REALITAS

PADA satu kesempatan saya pernah menulis: “…realitas yang kita sepakati sebagai realitas tak lebih sekedar mitos dari hasil konstruksi sosial-budaya masyarakat komunal. Kita berhalusinasi setiap saat, dan ketika halusinasi tersebut disepakati, dengan segeranya kita menyebutnya sebagai ‘realitas‘…”—(Abdul Wahid & Hendrawangsyah, 2021).

Saya ingin melanjutkan logic dari pernyataan di atas—dengan pertama-tama meminjam perspektif William James —yang menempatkan halusinasi sebagai semangat realitas yang beragam—yang berlangsung secara tidak sempurna; seperti mimpi dalam suatu ruang yang terkunci, terfokus pada satu tujuan, dan kita seolah-olah merasakan “kehadiran”—muncul dan hilang secara mendadak; tidak bisa dilihat, dilacak, diraba, didengar atau diketahui melalui penginderaan manusia, (James, 2015: 68). Dalam hal ini, James mendeskripsikan satu pengalaman yang menarik perihal “kehadiran” dalam bentuk semi-halusinasi yang dialami oleh seorang wartawan cerdas yang matanya buta. Ia menulis:

“…saat aku merenungkan fakta bahwa aku telah muncul secara tidak sengaja ke dunia yang berputar di angkasa ini sebagai bagian dari malapetaka surga…” kata Madame Ackermann: “…saat kusadari diriku adalah makhluk yang fana dan penuh kekurangan, dan yang selalu mengejar kemustahilan sempurna, aku merasakan sesuatu yang aneh seperi sedang bermimpi. Aku merasa seolah-olah telah dicintai dan menderita dan seolah-olah aku akan mati, dalam sebuah mimpi. Maka pesan terakhirku adalah, ‘Aku baru saja bermimpi…” (James, 2015: 72).

Dalam Taoisme: Mimpi & Kenyataan, Izutsu menulis: “…dunia adalah sebuah mimpi: apa yang biasanya kita anggap sebagai “realitas” yang kukuh adalah sebuah mimpi. Lebih dari itu, manusia yang memberitahukan orang-orang lain bahwa segala sesuatu adalah mimpi, dan orang-orang yang menyimak ajarannya, semuanya adalah bagian dari sebuah mimpi...” (Izutsu, 2015: 34).

Dengan nada yang serupa, dalam sebuah hadits berbunyi: “…al-naasu niyaam, idzaa maatuu intabahuu…” (manusia itu sedang tertidur, ketika mereka mati, barulah mereka terbangun). Maka demikian, realitas dalam pengertian sesungguhnya adalah sesuatu yang benar-benar berbeda dari apa yang dianggap sebagai “realitas”. Lebih jauh Izutsu menegaskan bahwa untuk memahami makna kesejatian realitas, kesadaran normal yang kita miliki harus kehilangan identitas dirinya, termasuk juga “ego” atau ke-“aku”-an serta segala persepsi dan pemikiran pun—juga harus kehilangan semua identitas-dirinya.

Saya memahami Realitas semacam peristiwa fatamorgana yang terjadi akibat pembiasan (pancaran) cahaya-Nya, sehingga sesuatu yang tidak ada nampak seolah menjadi ada. Mungkin hologram adalah contoh yang tepat bagi fenomena fatamorgana kehidupan yang sekarang sedang kita bicarakan. Kecanggihan sains modern melalui tradisi pengetahuan Filsafat positivis—tanpa disadari sebenarnya telah memberikan ilustrasi perihal realitas.

Fenomena gelombang hologram bagaikan samudera realitas yang diinterpretasikan melalui Cahaya-Nya, sehingga Realitas (asli) menjadi kabur dan samar-samar. Di era sekarang, keaslian memang (nyaris) hilang dan secara cepat tergantikan dengan pesona kepalsuan yang ditawarkan oleh dunia dengan segala kemajuan teknologinya. Jean Baudrillard menyebutnya sebagai Era Simulasi. “…Similitude is a dream and must rermain one, in arder for a modicum of illusion and a stage of the imaginary to exist…” tulisannya dalam Simulacra and Simulation, (Baudrillard: 105).

Baca juga: 
Spiritualitas dan Modernitas: Tantangan Agama di Masa Depan (1)
Spiritualitas dan Modernitas: Tantangan Agama di Masa Depan (2)
Spiritualitas dan Modernitas: Tantangan Agama di Masa Depan (3)
Spiritualitas dan Modernitas: Tantangan Agama di Masa Depan (4)

Segala sesuatunya menjadi kebalikan dari yang real. Imajiner menjadi alibi dari yang nyata oleh dunia yang didominasi oleh prinsip realitas, sedangkan realitas telah menjadi ailbi mode dalam kontrol dunia yang dipimpin oleh prinsip simulasi. Secara paradoks, kenyataan seakan telah menjadi Utopia yang diimpikan oleh orang memimpikan benda yang hilang. Persoalan sekarang adalah membedakan “Yang Real” di tengah samudera realitas yang begitu beragam (varieties) seperti sekarang.

Dengan sikap yang optimistis, James mengatakan bahwa Yang Real dalam fenomenanya yang beragam mampu dipahami dengan baik jika diurutkan dengan baik, (James, 2015: 370). Secara antologis, realitas-realitas yang nampak di sekitar kita bersumber dari “Realitas yang tak nampak”. Oleh karenanya, kita tidak akan pernah bisa melihatnya secara langsung, karena Ia tidak berbentuk dan tak berkaki, namun kita bisa merasakan kehadirannya melalui pemaknaan, (James, 2015: 66).

Dalam memahami-Nya kita juga selalu berhadapan dengan ketidakberdayaan; seperti saat kita kehilangan objek kejiwaan, kata sifat, kata keterangan, predikat, dan klasifikasi utama serta segala konsepsi terhadap-Nya, atau seperti yang difirmankan dalam Qur’an: “…laisa kamiṡlihī syaī… (tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia) [Q.S. Asy-Syura: 11]. Namun “Yang Real” dapat dipahami dan dibedakan melalui pengalaman mistis [mystic of experience] yang [nyaris] tak terlukiskan [Ineffability]. Meski menyerupai keadaan-perasaan [state of feeling] namun ia juga merupakan keadaan-pengetahuan [state of knowledge] bagi yang mengalaminya, meski datang secara mendadak dalam durasi waktu yang singkat [transiency]. (Baca: Mysticism, James, 2015: 368, 369).


Realitas di Balik Pembiasan Cahaya

Sebelumnya saya pernah menyinggung bahwa apa yang nampak di dunia ini adalah fenomena pembiasan cahaya (fatamorgana). Dalam Iluminasi: paradigma pelimpahan cahaya Suhrawardi misalnya menjelaskan bahwa fenomena alam semesta diciptakan melalui pancaran cahaya-Nya, dan begitu pula segala sesuatu di dunia ini adalah manifestasi (pantulan) dari cahaya-Nya. Jika dunia adalah pantulan cahaya-Nya, maka berarti sumbernya adalah Tuhan itu sendiri.

Setiap manusia memiliki cahaya Tuhan, maka manusia harus menempuh jalan itu untuk memperolehnya. Dengan artian, kesadaran Diri dalam konteks ini adalah jalan pengetahuan, dan untuk memahami segala fenomena manusia harus mampu mengenali dirinya. Pengetahuan tentang segala sesuatu akan tersingkap pada manusia yang memiliki kesadaran diri yang diperoleh melalui pelimpahan cahaya-Nya. “…man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu…” [barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya].

Mengenal diri artinya mengenal Tuhan sebagai Realitas dan Kebenaran hakiki. Menurut Izutsu, pandangan orang yang telah mengalami “Keterjagaan Agung” melihat segala sesuatu adalah Satu; segala sesuatu adalah Realitas itu sendiri. Namun, pada waktu sama, Realitas unik ini memperlihatkan padanya pandangan kaleidoskopik (yang terus-menerus berubah dengan cepat) beragam dan berbagai hal yang “secara esensial” berbeda satu dengan lainnya. Pada aspek ini, alam Wujud memiliki beraneka ragam dan berjumlah banyak. Wujud yang beragam ini harus didamaikan satu dengan lainnya dengan menganggap “hal-hal” itu hanya sebagai selaksa bentuk fenomenal dari Satu Yang Mutlak atau “Kesatuan eksistensi”, (Izutsu, 2015: 35).

Pada akhirnya, diskursus mengenai Realitas bersifat kosmik. Basis kosmologi Islam pun bermula dengan pengetahuan bahwa alam semesta memegang kunci menuju keabadian jiwa kita. Pandangan ini melihat kosmos sebagai sarat dengan makna dan tujuan. la menamai “Prinsip Tunggal” kosmos dengan diri serangkaian nama yang diturunkan dari penamaan diri Ilahi. Tidak satu pun dari nama-nama ini yang abstrak atau tidak manusiawi. William C. Chittick menulis, “…the Islamic God is anthropomorphic, because the Islamic human is theomorphic. If God is understood in man’s image, it is because man was created in God’s image…” (William C. Chittick, 2007: 87).

Secara holistik ketuhanan dalam Islam tidak hanya bersifat antropomoris, namun ekomorfis juga adalah bagian dari teomorfis itu sendiri. Dalam dunia fenomenal, segala sesuatunya adalah tanda-tanda (ayah) keberadaan-Nya. “…Kunt kanzan makhfiyan fa’ahbabtu ‘an ‘urifa fakhalaqt alkhalq fabi ‘arafuni…” (Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku ingin diri-Ku dikenal, maka Aku ciptakan makhluk, yang dengannnya Aku dikenal). Dengan demikian, Yang Real dapat dimengerti secara antropomorfis sebagai al-alam al shaghir (alam kecil) dan secara ekomorfis al-alam al kabir (alam besar). Keduanya diciptakan melalui citra Tuhan.

Allah SWT berfirman: “…Kami akan memperlihatkan tanda-tanda Kami di segenap cakrawala dan dalam jiwa mereka (manusia), sampai jelas bagi mereka bahwa Dia adalah Mahabenar…”—(QS. 41:53).

Dengan tegas ayat di atas mengisyaratkan bahwa (jiwa) manusia mewakili dirinya sebagai makrokosmos: al-insan Al Kabir (manusia besar) dan sekaligus sebagai mikrokosmos: al-insan Al shaghir (manusia kecil). “…Re-ligio ortying back” to God…” Jika agama menurut pengertian Chittick adalah “mengikat kembali ke Tuhan”, maka demikian sains melalui theory juga dapat dimaknai “kembali ke Tuhan” (theo-“re”). Sebab, “…is impossible without images of God and imagining God…” Tulis William C. Chittick. Dengan demikian sains dan agama adalah dua jalan yang sama-sama mampu menuntun kita untuk memahami Yang Real []


Sumber Ilustrasi: Instagram.com/pawelkuczynski1


Bahan Refleksi Bacaan:

William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World, (England: Oneworld Publications, 2007)

Toshihiko Izutsu, Taoisme: Konsep-konsep Filosofis Lao-Tzu dan Chuang-Tzu Perbandingan dengan Sufism Ibn ‘Arabi, terj. Musa Khazim & Afif Molyadi, (Mizan, 2015)

William James, The Varieties of Religion Experience: Pengalaman-Pengalaman Religius, terj. Luthfi Anshari, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015)

Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, (America: Uneversityof Michigan Press, 2006).  

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *