Mewaspadai Memuji Diri Sendiri

PUJIAN terkadang menjadi sesuatu yang diharap oleh semua orang sebagai wujud eksistensi diri yang dirasa pantas untuk mendapatkan penghargaan atas jerih payah yang telah dilakukan, juga kadang dapat menjadi penyemangat untuk mengukir prestasi dan capaian berikutnya.

Tak jarang ada unsur kesengajaan dari seseorang untuk memperlihatkan diri hanya sekadar ingin mendapat pujian, sanjungan, dan pengakuan dari orang-orang di sekitarnya.

Sikap ingin dipuji adalah manusiawi dan masih dalam koridor kewajaran, karena nilai kepuasan biasanya didapatkan dari seberapa banyak dan seberapa besar sanjungan dan pujian dari orang lain. Yang perlu diingat dan dijaga adalah jangan sampai pujian atau sanjungan itu datang dari diri sendiri (baca: memuji diri sendiri).

Banyak ragam capaian, aktivitas, dan keunggulan diri yang biasanya membuat diri ini bangga dan secara diam-diam akan melahirkan pujian terhadap diri sendiri.

Baca juga: Ibu, Rahim Peradaban

Dari sisi fisik misalnya, tatkala seseorang melihat dirinya memiliki paras yang cantik, ganteng, anggun, gagah, dan tampan saat bercermin, biasanya muncul ketakjuban dan kekaguman di dalam hatinya—ada pengakuan diri dalam bentuk pujian dan sanjungan terhadap diri sendiri.

Kemudian ada juga rasa secara psikis bahwa dirinya pintar, berpengetahuan, terampil, dan kompeten. Dengan adanya rasa bahwa dirinya memiliki kemampuan lebih inilah biasanya yang akan memunculkan pujian dan kebanggaan diri di dalam hati.

Dan masih banyak capaian-capaian dan keunggulan diri yang lain yang dapat menggeret kita untuk memuji diri sendiri.

Kita biasanya bersikap hati-hati terhadap pujian dan sanjungan orang lain yang datang kepada kita, namun yang sering kita abai adalah menjaga diri dari memuji diri sendiri untuk suatu kelebihan dan keunggulan yang kita capai, padahal pujian yang datang dari dalam diri sesungguhnya lebih berbahaya dibanding pujian yang datang dari orang lain.

Baca Juga  Belajar Memahami Kehidupan

Memang memuji diri sendiri merupakan perkara yang diperbolehkan dalam Islam, selama pujian itu bermaksud positif, misalnya memuji diri sendiri  di depan orang lain dalam rangka memotivasi seseorang agar dapat mencontoh capaian kita. Hanya saja jika tidak berhati-hati maka perbuatan tersebut bisa menjerumuskan pada perilaku riya, yakni memperlihatkan keunggulan diri demi tujuan ingin dipuji.

Maka kita harus berhati-hati, semua rasa yang datang dari dalam diri untuk diri sendiri adalah godaan yang dapat mengikis habis seluruh nilai amaliah, nilai keikhlasan, dan nilai ketawadukan diri. Bahkan jika tidak terkendalikan, kebiasaan memuji dan menyanjung diri  sendiri akan melahirkan rasa congkak, sombong, dan membangga-banggakan diri.

Tuhan tidak senang kepada hambanya yang congkak, sombong, dan membangga-banggakan dirinya, sebagaimana Tuhan sampaikan dengan larangan yang tegas di dalam firman-Nya di surah Lukman ayat 18, “Wa lā tuṣa”ir khaddaka lin-nāsi wa lā tamsyi fil-arḍi maraḥā, innallāha lā yuḥibbu kulla mukhtālin fakhụr”. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.

Kebiasaan memuji dan menyanjung diri sendiri akan melahirkan sikap ujub—bangga terhadap dirinya sendiri, dalam bahasa psikologi dikenal dengan sebutan “gangguan narsistik” yakni memandang kelebihan yang ada pada dirinya secara berlebihan, sehingga melahirkan pandangan terhadap orang lain lebih rendah dari dirinya.

Baca juga: Ibu, Pahlawan Peradaban

Ciri gangguan narsistik adalah secara diam-diam memuji dirinya, secara diam-diam menyanjung dirinya, dan secara diam-diam bangga terhadap dirinya sendiri, tetapi sebaliknya tingkat empatinya kepada orang lain yang rendah dan menganggap dirinya memiliki kepentingan yang lebih tinggi dari orang lain.  

Baca Juga  Setitik Noda menutupi Kain yang Sobek

Asal kata narsistik ini dari “Narcissus”, seorang pemuda dalam mitologi Yunani yang jatuh cinta pada bayangannya sendiri, yang secara tidak sengaja melihat bayangan wajahnya di dalam air.  

Gejala narsis belakangan ini banyak menghinggapi generasi kita, mereka dengan bangga memuji diri sendiri, menunjukkan kehebatan, kekayaan, kecantikan, dan segala kemampuan yang dimililkinya.

Pepatah lama berbunyi; “Senjata yang paling ampuh untuk menghancurkan kejayaan seseorang bukanlah dengan pedang. Tetapi, mengancurkannya dengan pujian”.

Maka penting bagi kita untuk memiliki prinsip sebagai sikap hidup, bahwa memuji diri sendiri janganlah menjadi kebiasaan, karena pujian apa pun bentuknya, apalagi memuji diri sendiri jika berlebihan bukan menjadi cambuk untuk kebaikan diri, akan tetapi bisa menjadi bumerang yang menghancurkan diri sendiri, minimal kita akan menjadi tidak jujur dalam bersikap dan berperilaku, mengada-ada dalam seluruh tindakan dan ucapan (baca: kamuflase)—bahkan bisa berakibat tidak menjadi diri sendiri.

Nasihat ulama yang perlu kita camkan, “engkau memuji dirimu sendiri lebih parah daripada engkau memuji orang lain. Karena kesalahan diri di matanya sendiri lebih ia tahu banyaknya dibanding mengetahui kesalahan orang lain”.

Nasihat ulama di atas sejalan dengan pesan Tuhan dalam firman-Nya di surah An-Najm ayat 32, “fa lā tuzakkū anfusakum, huwa a’lamu bimanittaqā”. Jangan kalian memuji-muji diri kalian sendiri, karena Dia-lah yang paling tahu siapa yang bertakwa.[]

 

2 komentar untuk “Mewaspadai Memuji Diri Sendiri”

  1. Bismillah…
    Walhamdulillah….
    *Jujur…paling tidak respect sama orang yg sifatnya sombong…semoga dijauhkan 🤲😊 semoga Allah menuntun agar pribadi dan teman2 semua jauh dr sifat yg menjengkelkan ini, sifat yg menganggap diri baik, ,dan suka menjatuhkan /memandang rendah orang lain (make down someone else),,Naudzubillahi min dzalik ❌🤲
    Terimakasih ayahanda hikmah hari ini , mudah2an tetap sehat, semangat n keep smile selalu…aamiin 🤲😘

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *