Ketaatan yang Berkelanjutan

MASIH terasa kebiasaan yang kita lakukan dalam ritual Ramadan yang kadang pada beberapa titik waktu kita sangat merindukan aktivitas Ramadan yang begitu berbekas. Ternyata benar kata pujangga, setelah berlalu baru terasa.

Selama sebulan penuh di bulan Ramadan, kita telah menjalankan beberapa jenis latihan (Riadhah) ketaatan secara rutin dalam bentuk penanaman nilai dan karakter, dengan harapan bahwa latihan-latihan tersebut akan dapat menempa kita menjadi pribadi yang patuh.

Dan di antara latihan yang terasa sangat indah dikenang dan masih segar dalam ingatan adalah, pertama, puasa Ramadan telah mengajarkan kita untuk hidup disiplin. Kita dididik untuk disiplin tidak makan dan minum pada waktunya, disiplin mengendalikan hawa nafsu, disiplin terhadap waktu imsak, berbuka puasa, dan salat. Ketika azan berkumandang, kita menyegerakan untuk berbuka puasa, tidak ingin mengulur-ulur waktu.

Kemudian, disiplin dalam mentaati aturan Tuhan berupa kemampuan untuk menjauhi semua larangan dan menjalankan  semua perintah-Nya dengan sungguh-sungguh, seperti tarawih, tadarus, iktikaf, bersedekah, dan perbuatan perbuatan baik lainnya.

Juga disiplin untuk jujur,  menyatakan yang sebenarnya dalam kondisi apa pun, walaupun orang lain tidak melihat, maka kita tidak mungkin secara diam-diam makan atau minum, karena kita menyadari dengan sepenuh hati akan kehadiran Tuhan dalam hidup kita.

Kedua, latihan untuk mengontrol diri. Puasa secara psikologis berpengaruh positif terhadap emosi dan perilaku. Dengan berpuasa kita dilatih untuk menahan diri dari segala macam godaan, kita dilatih untuk menunda pemuasan dari nafsu makan, nafsu amarah atau emosi dan nafsu-nafsu lainnya. Dengan kemampuan menunda pemuasan dari tuntutan nafsu, maka penurunan ketegangan atau stres dalam diri seseorang bisa terjadi, dan ini sangat bermanfaat bagi nilai-nilai kemanusiaan.

Ketiga, latihan untuk memiliki kepekaan sosial. Ramadan adalah momen yang tepat untuk memupuk potensi kepekaan manusiawi. Berpuasa bukan sekedar menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan suami-istri di siang hari, akan tetapi lebih dari itu, puasa melatih kepekaan kita terhadap kesulitan orang lain.

Baca Juga  Fokus Kepada Diri Sendiri

Ketika kita terbiasa mendapatkan kenikmatan dan kesenangan, maka tatkala kita sanggup berpuasa, menahan diri dari makan dan minum yang mungkin kita tidak sanggup menahannya di bulan-bulan yang lain, maka kita akan mampu merasakan kesulitan orang lain.

Keempat, puasa melatih kita untuk bersabar dan bersyukur. Ramadan adalah bulan yang disediakan Tuhan sebagai wadah sekaligus media untuk kita berlatih tentang kesabaran, baik sabar secara badani maupun sabar secara moral.

Bukankah segala macam minuman dan makanan yang halal dan baik adalah bermanfaat bagi tubuh? Namun, puasa Ramadan menuntut kita agar bersabar sampai tiba waktunya untuk boleh memakannya. Begitu juga dengan larangan-larangan yang lain, tidak boleh kita lakukan sampai terbenam matahari. Inilah yang disebut sabar dalam menaati perintah Tuhan.   

Begitu tiba waktu untuk berbuka, maka apa pun jenis minuman dan makanan yang tersaji, sungguh sangat nikmat untuk dikonsumsi. Di situlah timbul rasa yang pantas untuk bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang berpuasa.

Itulah beberapa jenis latihan yang telah sukses kita ikuti selama satu bulan penuh di bulan Ramadan, dan ternyata selama satu bulan penuh kita bisa hidup disiplin, kita bisa mengontrol diri, kita bisa saling menghargai dan peduli kepada sesama, dan kita bisa bersabar dan bersyukur atas iradah Tuhan.

Intinya, amaliah Ramadan telah sukses mengantarkan kita menjadi seorang hamba yang patuh dan tunduk kepada aturan Tuhan untuk kemanfaatan yang lebih besar, yakni bertahan untuk prihatin demi memperoleh ketahanan dan kekuatan fisik dan psikis.

Semua itu telah kita jalankan maksimal dengan maksud agar sebelas bulan setelah Ramadan, kita dapat menjadikan aktivitas tersebut sebagai kebiasaan baik untuk tetap kita jalankan secara istikamah, kita berusaha menjaga amalan-amalan saat Ramadan untuk tetap kita laksanakan agar dapat meraih kesucian diri, kita wujudkan aksi salat tarawih dalam bentuk silaturahmi, kita abadikan kebiasaan membaca al-Qur’an dalam wujud budaya literasi, dan kita abadikan ketaatan, kepatuhan, dan ketundukan lainnya sebagai wujud keimanan dan ketaatan yang berkelanjutan.

Baca Juga  Berlomba-lomba itu Bukan Bersaing

Itulah pesan penting yang dikandung oleh ayat ke 99 dari surah al-Hijr agar kita melakukan ketaatan secara berkelanjutan, “Wa’bud rabbaka ḥattā ya`tiyakal-yaqīn”. Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).

Kata orang bijak, “menjaga dan merawat jauh lebih berat ketimbang mengusahakannya”. Kata bijak ini seyogyanya berlaku juga bagi pelaku puasa, setelah mengupayakan berlatih maksimal dalam melaksanakan ibadah selama satu bulan, saatnya untuk mempertahankan, merawat, dan manjaganya agar kontinyu sepanjang waktu.

Penting bagi kita untuk menjaga komitmen yang telah kita jalankan selama Ramadan, jangan sampai idulfitri menjadi momen untuk kembali kepada kebiasaan lama sebelum Ramadan. Islam tidak mengajarkan umatnya hanya taat dan patuh kepada Tuhan dan Rasul-Nya di bulan Ramadan saja, setelah itu kembali bebas sebebas-bebasnya.

Ala kulli hal, penting bagi kita untuk tetap ingat dan berkomitmen untuk mempertahankan kebiasaan Ramadan kita selama sebelas bulan ke depan, dan idulfitri dapat kita jadikan sebagai jembatan menuju muslim yang lebih baik, yang mengalami perubahan menjadi pribadi yang taat dan patuh secara berkelanjutan, dan menjadikan idulfitri sebagai kunci yang dapat membuka ruang-ruang batin untuk menemukan jalan panjang menuju keridaan Tuhan.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *