PADA suatu kesempatan, seusai salat Dzuhur berjamaah di Masjid Ulul Albab Sunan Ampel Surabaya, Prof. Dr. H. Ali Aziz, M.Ag., salah seorang dosen program Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, menyampaikan tausiyah singkat tentang golongan yang masuk surga.
Menurut Prof. Ali Aziz, kelak di negeri akhirat, umat manusia terdiri dari dua golongan; golongan putih (golput) dan golongan hitam. Beliau menegaskan bahwa hanya golongan putihlah yang berhak masuk surga, sementara golongan hitam, nanti dipilah-pilah terlebih dahulu, mana yang layak masuk surga dan mana yang harus masuk neraka sesuai dengan amal perbuatannya di dunia.
Kita, saat di dunia ini, tidak ada yang berani mengaku sebagai golongan putih. Yaitu orang-orang yang benar-benar bersih dari noda dan dosa. Sayyidah Aisyah pun, tidak berani menganggap dirinya sebagai golongan putih. Padahal kita tau, beliau adalah istri tercinta baginda Rasulullah saw.
Jika demikian adanya, kira-kira, kita ini termasuk kategori golongan yang mana? Golongan putih kah atau justru golongan hitam.
Dalam hal ini, Prof. Ali Aziz mengungkapkan bahwa kita cocok dilabeli sebagai golongan abu-abu. Kenapa? Ya, karena, kalau dikatakan masuk dalam kategori golongan putih, kita masih banyak berbuat maksiat dan masih banyak dosa, masih belum menjalankan sepenuhnya apa-apa yang diajarkan oleh baginda Rasulullah saw dalam kehidupan kita sehari-hari. Iman kita belum stabil, kadang naik, kadang turun.
Jika dimasukkan golongan hitam, tidak juga demikian, karena kita sudah mengucapkan dua kalimat syahadat dan telah menjalankan sebagian besar aturan Allah Swt dan Rasul-Nya. Oleh karenanya, kita cocoknya disebut golongan Abu-abu. Tinggal bagaimana kita mengkondisikan diri kita agar dapat dikategorikan sebagai golongan putih.
Dalam Qs. al-Anfal: 27, Allah Swt berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓاْ أَمَٰنَٰتِكُمۡ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui).
Ayat di atas menjelaskan bahwa kita dilarang untuk berkhianat kepada Allah dan Rasul dan kita juga dilarang untuk mengkhianati amanat-amanat yang telah dipercayakan kepada kita.
Dalam hal ini, kita bisa mengambil hikmah dari kisah sahabat Nabi yang bernama Abu Lubabah, yang karena kesalahannya, ia mengikatkan dirinya pada tiang masjid Nabawi di Madinah selama 6 hari. Ia tidak mau melepaskan ikatannya, sebelum baginda Nabi Muhammad saw melepaskannya.
Dikisahkan Abu Lubabah bin Abdil Mundzir al-Anshari, dari kabilah al-Aus di Madinah al-Munawwarah. Orang-orang Yahudi Bani Quraidzah adalah sekutu kabilah al-Aus. Ketika Orang-orang Yahudi Bani Quraidzah mengingkari janji kepada Rasulullah saw dalam perang Khandaq dan mereka secara terang-terangan memerangi Rasulullah, Allah Swt memerintahkan Rasul-Nya untuk memerangi Orang-orang Yahudi Bani Quraidzah.
Bergegaslah Nabi Muhammad saw dan kaum muslimin menuju Bani Quraidzah dan mengepung mereka. Setelah pengepungan, mereka pun meminta Rasulullah saw mengirim sekutunya yang bernama Abu Lubabah bin Abdul Mundzir untuk dapat ikut bermusyawarah dengan mereka. Kemudian Rasulullah saw pun mengirim Abu Lubabah kepada mereka.
Ketika Abu Lubabah masuk ke dalam benteng Bani Quraidhah, para lelaki berdiri, kaum wanita dan anak-anak menangis meraung-raung, memohon belas kasihan di hadapan Abu Lubabah. Sebagai manusia, tentu Abu Lubabah tidak bisa menyembunyikan rasa iba dan harunya kepada mereka.
Mereka pun bertanya kepada Abu Lubabah , “Wahai Abu Lubabah, apakah engkau berpendapat bahwa kami akan dijatuhi hukuman oleh Muhammad?”
Abu Lubabah pun mengisyaratkan tangannya di leher, bahwa hukuman Rasulullah saw untuk mereka adalah dibunuh. Maka ia menyuruh mereka agar tidak mau menerimanya.
Menyadari bahwa perbuatannya itu sama dengan mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Maka ia berkata “Demi Allah, semasih kedua kakiku belum beranjak dari tempatnya, hingga aku mengetahui bahwa aku telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya.”
Untuk menebus kesalahannya, Abu Lubabah segera pergi menuju masjid Nabawi, ia mengikat dirinya pada salah satu tiang masjid, seraya berkata, “Aku tidak akan meninggalkan tempatku ini hingga Allah mengampuniku atas apa yang telah aku lakukan.”
Abu Lubabah terus terikat di masjid selama enam hari. Istrinya datang di setiap waktu salat, membuka ikatannya agar dia dapat berwudhu dan salat, kemudian diikat lagi. Bahkan ia tidak makan dan minum sehingga tak sadarkan diri.
Setelah enam hari berlalu, turunlah firman Allah Swt Qs. at-Taubah: 102.
وَءَاخَرُونَ ٱعۡتَرَفُواْ بِذُنُوبِهِمۡ خَلَطُواْ عَمَلٗا صَٰلِحٗا وَءَاخَرَ سَيِّئًا عَسَى ٱللَّهُ أَن يَتُوبَ عَلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ
(Dan (ada pula) orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang).
Ayat ini turun di penghujung malam, berkenaan dengan ampunan Allah Swt untuk Abu Lubabah. Ketika itu, Rasulullah saw sedang berada di rumah sayyidah Ummu Salamah ra, lalu Ummu Salamah meminta izin pada baginda Rasulullah saw, untuk memberitahukan Abu Lubabah bahwa permohonan taubatnya telah diterima oleh Allah swt.
Nabi pun mengizinkan Ummu Salamah, keluar untuk memberi kabar gembira itu. Setelah itu, datanglah kaum muslimin di masjid Nabawi hendak membukakan ikatan yang melilit seluruh tubuh Abu Lubabah, akan tetapi Abu Lubabah tidak berkenan.
Abu Lubabah berkata, “Tidak ada seorang pun yang boleh membuka ikatanku ini kecuali Rasulullah saw dan ketika Rasulullah saw keluar untuk melaksanakan salat subuh, beliau pun membukakan ikatan yang melilit Abu Lubabah.
Begitulah sahabat Abu Lubabah memperlakukan dirinya ketika ia jatuh dalam kehinaan, mengkhianati amanah yang diberikan oleh Rasulullah saw Ia benar-benar menyesal atas perbuatan salahnya dan menginginkan agar kesalahannya diampuni oleh Allah dan Rasulnya.
Ruh dari kisah ini mengajarkan kita, ketika kita melakukan kesalahan, kita segera menyadari kesalahan itu dengan bertaubat, jangan malah didiamkan begitu lama, menumpuk dengan kesalahan-kesalahan baru berikutnya, lama kelamaan terlupakan.
Kita harus mencontoh apa yang dilakukan oleh sahabat Abu Lubabah dengan menyegerakan diri bertaubat. Tentu saja bukan dengan mengikatkan diri pada tembok masjid, tapi spirit untuk segera melakukan pembersihan diri dari noda dan dosa dengan jalan bertaubat, itulah yang perlu kita teladani.[]
Ilustrasi: Islampos.com
Ketua Prodi Hukum Ekonomi Syariah UIN Mataram dan Pengkaji Islam dan Budaya Lokal.