Memastikan Menjadi Manusia “Datar”

UKURAN kedewasaan berpikir dan beragama dapat dilihat dari sikap hidup yang kita jalani, terutama sikap terhadap keadaan, kondisi, kejadian, dan situasi yang sedang menimpa.

Umumnya sikap yang diperlihatkan oleh seseorang merupakan pengaruh dari sesuatu yang melingkunginya. Banyak kejadian yang bisa kita rujuk untuk menegaskan kebenaran statement ini, contoh, betapa banyak orang-orang yang depresi akibat kondisi atau keadaan yang dialami dalam hidupnya, yang tidak sesuai  dengan ekspektasi yang dia bangun dalam angan dan pikirannya. Banyak pula orang-orang yang stres akibat dari kegagalan memperoleh apa yang dikhayalkan.

Sebagai orang yang dewasa dalam berpikir dan beragama, pastinya telah memahami bagaimana syariat memberikan tuntunan untuk condong memilih sikap ideal (Baca sikap “datar”) terhadap segala kondisi dan situasi yang menerpa.

Penting untuk kita baca dan pahami apa yang Tuhan firmankan didalam al-Qur’an surah al Baqarah ayat 286, “Lā yukallifullāhu nafsan illā wus’ahā”. Terjemahannya: Tuhan tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

Ayat di atas Tuhan pilih untuk menjelaskan kepada siapa pun, betapa Tuhan telah mempersiapkan mental hamba-Nya untuk menakar seberat dan sekeras apa pun situasi dan keadaan yang menerpa, pasti di bawah atau minimal sepadan dengan kemampuan yang telah Tuhan takdirkan.

Sebagai seorang hamba yang dipersiapkan sesuai maksud ayat tersebut, hendaknya kita bisa mengelola diri, mengelola pikiran, mengelola hati, dan mengelola emosi di dalam menghadapi apa saja dalam hidup ini, entah mengalami kegembiraan atau kesusahan, keberhasilan atau kegagalan, dan kelebihan atau kekurangan.

Yang jelas dari dalam diri kita harus muncul kemampuan yang yakin dalam bentuk respons bahwa seluruh keadaan dan kondisi yang menimpa tak mungkin terjadi dengan tiba-tiba dan secara kebetulan.

Jika respons itu ada, maka akan timbul aura di wajah kita dengan menampilkan performance yang “datar” dalam menghadapi keberhasilan atau kegagalan, kesenangan atau kesusahan, kebahagiaan atau penderitaan, dan fitnah atau pujian.

Baca Juga  Tak Ada Ruangan yang Kedap

Demikian pula akan keluar dari rongga mulut suatu perkataan yang “datar”-saat memberikan respon tatkala amarahnya diusik, ketika kegembiraan atau kesusahan berpihak kepadanya, atau ketika keadaan memintanya untuk bersuka cita maupun berduka cita.

Tidak hanya raut wajah dan omongan yang “datar”, namun sikap dan perilaku juga “datar” tatkala meraih capaian ataupun gagal mencapainya, tatkala meraih keuntungan atau kerugian dari usahanya, dan tatkala meraih kedamaian atau merasakan penderitaan.

Demikianlah seharusnya kita bersikap, bahwa “datar” itu kita jadikan sebagai penciri dari kedewasaan berpikir dan beragama, “datar” dalam segala kondisi, “datar” dalam semua situasi, dan “datar” dalam susasana yang bagaimanapun.

Jangan pernah berubah dalam kondisi yang berbeda, jangan pernah berbeda dalam situasi yang berubah, dan jangan pernah berubah dan berbeda dalam suasana dan keadaan yang berganti.

Komitmen untuk tetap “datar” dalam segala hal hendaknya menjadi pilihan hidup untuk mempertegas bahwa diri ini telah dewasa, entah pada wajah, sikap, perilaku, maupun tutur kata.

Bercerminlah pada ayat Tuhan yang menyiratkan anjuran dan perintah untuk tetap menjadi manusia yang “datar” dalam semua situasi, kondisi, keadaan, dan suasana yang berbeda, apakah menggembirakan atau pun menyedihkan. 

Likai lā ta`sau ‘alā mā fātakum wa lā tafraḥụ bimā ātākum”. Terjemahannya: (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. (QS. al Hadid ayat 23).

Yakinlah bahwa siapa saja di antara kita yang mampu untuk memberikan respons yang “datar” dalam seluruh elemen kehidupan yang dijalaninya, dalam seluruh sepak terjang yang dilakoni, dan dalam seluruh rasa dan asa yang diterima, maka Tuhan akan menjamin ketenangan, kedamaian, ketenteraman, dan keberkahan dalam hidup dan kehidupannya.

Baca Juga  "Harapan" sebagai Anugerah

Sebagai akhir dari tulisan “Hikmah” ini, mari kita renungkan kisah seorang yang memilih “datar” dalam hidup yang dijalaninya. Dikisahkan seorang bernama Urwah Bin Zubair, seorang ulama dan menjadi fuqaha Madinah. Saat hendak pergi menemui Walid bin Abdul Malik untuk suatu keperluan, beliau mendapati musibah, anak kesayangannya meninggal dunia karena terinjak binatang ternak dan  meninggal dunia seketika. Dalam keadaan demikian, beliau tetap melanjutkan perjalanannya, tidak ada rasa kecewa bahkan tetap memuji kebesaran Tuhan. Beliau meyakini jika Tuhan memberikan ujian, pasti memberikan maaf, juga ketika Tuhan mengambil sesuatu darinya, pasti akan memberi pengganti yang lebih baik.

Setelah kejadian tersebut, beliau mendapat ujian lagi. Kakinya tertimpa penyakit kudis yang sangat parah. Tabib pada waktu itu sudah angkat tangan karena penyakitnya sudah kronis, hingga kemudian diambillah keputusan untuk mengamputasi kaki Urwah Bin Zubair. Eksekusi dilakukan dengan mendatangkan para jagal. Saat itu belum ada ilmu anestesi, sehingga beliau disarankan untuk minum khamr (minuman keras) agar tidak merasa sakit saat diamputasi, beliau menjawab, “Aku tidak akan memanfaatkan sesuatu yang diharamkan hanya karena ingin sembuh”.

Di sela-sela proses pemotongan kakinya tersebut, beliau tidak henti-hentinya mengucapkan kalimat tahlil dan takbir. Setelah pemotongan kakinya selesai dilakukan, beliau mengatakan:“Demi Allah selama 40 tahun saya belum pernah melangkahkan kakiku ke tempat yang  haram dan saya bersyukur bisa mengembalikan kakiku kepada Rabbku dalam keadaan suci”. []

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *