Ketika Pekerja “Dunia” Diam-diam Menjenguk Tuhan

ADA banyak cara dan gaya dalam beragama. Latar belakang kultur, pekerjaan, pengalaman hidup, lingkungan, tingkat literasi, dan intensitas perjumpaan mempengaruhi corak penghayatan dan pengamalan. Maka, kulaitas beragama itu bisa saja relatif jika dilihat dari sisi tampilan formal. Kita punya dua contoh tokoh.

Yang satu sebutlah anak pantai, karena kerjanya di pantai. Menjadi barista di sebuah bar kecil nan sederhana. Nama gaulnya Kalone, dari Lombok Barat. Masih lajang, meski umur sudah 35. Sudah lima tahunan mengais rezeki dari pariwisata di pulau kecil yang kesohor, Gili Trawangan, sebelah barat laut Pulau Lombok

Satunya lagi manusia hotel, karena kerjanya mengurus kamar di sebuah homestay di zona party Gili Trawangan. Sudah sepuluh tahunan Pak Robet, asal Lombok Tengah, menggeluti profesi itu. Pemilik hotel tak lain bibinya sendiri. Ia dipanggil karena berpengalaman di sektor itu. Dulu pernah kerja di hotel di Bali, bahkan di Australia.

Salah satu penjaga bar di Gili Trawangan sedang melayani tamu

Kedua tokoh kita ini sama-sama polos, bersahaja, dan ramah. Tampaknya modal utama kerja dan hidup di sini adalah keramahan (hospitality). Saya bertemu tokoh pertama karena keramahan ini: ia menawari kami (saya, istri, dan anak) duduk di tenda pantainya dengan gratis dan nyaman. Saya pun ditawarinya botol sampanye brand terkenal yang sudah kosong untuk koleksi. Tentu ini setelah menjadi akrab.

Pertemuan dengan tokoh kedua berawal dari pencarian homestay dan tawar-menawar harga. Tanpa banyak pikir, ia memberi kami potongan harga yang lumayan, meski saat itu peak season. Ini setelah ia tahu tujuan kami, bukan sekedar menjadi turis tetapi juga “mengabdi sambil meneliti”. Di tengah tren transaksi titip harga, ia malah sebaliknya. “Saya titip pahala, Pak ya!” katanya.

Tampilan mereka memang pekerja. Pekerja sektor “sekuler” berhaluan keras. Mereka lebih tepat masuk dalam kelas buruh. Mereka muslim. Keluarga dan lingkungan asal dan tumbuh mereka, sangat religius. Hanya saja jika kesalehan diukur dari sisi tampilan, mereka bukan potongan muslim ortodoks. Yakni muslim yang dikategorikan saleh. Mereka lebih tampak “umat di luar masjid”.

Lebih tampak? Ya. Pakai celana pendek yang sudah redup warnanya. Berkaos oblong. Kulit legam karena keseringan terpapar angin laut. Tidak seperti saudara-saudara mereka yang lebih banyak beredar di sekitar masjid. Yang wajahnya bening dan bercahaya karena sering diresapi air wudhu yang diberkahi. Yang lidah dan bibirnya selalu dibasahi kalimah tayyibah dan asma’ul husna. Sementara tokoh yang kita bicarakan ini, mulutnya fasih mengeja uang.  

Tapi siapa sangka, mereka ini punya pandangan hidup yang tak kalah “berketuhanan”. Pandangan agama mereka juga mendalam, sekelas para mahasiswa teologia atau fakultas Ushuluddin. Meski dengan cara dan artikulasi berbeda. Mereka percaya kepada keberkahan “Yang di Atas”, ridha ibu/orang tua, berbaik kepada sesama manusia, dan harmoni dengan alam. Juga anti kepada kejahatan. 

Kalone, misalnya, ingin suatu saat bar kecil-sederhana yang ia sewa berubah menjadi bar yang lebih menarik, dengan ia sendiri pemiliknya. Dalam mewujudkan rencananya itu, ia “ista’inu” dengan sholawat dan salat Dhuha. Jelas ini diam-diam. Ia libatkan Tuhan. “Supaya kapal mini yang mangkrak di depan bar ini dijual sama pemiliknya, dengan harga murah sekali, dan saya akan sulap jadi resto mewah,” cetusnya.

Baca Juga  Masjid yang Bermasalah atau Orang yang ke Masjid yang Bermasalah

Ia juga bercerita punya rumah al-Qur’an di kampungnya di Gunungsari. Ia sisihkan penghasilannya untuk menggaji guru ngaji dan ustazah bagi ibu-ibu di sekitar TPQ-nya. Tidak kurang 1.5 juta ia budget-kan untuk amal-usaha itu. Ini amaliyah-pengabdian besar bagi kaum pekerja seperti ia. Kaum ulul albab dari kampus-kampus keagamaan saja, masih mikir sebagai cita-cita, yang sebagian mewujud dalam praksis, sebagian lagi sekedar utopia.   

Praksis berakhirat kecil-kecilan ia lakukan. Bar kecil “miliknya” itu ia konversikan sebagai ladang amal juga, di samping sebagai tempat usaha. Misal, kalau ada yang mabuk di tengah malam lewat dan tergeletak di dekat barnya, ia lengserkan orang itu ke dipan pantai miliknya. “Ini lebih baik daripada mereka memaksa diri sampai ke hotel, berbahaya bagi dirinya dan orang lain.” Mengangkat batu-batu runcing dari area mandi pantai, agar yang mandi tidak terluka, juga ia lakukan, tanpa tahu dalil dan pahalanya. Sementara ada orang menebar bom dengan alas dalil dan iming pahala. 

Baca juga: Agama dalam Pusaran Pariwisata: Refleksi dari Gili Trawangan

Sementara Pak Robet setali tiga uang. Di luar tugas domestiknya sebagai penunggu homestay, ia seorang tukang azan (mu’azin), khususnya waktu isa dan subuh. Masjid al-Istiqamah tempat ibadah binaannya. Ia jugalah yang memandu saya menuju masjid untuk taraweh dan salat Subuh di awal Ramadan ini. Masjid ini juga gorong katarsis keagamaan baginya, agar bisa melupakan kerasnya cari makan dan hidup. Atau mengkonversinya menjadi kearifan.

Bukan hanya kaum sofis yang punya pandangan dunia. Robet juga punya pandangan dunia yang tak kalah menarik dan mendalamnya. Misal, soal kesabaran. “Ada banyak yang tidak bisa kita kontrol dan kuasai. Plungguh benar, itu wilayah Tuhan, juga wilayah ilmu,” kata saya menyimpulkan cerita-ceritanya tentang hidupnya yang penuh pergulatan: berjauhan dengan istri dan anak, menjadi tulang punggung keluarga, sering dikadalin sama tamu, disewenangi rekan bisnis – bertubi-tubi, bertahun-tahun.

Urusan dunia ini harus diimbangi dengan urusan akhirat. Supaya tidak larut, katanya. Maka ia rela sisihkan waktunya untuk Tuhan. Ia bahkan minta jatah jadi muazin, supaya punya lorong kembali kepada Tuhan. Di Bulan Ramadan ini, ia berniat “menemani” para pekerja lain yang kembali ke masjid di tengah larut malam, melepas kesumpekan melayani “dunia malam” yang memabukkan. Selain Tuhan, jangan lupa sama ibu dan orang tua. Di situ ada ridha Tuhan, dakwahnya kepada saya.

Sufistikasi Agama, Bukan Sophistikasi

Petite histoire (sejarah/narasi kecil) dari dua tokoh kecil pariwisata Gili Trawangan ini, boleh jadi gunung es bagi fenomena keagamaan dan sosial kita. Di tempat-tempat di mana para pekerja di sektor “dunia” tampak seperti dalam kering keagamaan, tetapi nyatanya keceh spiritual. Tidak jarang bahkan lebih mendalam dari penghayatan orang yang mendiami wilayah ortodoksi keagamaan.

Baca juga: Gerakan Moderasi Beragama

Baca Juga  Talaq dan Realitas Kontemporer

Ada seorang penjual batu akik di sebuah kawasan getho Kota Mataram, yang begitu dengar suara tahrim dari masjid ia sudah beberes tutup gerai dan minta maaf kepada pelanggan. Dia harus segera setor laporan ikhtiarnya mencari rezeki secara berkala kepada Tuhan. Demikian pula tukang jam tetangganya. Mungkin gaya mencari rezeki di mana Tuhan diikutsertakan jadi life-style di lingkungan ini. Maka, masjid selalu ramai jamaah salat dengan pakaian ala kaum buruh. 

Turis mancanegara menikmati suasana malam di Gili Trawangan

Ada sufistikasi agama dalam narasi kecil di atas. Bukan sophistikasi (sophisticating: penyanggihan), yakni agama dilihat sebagai hal yang kompleks dan penuh pergumulan. Dalam sufistikasi, agama dihayati dan difungsikan sebagai gorong-gorong pelepasan beban, dari keras dan susahnya mencari makan. Atau juga sebagai mekanisme peluruhan dosa dari praktik-praktik tipu-muslihat bisnis, atau pemutihan atas subhat-nya rezeki dari “pasar hitam” atau dari dugem. Sufistikasi agama adalah mencari mekanisme hidup yang sederhana untuk membebaskan diri dari pergulatan hidup yang kompleks.

Memang, tersirat involusi, jika dilihat dalam sudut pandang teori gerakan sosial. Yakni penyempitan fungsi dan semangat agama sebagai pembebasan. Dalam involusi agama, pembebasan tetap saja ada, namun pembebasan itu individual belaka. Sementara dalam teori gerakan sosial, ada pengandaian geliat individu dan komunal yang memicu perubahan sosial secara signifikan dan massif. Tetapi untuk yang satu ini, perlu ada “realitas objektif” yang memaksa, di mana agama menjadi salah satu faktor di dalamnya.

Tetapi bukankah cerita-cerita kecil dari tokoh-tokoh kecil di atas mencerminkan adanya “realitas subjektif” di mana agama dinterpretasi dan dihayati sedemikian rupa, hasil dialektika mereka dengan dunia objektif juga. Paling tidak, yang disebut realitas subjektif itu bahwa masih ada wilayah Tuhan dalam hati mereka, yang sesekali mereka cetuskan meski kedengaran syatahiyat – (ngelantur). Namun, ini adalah tanda agama masih bisa berfungsi transformatif dan emansipatoris, pengubah keadaan komunal, entah itu melalui jalan reformatif ataupun revolutif. 

Pak tua Nun, penjual kacamata “antik” yang numpang markas di masjid, suatu saat sehabis salat, bernasehat kepada saya, “Hati-hati membeli barang, banyak tipuan. Kalau beli jangan yang mahal, lebih baik nabung untuk sekolah anak-anak!” Duhai, ini nasehat seorang sufi, sekaligus seorang teolog! Ada penolakan terhadap realitas objektif dalam praktik ekonomi yang jahat. Terselip juga spiritualitas di dalam nasehat itu. Terlepas itu “syatahat” supaya saya mau membeli kacamata antiknya.[]

1 komentar untuk “Ketika Pekerja “Dunia” Diam-diam Menjenguk Tuhan”

  1. Agus Dedi Putrawan

    Kalone dan Pak Robet mengajak kita berfikir ulang tentang dimensi ketuhanan yang tidak pilih tempat. Kalone dan Pak Robet serta orang orang yang dititipkan pesan ketuhanan melalui diri mereka untuk kita semua yuk log in lagi agar terus tersambung dalam zikir kepada Allah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *