Autoetnografi: Pencarian Metodologis bagi Studi Hukum Keluarga Islam Kontemporer (1)

Autoetnografi sudah banyak dipakai pada penelitian di bidang-bidang lain, tetapi masih jarang dipakai pada hukum Islam termasuk hukum keluarga. Sejauh ini, untuk konteks Indonesia, baru tulisan Arskal Salim (2020) yang menggunakan metode ini untuk mengungkap perjalanannya sebagai pembelajar sekaligus ahli hukum Islam.

Pada artikelnya yang berjudul “From Ushul Fiqh to Legal Pluralism: An Autoethnography of Islamic Legal Thought” Salim memperkenalkan autoethnography sebagai metode untuk mempelajari hukum Islam yang berdasarkan paradigma post-modernis.

Sebagai bagian dari post-positivis, paradigma ini mengakui pengetahuan yang bersumber dari pengalaman subyektif sama ilmiahnya dengan pengetahuan yang terbentuk dari angka yang obyektif (Salim, 2020, p. 82). Bagi dia, tulisan autoetnografi bersifat natural, profound, dan akademik karena memiliki dual karakter yang seimbang yaitu “personal sekaligus intelektual, evokatif dan analitis, deskriptif juga teoretis” (Salim, 2020, p. 104).

Tulisan ini bertujuan untuk melihat celah yang memungkinkan autoetnografi menjadi alternatif metode di dalam studi hukum keluarga Islam khususnya pada dua aspek yang saling berhubungan yaitu sebagai sumber pengetahuan bagi pengembangan epistemologi studi keluarga dan sebagai inspirasi bagi pembaruan hukum keluarga Islam.

Istilah autoetnografi pertama kali dikenalkan pada tahun 1979 oleh David Hayano yang berargumen bahwa pengalaman adalah sumber pengetahuan (Hayano, 1979). Uniknya, metode ini menjadikan orang yang sama sebagai peneliti sekaligus sebagai pihak yang diteliti. Jadi autoetnografi adalah metode yang menggunakan pengalaman pribadi peneliti sebagai data untuk menjelaskan atau menginterpretasikan praktik, kepercayaan, nilai, dan teks budaya tempat dia hidup (Ellis, 2004; Maréchal, 2010).

Metode ini berpusat pada “reflexivity” di dalam mencari makna dari pengalaman, pengetahauan, dan karya yang dimiliki oleh seorang individu dalam kehidupan sosialnya (Maréchal, 2010). Paradigma post-positivis melahirkan pendekatan kualitatif yang bersifat interpretative di dalam kerja penelitian.

Paradigma ini sebagai kritik terhadap tidak memadainya pendekatan kuantitatif yang melihat pengetahuan semata-mata bersifat obyektif dan bersandar pada kepastian dan angka. Paradigma ini berkembang sedemikian rupa dan masuk juga dalam studi tentang agama dan masyarakat beragama.

Sebagai pengalaman yang bersifat personal, pengalaman beragama adalah sumber pengetahuan yang tidak pernah pupus dan tidak terbatas (Bowen, 1998, 2012). Dalil agama (resources) bersifat statis, seragam dan terbatas sedangkan praktik agama (practices) berlangsung terus menerus, beragam, dan tidak terbatas.

Oleh karenanya, mempelajari agama melalui pengalaman individu akan memberikan nuansa dan wawasan yang lebih luas bagi pemahaman yang lebih lengkap terkait agama dan masyarakat beragama.

Pengalaman sebagai Sumber Pengetahuan

Ingat tulisan berjudul “Layang Putus?” Tulisan serial yang awalnya hanya di-share terbatas lewat media sosial penulis itu viral di tahun 2021 dan bahkan kemudian diangkat menjadi film. Netizen gesit mencari informasi terkait siapa dan apa di balik tulisan itu. Ternyata kisah yang disampaikan adalah pengalaman pribadi penulis. Seorang perempuan yang berprofesi sebagai dokter hewan yang diselingkuhi oleh suaminya padahal mereka sudah dikaruniai empat anak yang lucu-lucu.

Di Indonesia, kisah konflik keluarga selalu menarik perhatian publik, lebih-lebih lagi jika dilakukan oleh publik figur dan selebritis. Sebut saja kisah keluarga AA Gym, DEP (seorang motivator), DAS (Aktivis sosial), Virgoun dan Inara, Ari Wibowo dan Inge Nugraha dan banyak lagi.

Bukan semata-mata untuk gosip, tetapi banyak pelajaran yang diambil dari kisah-kisah itu. Misalnya kekuatan seorang istri atau suami menghadapi konflik, KDRT, perpisahan, dan perselingkuhan. Kisah ini semua menjadi sasaran empuk industrri podcast, infotaiment, Tik-Tok dan YouTube untuk meningkatkan viewers mereka.

Di samping konflik, ada beberapa podcast yang juga khusus atau sering menjadikan pengalaman keluarga selebritis sebagai konten, misalnya podcast pasangan Ussy-Andika, The Sungkar family, dan juga comedian UUT-istrinya. podcast mereka lumayan populer walaupun tidak seviral kisah antagonis sebagaimana yang disebut sebelumnya. Namun, fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat punya level ketertarikan yang tinggi bagi kehidupan privasi keluarga, yang positif sebagai teladan, yang negatif untuk diambil pelajaran.

Bagi akademisi hukum keluarga Islam, kisah keluarga adalah sumber bahan ajar yang praktis sekaligus menarik. Banyak topik hukum keluarga yang bisa dikaitkan dengan kisah mereka baik ketika berbicara pasal-pasal dalam Kompilasi Hukum Islam, Psikologi Keluarga, Fikih Perempuan, Sosiologi Keluarga maupun Antropologi Keluarga.

Misalnya, ketika terjadi pernikahan di bawah umur yang dilakukan oleh Alfin, putera salah seorang da’i kondang yang kemudian berakhir cerai. Kisah ini menjadi bahan untuk membicarakan topik “batasan minimal usia pernikahan”. Kisah syaikh Puji yang menikahi anak di bawah umur juga bisa menjadi bahan perbandingan.

Kisah publik figur lainnya misalnya Aceng Fikri (Bupati Garut, Jawa Barat kala itu) dan Fanny
Octaria yang menikah secara sirri dan bercerai pada hari keempat pernikahannya juga menjadi
inspirasi bagi ide penelitian.

Buku yang ditulis oleh Latif Fauzi (2023) berjudul “Aligning Religious Law and State Law: Negotiating Legal Muslim Marriage in Pasuruan, East Java” berangkat dari kisah ini. Sebagaimana yang Fauzi jelaskan pada bagian pengantar bukunya itu.

Kisah yang viral di tahun 2011 itu juga menjadi sumber kegelisahan akademik saya, sehingga terinsipirasi meneliti tentang pembayaran perkawinan sebagai bahan disertasi. Hal ini dipicu oleh statement Fikri, “saya telah membayar mahar yang mahal dan paling mahal bagi perempuan Garut, jadi jika saya merasa dia tidak cocok, saya bisa mengembalikan dia ke keluarganya, walaupun saya tidak akan meminta kembali mahar itu”.

Pengalaman-pengalaman keluarga juga bisa menginisiasi gerakan pengabdian dosen. Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa keluarga menjadi penentu bagi baik-buruknya masyarakat. Kesadaran ini kemudian menjadikan keluarga sebagai target untuk terlaksananya sosialisasi, pendidikan, dan peningkatan kesadaran bagi banyak gerakan sosial.

Jadi begitu jelas bahwa kehidupan keluarga menjadi sumber inspirasi sekaligus target aksi yang
selalu relevan bagi pengembangan ilmu pengetahuan maupun rekayasa sosial yang masih terus
diupayakan.[]

Ilustrasi: Riwanua

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *