ADA sepenggal sabda dari Rasul saw yang berbunyi “khaiunnaas anfa’uhum linnaas”. Bahwa sebaik-baik manusia adalah yang banyak memberi manfaat atas manusia lain.
Sabda yang singkat di atas ini ingin mendialogkan kepada kita, betapa keberadaan kita sebagai hamba Tuhan di atas bumi ini akan semu, manakala kita tidak dapat menebar manfaat dan maslahat kepada makhluk Tuhan dan lingkungan sekitar. Dan kemanfaatan itu indikasinya adalah dapat dirasakan maslahatnya oleh penduduk bumi, bukan kemaslahatan yang diam-diam.
Kita memang ada di bumi ini dengan jasad yang lengkap, tubuh yang sehat dan kuat, raga yang segar dan bugar, psikis dan ruh yang masih normal, namun jikalau keberadaan perangkat keras dan perangkat lunak yang kita miliki ini tidak mampu dirasakan kemaslahatannya oleh makhluk lain dan lingkungan sekitar, maka keberadaan kita sesungguhnya tidak ada di atas planet bumi ini.
Keberadaan kita menjadi riil apabila dapat kita tampakkan wujudnya melalui aktivitas nyata yang dapat dilihat dan dirasakan manfaatnya oleh siapa saja, yang dapat dinikmati dan dihayati oleh orang lain.
Baca juga: Menyoal Keramahan Keluarga Pengganti
Pertanyaannya, bagaimana caranya agar wujud keberadaan kita ini benar-benar adanya dan tidak semu? Rasul saw membantu kita untuk dapat memperjelas dan mempertegas keberadaan diri dengan konsep trilogi perubahan yakni “falyughayyirhu bi yadihi, fa in lam yastati’ fa bi lisaanih, fa in lam yastati’ fa bi qalbih”. Hendaklah ia melakukan perubahan dengan tangannya, jika tidak mampu, maka berbuatlah dengan lisannya, dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya.
Kita harus dapat mempertegas keberadaan diri di bumi ini dengan cara memberi manfaat melalui tangan, seperti bisa memberikan petutur dengan menulis apa saja yang mengandung manfaat dan maslahat yang dapat dirasakan bekasnya oleh yang membaca tulisan tersebut.
Tidak harus panjang, yang singkat pun jika isinya nasihat dan perenungan, maka pasti akan terasa manfaatnya bagi siapa saja yang membacanya. Al Gazali berpesan, Jikalau engkau bukan anak seorang raja, atau bukan anak seorang ulama besar, maka hendaklah kamu menjadi penulis.
Memperlihatkan wujud diri melalui tangan juga dapat dilakukan dengan membiasakan memberi sebagian rizki kepada yang membutuhkan, baik kepada person, organisasi, maupun lembaga pendidikan, sosial, dan keagamaan juga menjadi bagian dari mempertegas keberadaan diri.
Apabila kita memaknai tangan ini dengan mengikuti mazhab kekuasaan dan wewenang, maka memberi manfaat dapat dilakukan dengan wewenang yang melekat pada diri. Membuka ruang yang luas untuk kemaslahatan umat, memberi waktu yang maksimal untuk publik, dan menggadaikan diri untuk menegakkan kejujuran dan loyalitas.
Kemudian untuk mempertegas keberadaan diri melalui lisan—tentunya yang mengandung manfaat. Bisa melalui mimbar-mimbar masjid, menyampaikan pesan-pesan moral yang mengandung ajakan dan anjuran kebaikan, bisa juga melalui ruang-ruang pembelajaran di kelas maupun di luar kelas, melalui rekaman yang ditayangkan lewat virtual (media sosial), atau dapat pula dilakukan melalui aktivitas membaca al-Qur’an yang kemanfaatannya minimal dirasakan oleh diri dan keluarga.
Apabila kita memaknai lisan itu dengan makna otoritatif, baik otoritas keilmuan atau otoritas kekuasaan, maka dalam berkomunikasi dengan siapa saja hendaknya kalimat yang tersurat dari lisan ini adalah yang mengandung hikmah, minimal yang tidak melukai hati siapa saja yang mendengar dan tidak mencederai bangunan persaudaraan.
Baca juga: Potensi Kekerasan yang Bernama Kelembutan
Selanjutnya penegasan keberadaan diri melalui hati, dapat kita lakukan dengan memberi rasa simpati dan empati, memberi doa, memberi perhatian dan dukungan moril, memperlihatkan diri memiliki sens of atau rasa yang penuh pengertian dan toleran. Bukan saja kepada sesama makhluk hidup, kepada alam semesta dan lingkungan pun kita dapat menyalurkan sens of atau rasa yang mengandung pengertian dan kepedulian.
Penegasan keberadaan diri melalui hati juga dapat dimaknai dengan pikiran, paradigma, dan gagasan atau ide, maka pantasnya kita dapat memberikan gagasan dan pikiran yang mengandung kemaslahatan umat, paradigma atau pandangan yang menyejukkan hati, dan ide-ide yang cemerlang penuh manfaat.
Itulah trilogi konsep perubahan yang mengandung nilai kemanfaatan yang dapat kita jadikan sarana untuk mempertegas keberadaan diri di bumi. Minimal kita dapat beraktivitas pada tiga peluang aksi itu (melalui tangan, lisan, dan hati) sekalipun dengan standar yang paling ringan, untuk membuktikan keberadaan diri ini memiliki nilai manfaat. Dan ketiga peluang aksi itu dapat kita jadikan sarana yang efektif agar orang-orang yang berada di tengah-tengah komunitas kita dan di lingkungan sekitar kita dapat merasakan keberadaan diri ini.
Sebagai catatan akhir, bahwa keberadaan kita di atas planet bumi bukan hanya sebagai penghuni, akan tetapi sebagai pengelola yang membawa misi memberi manfaat kepada siapa saja dan kepada apa saja yang kita jumpai di atas punggung bumi.
Melakukan aktivitas kebaikan yang dapat dirasakan oleh siapa saja dan oleh apa saja di atas bumi ini menjadi niscaya untuk kita lakukan, sebagai indikator dari hidup yang penuh manfaat yang dapat dirasakan kemaslahatannya oleh penduduk bumi, dan itulah wujud keberadaan kita benar-benar nyata dan ada.[]
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram