Menguji Gagasan Anies Baswedan

MENARIK membaca tulisan Anies Rasyid Baswedan (ARB) di Harian Kompas (17/2/2023) berjudul Meluruskan Jalan, Menghadirkan Keadilan. Banyak pihak menilai, narasi dalam opini tersebut adalah “manifesto” ARB untuk pencapresannya di 2024. Mengapa begitu? Sulit untuk memisahkan konten dan konteks tulisan tersebut dengan visi misi-nya.

Konten tulisan tersebut berbicara soal Indonesia, bukan lagi soal skrup kecil bernama Jakarta dan cakupannya adalah masa depan Indonesia, yang sebenarnya ARB-pun tidak berdosa jika tidak menuliskannya. Lalu, untuk apa?

Dilihat dari konteksnya, tulisan yang viral itu ditulis dalam posisi ARB sebagai calon presiden – mungkin artikel pertama – yang ditulis setelah mendapat “mandat” tiga partai politik. Jauh dari itu, artikel tersebut ditulis setelah ARB roadshow ke berbagai wilayah. Apa tujuannya?

Fokus utama ARB dalam tulisannya menyangkut keadilan sosial. ARB mengajukan setidaknya tiga komponen utama untuk mencapai Indonesia yang berkeadilan sosial itu. Pertama, melalui demokrasi dan kesetaraan hukum. Kedua, ekonomi untuk semua. Ketiga, kolaborasi dan meritokrasi.

Baca juga: Jalan untuk Politisi Non Partai

Mari kita mulai “jalan panjang” ini dengan masuk ke dalam labirin pertama: demokrasi dan kesetaraan hukum. ARB mengajukan kredo bahwa demokrasi yang ia pikirkan berbasis kepercayaan (trust). ARB ingin mendorong kembali demokrasi yang sesuai dengan amanah reformasi, kesetaraan hukum, masyarakat yang kritis, landasan demokrasi elektoral.

Melihat demokrasi Indonesia hari-hari ini, ide ARB seperti petir di siang bolong. Keputusan negara melalui mekanisme yang sah dan konstitusional jelas tidak bisa dikatakan sebagai keputusan yang tidak demokratis. Namun, dengan berbagai kontroversi, angka persepsi korupsi yang kian naik, asyik masyuk elite politik selama ini, apa bisa mengembalikan kepercayaan publik ke pemerintah?

Menurut hemat penulis, persoalan itu tidak selurus jalan Daendels di Jawa itu. Namun, kerja tim, elite politik, dan siapa pun yang dipilih ARB sebagai pembantu-pembantunya kelak. Sebab, kepercayaan publik kepada kepala negara seorang diri tidak sama dengan kepercayaan publik kepada pemerintah. Dan jelas, yang dimaksud basis yang demokratis itu ialah kepercayaan publik kepada pemerintah bukan kepada individu, presiden atau ARB sekalipun jika terpilih kelak. Publik banyak yang keliru soal ini!

Menurut Anies Rasyid Baswedan dalam bukunya Merawat Tenun Kebangsaan (2015) bahwa demokrasi harus tegak dalam dua landasan yakni struktur dan kultur politik modern. Jika kita melihat struktur politik Indonesia sekarang, untuk menilai berhasilnya amanah reformasi, kesetaraan hukum, masyarakat yang kritis tadi, jelas penulis merasa skeptis karena struktur politik sekarang adalah struktur lama yang dipakai oleh partai-partai politik dengan hanya mengubah casing dan hanya memakai templat lama yang usang. Termasuk partai-partai pendukung ARB sekarang.

Sedangkan, dalam kultur politik kita, nilai-nilai kuno penghancur demokrasi masih saja dipakai dan berkembang biak: politik transaksional, feodal, nepotis, dan jauh dari akuntabilitas masih dipraktikkan. Kultur kuno tersebut juga yang sedang dinikmati oleh ARB sendiri.

Dari mana, untuk apa, dan bagaimana jalannya dana dalam kerja-kerja politik selalu tidak bisa dijelaskan dalam politik Indonesia. Termasuk, dana untuk roadshow ke seluruh Indonesia oleh ARB sendiri. Harusnya, secara moral dapat dipertanggungjawabkan. Namun, itulah bedanya tulisan dan realitas, bukan?

Baca Juga  Amnesia Politik Pasca Pilkades: Analisis Berdasarkan Teori Demokrasi

Belum lagi demokrasi yang dibajak oligarki itu, di mana, “yang berduit” saja yang bisa mengakses kekuasaan. Dan jelas, struktur politik yang dihasilkan lewat jalur tawar-menawar uang oleh elite politik hanya akan mengulang cerita lama kekecewaan. Dan suara-suara kritis masyarakat sipil yang diharapkan ARB jelas tidak akan bisa tercapai dihadapan elite politik hasil struktur dan kultur kuno itu.

Bahkan ARB-pun mengalami bagaimana struktur dan kultur kuno ini menyerang dia sendiri, ketika di reshuffle tanpa alasan yang jelas. Seperti itulah nasib hidup dengan struktur dan kultur politik seperti yang Anda sampaikan sendiri.

Selanjutnya, mari masuk ke labirin kedua: ekonomi untuk semua. Bagaimana menciptakan ekonomi untuk semua saat kekayaan segelintir elite menguasai hampir setengah rakyat Indonesia. Ketimpangan yang makin melebar dan menciptakan kelas sosial yang makin kentara dalam masyarakat. Sekali lagi cita-cita Karl Marx, manusia tanpa kelas, gagal di Indonesia. Hehe.

ARB mengajukan konsep social market economy sebagai jalan yang harus ditempuh. Konsep yang mengharuskan peran besar negara dalam implementasinya. Negara harus kuat dalam “mengintervensi” pemodal untuk mendistribusikan “hasil” dan negara “mendikte” dalam regulasi yang diciptakan untuk “sosial”-nya.

Mungkin “hil yang mustahal” ketika struktur dan kultur politik Indonesia yang sedang dikuasai kaum oligark. Di mana negara (pemerintahan) dijalankan oleh mereka yang ingin mencari untung sebesar-besarnya dipaksa untuk mendistribusikan hasil seluas-luasnya. Jika ARB hanya mengajukan contoh dengan peran negara memberikan regulasi yang mudah untuk usaha kecil baru, lalu pertanyaanya, seberapa besar jumlah rakyat yang akan menikmatinya?

Menurut penulis, itulah jalan panjang yang sulit untuk menentukan posisi negara, jikapun social market economy dilakukan, jelas harus melalui negosiasi dan bersinggungan dengan DPR sebagai wakil rakyat yang juga pembuat regulasi. Proses tawar menawar inilah yang akan berliku dan memerlukan energi yang besar. Apakah ARB – jika terpilih – akan menggunakan koalisi besar lagi seperti sekarang untuk memuluskan kebijakannya? Jika, iya, harga mahal kembali harus dibayar oleh rakyat dengan mengorbankan cita-cita demokrasi.

Jauh dari itu, kepemimpinan (leadership) yang kuat dibutuhkan dalam hal ini, tapi kita tahu sendiri, mungkin ARB kuat dan populis untuk menyatakannya. Tapi ingat, ia bukanlah petugas partai, apalagi pemilik partai. Dengan begitu, sekali lagi apakah ARB hanya akan mengulang kembali cerita kekecewaan itu?

Baca juga: Anies, PA 212, Bir, dan Relasi Islam dan Negara

Baca Juga  Fasilitas untuk Manusia

Labirin ketiga: kolaborasi dan meritokrasi. Gagasan ARB dengan menghadirkan negara sebagai kolaborator dan masyarakat sebagai ko-kreator untuk menciptakan good governance. Namun, sejauh mana negara mendengar aspirasi dan kreasi masyarakat? Sebenarnya, banyak agensi dan kemauan masyarakat, tapi selalu kalah dengan administrasi, birokrasi dan telinga negara yang kadang dibuka dan lebih sering tertutup.

Jika kita tilik lebih jauh, kolaborasi atau ungkapan yang sering digaungkan oleh ARB sendiri yakni “turun tangan” sebenarnya tidaklah jauh dari gotong royong. Jelas budaya itu masih ada dalam benak masyarakat Indonesia dan masyarakat Indonesia terkenal kekeh untuk tujuan bersama. Namun, semangat itu kadang juga dilunturkan oleh perilaku negara dan elite politik sendiri.

Bagaimana menciptakan suasana kolaboratif jika elite politik seperti anak TK dan gemar melakukan tindakan koruptif dan anak-anak pejabatnya berlaku bak raja seperti kasus “56M” itu. Menurut hemat penulis, kolaborasi elite yang sehat, yang demokratis dan berteladan jauh lebih penting untuk dipikirkan daripada mengajari masyarakat untuk saling berkolaborasi.

Kolaborasi elite ini juga akan berimplikasi pada terciptanya meritokrasi. Dengan begitu, pintu kesempatan untuk masyarakat jauh lebih besar harapannya daripada mengharapkan meritokrasi tapi kesempatan dan jalan menuju ke arah sana tertutup oleh elite yang jumud dengan struktur dan kultur kuno seperti di atas.

Kemana Visi Pendidikan Anies Baswedan?

Dalam tulisannya kali ini, ARB sama sekali tidak menyinggung soal pendidikan. Padahal, selama ini, ARB dicitrakan sebagai tokoh yang peduli pada pendidikan. Menarik untuk membaca fenomena ini, apakah ARB sudah sadar bahwa pendidikan tidak laku untuk dijual dalam pasaran politik Indonesia.

Padahal, jika kita melihat beberapa argumen yang dikemukakan oleh ARB, setidaknya bersinggungan dengan visi pendidikan. Meritokrasi dan masyarakat sipil yang kritis mustahil tercipta tanpa pendidikan yang memadai. Civil society yang diharapkan mampu menjadi kelas menengah itu, jelas lebih banyak dihasilkan dari jalur pendidikan.

Di sinilah momentum pendidikan merdeka itu, tentu saja dengan kemerdekaan yang sungguh-sungguh. Terciptanya manusia Indonesia yang akan berkolaborasi, kritis, dan meritokrasi yang akan menciptakan good governance.

Kita tunggu saja, selanjutnya dan selanjutnya![]

Ilustrasi: Twitter Anies Baswedan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *