PERNAHKAH mendengar atau paling tidak pernah membaca kisah kambing gunung tatkala dikejar oleh hewan pemangsa, baik singa, macan, beruang, ataupun haina? Dia berusaha menyelamatkan dirinya bukan dengan cara bertarung dengan hewan pemangsa, namun dia mengandalkan kemampuan yang dimilikinya yang merupakan kekuatan atau senjata yang ditakdirkan oleh Tuhan, dan yang pasti kemampuan dan kelebihan yang berbeda dengan hewan pemangsa.
Ternyata si kambing gunung tidak berusaha meniru atau menyamai kekuatan yang dimiliki oleh hewan pemangsa, namun dia berusaha memaksimalkan kemampuan dan senjata yang Tuhan takdirkan kepadanya. Tuhan merancang kuku kambing gunung dengan kekuatan yang dapat mencengkram bebatuan yang bertebing dan cadas sekalipun.
Begitu hewan pemangsa menghampirinya, maka dia berusaha untuk mendaki atau menuruni tebing-tebing bebatuan menuju ke tempat-tempat yang sulit untuk dijangkau oleh hewan apa pun, bahkan dia sengaja berada di tepian yang rumit dan ekstrim agar hewan pemangsa tidak dapat menggapai tempat tersebut.
Si kambing gunung memahami betul kemampuan yang dimilikinya dan berusaha memaksimalkan kemampuan tersebut, berupa kuku yang kuat dan sanggup bertahan lengket pada lempengan tebing gunung bebatuan yang cadas.
Dengan memaksimalkan kemampuan kukunya mencengkram bebatuan dalam upaya mengamankan habitatnya, tidak sedikit dari hewan-hewan pemangsa yang berusaha mendekatinya malah mengalami cedera kaki, patah, atau bahkan tergelincir jatuh hingga meregang nyawa.
Apa yang dilakukan oleh kambing gunung di atas dapat kita jadikan sebagai iktibar dalam mengelola diri sendiri di dalam menaklukkan takdir kehidupan yang sedang kita jalani, bahwa masing-masing diri telah Tuhan bekali suatu kemampuan, bakat, dan keterampilan yang akan menjadikan kita survive di atas planet bumi sebagai hamba yang ditakdirkan untuk mengelola, menjaga, dan memanfaatkan semesta alam.
Kita terkadang sering minder, sering iri, dan bahkan sering tidak percaya diri apabila melihat dan membanding diri dengan orang lain. Sering sekali yang terbayang dari diri sendiri adalah kelemahan dan kekurangan dibanding orang lain. Seakan-akan kita merasa tidak pantas untuk melangkah maju, merasa tidak cocok untuk duduk setara, dan merasa tidak sebanding untuk meraih sukses.
Dalam asa yang demikian itulah, sesungguhnya kita tidak menyadari bahwa kita telah luput dari pemahaman terhadap diri sendiri, luput dari memahami potensi diri, luput dari memahami kekuatan diri, luput dari menghargai kemampuan diri, dan bahkan luput dari mengembangkan daya yang Tuhan berikan.
Mari kita perhatikan bagaimana Tuhan menggelitik kealpaan dan keraguan kita terhadap kemampuan yang kita miliki dengan firman-Nya di dalam surah Adz-Dzariyat ayat 20-21: “Wa fil-arḍi āyātul lil-mụqinīn. Wa fī anfusikum, a fa lā tubṣirụn”. Terjemahannya: Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Tuhan) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan?
Dengan membaca dan menelaah ayat di atas, seharusnya kita malu, bahwa kita sendiri sering abai dari memahami kemampuan dan kekuatan yang Tuhan telah berikan kepada kita, sehingga kita masih merasa tidak bisa meraih capaian seperti orang lain capai.
Iktibar yang Tuhan berikan melalui ayat kauniyah dalam ikhtiar yang dilakukan oleh kambing gunung pada paragraf awal di atas, dikuatkan dengan penegasan Tuhan di surat adz-Dzariyat ayat 20-21, hendaknya kita segera menyadari bahwa dalam kehidupan ini, kita tidak seharusnya membanding diri dengan kemampuan yang dimiliki oleh orang lain, yang menyebabkan kemampuan yang kita miliki menjadi lemah tak berdaya.
Belajarlah dari kambing gunung yang tak perlu berhadapan langsung untuk bertarung dengan hewan pemangsa jenis apa pun, dia cukup menggunakan kemampuan yang Tuhan berikan kepadanya untuk berpindah ke tempat yang terjal atau mendaki ke tempat yang lebih tinggi dan curam, hingga para hewan pemangsa tak sanggup lagi mengejar.
Itulah perumpamaan paling bijaksana yang dapat kita jadikan pembelajaran yang cukup berharga untuk membuat kita merenung tentang diri secara mendalam, bahwa masing-masing diri telah Tuhan berikan senjata untuk survive dalam kancah kehidupan yang sarat dengan persaingan, namun kita terkadang abai.
Cobalah masing-masing diri berusaha untuk tahu tentang potensi dan kemampuan diri, tanpa harus membandingnya dengan kemampuan yang dimiliki oleh orang lain, lalu kita survive dengan kemampuan itu—tentunya kita pasti berbeda dan harus berbeda, karena Tuhan memang mentakdirkan kemampuan yang berbeda-beda pada masing-masing hamba-Nya (bahasa Tuhan: Lita’arafu; masing-masing diri memiliki distingsi agar dikenal).
Sebagai catatan akhir, penting bagi kita untuk mengenal kemampuan diri kita sendiri, dan tetaplah menjadi diri sendiri secara konsisten, karena Tuhan mentakdirkan kita lahir di semesta ini sebagai diri sendiri, dan nanti akan dipanggil menghadap-Nya pun sesuai diri kita sendiri. Maka jangan pernah menjadi orang lain, jangan pernah seperti orang lain, dan jangan pernah tertampak orang lain.
Bila konsisten menjadi diri sendiri dan berkembang sesuai kemampuan yang dimiliki, maka menjalani kehidupan ini tidak akan pernah lelah, tidak lelah merekayasa, tidak lelah memanipulasi, tidak lelah mengada-ada, dan pada akhirnya tidak perlu lelah untuk harus berbohong.[]
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram
Alhamdulillah wa syukurillah hilladzi bini’matihi tatimmsshalihat ya arabb…
Harus terus bersyukur atas segala yg ada dalam diri, fisik jasmani maupun rohani……tanpa harus berpura2,merekayasa keadaan apalagi smpai berbohong..semoga Allah jauhkan naudzubillahi min dzalik 🤲
Salam ta’dzim selalu ayahanda,,semoga ttp dalam keadaan sehat wal’afiat..aamiin ya Rabbal aalamiin 🤲🤲🤍