Fitua atau Ngaji tua berasal dari fiki dan tua atau filsafat dan tua, sehingga didefinisikan sebagai ilmu yang berasal dari hasil kajian orang-oarang tua Bima yang bersandarkan dalil naqli al-Qur’an dan Hadist Nabi.

Dalil naqli tersebut terutama hadis Qudsi dan dalil aqli atau akal pikiran yang difungsikan sebagai alat untuk menggali atau menafsirkan makna tersembunyi dari kedua sumber tersebut.

Kajian lebih komprehensif Fitua adalah kajian tentang asma’, sifat dan af’al Allah Swt, penciptaan Nabi Muhammad saw dengan nur Muhammad-nya, pengenalan diri, dan ibadah salat. Di samping itu, kajian Fitua juga sangat terkait dengan masalah sosial keagamaan dan masalah sosial politik.

Beberapa kajian tersebut, mengarah kepada penghambaan diri kepada Allah Swt dengan cara mentauhidkan-Nya dan mendekatkan diri dengan beribadah kepada-Nya.

Baca Juga  Pentingnya Bermusyawarah (1)

Kajian seperti ini sangat dipengaruhi oleh ajaran tarekat yang dibawa oleh pendakwah Islam awal yang masuk di tanah Bima seperti Datuk Ri Bandang dan Datuk Di Tiro, Qadhi Jamaluddin, dan beberapa pendakwah lainnya . Datuk Di Tiro sendiri terkenal dengan ahli tasawuf dan Datuk Ri Bandang dikenal dengan ahli syari’ah (fiqh).

Baca juga: Perdebatan Orang Bima tentang Konsepsi Tuhan dan Lainnya

Martin Van Bruinessen – seorang antropolog Belanda yang banyak mengakaji keislaman di Indonesia – dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat dan Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, menjelaskan bahwa Islam yang dibawa ke-Nusantara adalah Islam bercorak tasawuf.

Pengajaran Islam awal, sebagaimana dikisahkan oleh Sudirman Makka, dimulai dengan pengajaran tauhid, mengenalkan Allah Swt yang Esa, mengajarkan  bagaimana berhubungan dengan Allah, hablum minallah dan bagaimana berhubungan dengan sesama manusia dan alam sekitar.

Setelah masyarakat paham akan hal itu, barulah diajarkan syari’at yang wajib dilakukan, yakni salat, puasa, zakat, dan haji bagi yang mampu.

Selama ini, ngaji Fitua hanya dijalankan oleh sebagian kecil masyarakat Bima karena didasari oleh berbagai macam alasan. Di antara alasan yang sering dilontarkan bahwa ngaji Fitua merupakan ngaji yang bersifat rahasia dan tidak sembarang orang dapat mempelajarinya.

Seorang guru akan meneliti sang murid, apakah dia layak diajarkan Fitua atau tidak. Kalau dinyatakan layak dan siap menjadi murid, barulah seorang guru akan mengajarkan Fitua dengan cara “Ngaji Kalambu”, ngaji tertutup yang hanya dihadiri oleh seorang murid saja.

Jika ingin melakoni ngaji Fitua, maka seorang murid harus mempelajari terlebih dahulu ilmu syariat (fiqh), karena ilmu syariat merupakan fondasi utama seseorang dalam beragama setelah syahadatain.

Fitua berada dalam pusaran ilmu hakikat. Oleh karena itu, seorang murid harus membekali diri terlebih dahulu dengan dasar-dasar agama yang kuat agar tidak salah jalan.

Karena itu, banyak kalangan menyangsikan ajaran Fitua, entah karena kurangnya informasi tentang Fitua sehingga mereka tidak terlalu paham keberadaan Fitua atau memang dalam kenyataannya banyak pengamal Fitua yang tidak memperhatikan amalan syariat.

Apakah klaim tersebut benar adanya? Maka perlu dilakukan penelusuran lebih lanjut sehingga mendapatkan gambaran yang jelas.

Baca Juga  A Vindication of The Right of Woman: Relevansinya dengan Perempuan Era Sekarang

Jika dicermati lebih mendalam, kajian Fitua begitu dalam dan luas, sehingga membutuhkan waktu dan energi dalam proses pembelajarannya. Sebagaimana dijelaskan di awal, bahwa kajian Fitua bersandar pada dalil al-Qur’an dan hadis Nabi.

Namun tidak jarang mereka tidak bisa menunjukkan ayat dan hadis yang dijadikan rujukan. Hal ini terjadi karena memang penerimaan ilmu Fitua hanya didasarkan pada penjelasan seorang guru tanpa ada kitab atau buku rujukannya.

Keadaan ini tidak mengherankan memang, mereka yang faham Fitua bisa dari kalangan mana saja, kalangan terdidik hingga kalangan yang tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah sekalipun. Mereka berguru kepada seorang yang faham Fitua dengan mengandalkan pendengaran saja.

Baca juga: Dua Pendengaran Manusia: Catatan untuk Dua Suara Tuhan

Karenanya, hingga saat ini, kajian-kajian akademik terkait Fitua Bima sangat minim sekali. Jika hendak mendalami Fitua, maka harus mewancarai pelaku-pelaku Fitua yang tersebar di berbagai pelosok desa di Bima atau menggali dari naskah-naskah kuno peninggalan leluhur yang masih berserakan pada anak keturunannya.  

***
Dari uraian di atas, jelas bahwa Fitua tidak murni produk budaya tanah Bima an sich, tapi produk budaya yang sudah dipengaruhi oleh ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas masyarakat Bima, karena sumber yang  menjadi rujukan Fitua adalah al-Qur’an dan hadis Nabi, serta akal manusia yang digunakan untuk menggali makna dibalik ayat dan hadis Nabi.

Ngaji tua yang dipengaruhi oleh ajaran Islam ini dibawa oleh para ulama yang mendakwahkan Islam di tanah Bima, baik yang datang dari luar Bima maupun dari Bima sendiri. Mereka adalah pendakwah hebat pada masanya yang mengajarkan Islam sepenuh hati mulai dari sultan hingga masyarakat awam.

Pendakwah tersebut mengenalkan ajaran Islam bercorak tasawuf yang diajarkan melalui mistis keagamaan yang berbentuk tarekat (praktik spiritual atau bimbingan seorang mursyid) yang saat itu sudah berkembang pesat di Nusantara.[]

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *