Saya baru tahu hari ini. Dari pemaparan Pak Deputi Bidang Pengembangan Sumberdaya Perpustakaan Nasional, Deni Kurniadi yang mewakili Pak Syarif Bando, Kepala Perpustakaan Nasional ketika membuka acara finalisasi rencana alokasi khusus bidang pendidikan subbidang perpustakaan.
Di Indonesia saat ini, terdapat 164.610 perpustakaan. Sebanyak 113.541 atau 69% di antaranya adalah perpustakaan yang terdapat di sekolah-sekolah dan madrasah. 113.541 atau 25,80% adalah perpustakaan umum, 42.460 atau 4% adalah perpustakaan khusus dan sisanya sebanyak 2.057 atau sebesar 1,2% adalah perpustakaan yang terdapat di Perguruan Tinggi yang tersebar di seluruh Indonesia.
Baca juga: Perpustakaan Kalikuma, Edu-Ekowisata dan Jihad Literasi
Menurut Surachman (2006), karakteristik perpustakaan khusus yang membedakannya dari jenis perpustakaan lain, khususnya dari perpustakaan umum dapat dilihat dari fungsi, subjek yang ditangani, koleksi yang dikelola, pemakai yang dilayani, dan kedudukannya.
Berdasarkan kedudukannya, perpustakaan khusus bernaung di bawah badan, instansi, lembaga, organisasi tertentu.
Cakupan subjeknya berkaitan erat dengan bidang atau subjek tertentu (khusus) dari berbagai disiplin ilmu. Mempunyai jenis-jenis koleksi yang mempunyai informasi tertentu dan termuat dalam berbagai media.
Melayani pemakai dalam kelompok tertentu. Dan berfungsi untuk menyimpan, menemukan, memberikan, dan menyebarkan informasi secara cepat.
Jenis perpustakaan yang lain tentu Anda sudah tahu dan barang kali Anda sering mengunjunginya.
Kembali ke peringkat Indonesia. Dengan kuantitas yang mendunia, ada terselip pekerjaan rumah besar agar jumlah ini menjadi nilai berharga bagi anak bangsa. Sebab, menurut Kepala Deputi Sumberdaya Perpustakaan
dari total 164.610 perpustakaan yang ada, baru 19,8% yang memenuhi standar nasional perpustakaan.
Ini berarti bahwa ada banyak perpustakaan yang gedungnya tidak layak, mojok di ruangan sekolah atau nyempil di sela-sela rumah warga, bukunya hitungan jari, akses wifi-nya nunggak, listriknya “hidup segan mati tak mau”.
Pustakawannya, belum cukup mendapat ilmu atau bahkan hanya modal niatan berbuat baik terhadap sesama, hingga koleksi pustaka kudet dan tidak cukup menjawab perubahan arah angin apalagi tren ekonomi dan sosial politik dunia.
Ini membuktikan PR kita masih banyak, pembaca.
Di sisi lain, kita juga bisa berbangga hati dengan semangat dan spirit para pekerja, relawan literasi, kelompok belajar hingga individu yang menyuluh ilmu dari gang-gang sempit, dari teras-teras rumah tua serta dari tanah lapang tepi pantai dan kaki bukit kita.
Baca juga: Menata Masjid, Merenda Peradaban
Tugas kita kemudian tidak hanya mencatat angka-angka, merundung persentase, mengecam kualitas, atau hanya menyalahkan pihak-pihak yang bersalah.
Kita juga harus menjadi pejuang. Mengambil bagian sekecil apa pun dalam proses ini untuk pencapaian yang lebih baik.
Terutama untuk mencapai dan mewujudkan motto Perpustakaan Nasional yang sering dikobarkan pucuk pimpinanannya dalam setiap pertemuan: Literasi untuk Kesejahteraan![]
Penulis buku Gurun Tak Bernama, mantan wartawan, dan alumni Erasmus University Rotterdam.