HARI ini, penulis tercengang saat membaca sebuah artikel yang ditulis Ferinda K. Fachri di laman Hukum Online (24/7/2023) yang memuat bahwa Pengadilan di Kanada menerima emoji jempol keatas (thumb up) sebagai tanda persetujuan perjanjian dan sah di mata hukum.
Putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan Kanada tersebut dinilai oleh banyak ahli hukum sebagai putusan yang progresif dan visioner, mengingat cara berkomunikasi manusia dewasa ini lebih banyak dilakukan dalam jaringan (daring). Hakim dituntut mampu melihat realitas yang terjadi di masyarakat dan mereduksinya ke dalam putusan-putusan mereka.
Selanjutnya sekitar tahun 2019, viral di media sosial potongan video orang tua yang bernama Coella sedang disidang di hadapan majelis hakim Amerika Serikat. Coella didakwa telah melanggar batas kecepatan mengemudi.
Menjawab dakwaan tersebut, Coella membantah bahwa dirinya mengemudi secepat yang didakwakan, dirinya hanya terburu-buru karena harus mengantarkan anaknya cuci darah dua kali dalam seminggu.
Mendengar jawaban tersebut, Frank Caprio yang bertindak sebagai ketua sidang langsung memutuskan bahwa Coella terbebas dari segala dakwaan dan tidak dibebani untuk membayar denda sepeser pun.
Apa yang dapat diambil dari dua gambaran penegakkan hukum di atas? Tentu saja elastisitas majelis hakim di Kanada dan Amerika Serikat yang dinilai mampu menghadirkan putusan yang sesuai dengan perubahan zaman dan keadaan manusia yang sedang berhadapan dengan masalah hukum. Lalu dapatkah penegakkan hukum yang super “elastis” layaknya pengadilan Kanada dan Amerika diberlakukan di Indonesia?
Perlu diketahui bahwa, sistem hukum yang dianut oleh Indonesia sangat bertolak belakang dengan sistem hukum yang dianut oleh Kanada maupun Amerika. Indonesia yang merupakan negara bekas jajahan Belanda menganut sistem Eropa Kontinental (Civil Law System), yaitu sistem hukum yang diberlakukan sejak Kekaisaran Romawi tepatnya pemerintahan Kaisar Justinianus pada abad ke-VI sebelum masehi.
Ciri khas dari sistem Eropa Kontinental ini adalah ketentuan hukum dikodifikasikan secara sistematis oleh parlemen dalam sebuah negara, dalam konteks Indonesia, ketentuan hukum ini berupa Undang-Undang yang disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sedangkan sistem hukum yang dianut di Kanada dan Amerika yaitu sistem Anglo Saxon (Common Law System) sebuah sistem hukum yang pertama kali eksis di daratan Inggris pada abad ke 16 lalu dibawa ke benua Amerika melalui penjajahan.
Ciri khas dari sistem hukum ini adalah tidak dikenal kodifikasi peraturan hukum oleh parlemen, melainkan hukum dibuat oleh hakim itu sendiri atau mengikuti putusan-putusan hakim terdahulu (yurisprudensi). Sederhananya, sistem civil law yang dianut di Indonesia mengenal pembuatan Undang-Undang dan perangkatnya, sedangkan sistem common law tidak mengenal istilah tersebut.
Bila melihat perbedaan dua sistem yang dianut, tentu kita akan berkesimpulan bahwa Indonesia tidak mungkin menerapkan penegakkan hukum yang elastis, fleksibel, dan mampu menyesuaikan dengan realitas masyarakat karena sistem hukum di Indonesia terikat dengan Undang-Undang.
Sebagai contoh, pengadilan di Indonesia pernah menjatuhkan vonis terhadap seorang nenek renta bernama Asyani yang mencuri kayu milik sebuah perusahaan. Penjatuhan vonis terhadap nenek Asyani ini dinilai tidak mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan bukti kakunya penegakkan hukum di Indonesia yang hanya berkutat pada normativitas Undang-Undang Materil (KUHP) dan Undang-Undang Formil (KUHAP).
Vonis hakim terhadap nenek renta Asyani mungkin dapat dikatakan telah “sempurna” menurut KUHP dan KUHAP, namun yang perlu digarisbawahi adalah putusan tersebut “cacat” secara kemanusiaan dan hilangnya empati terhadap seorang nenek yang mencuri kayu bukan untuk menjadi kaya raya, melainkan hanya untuk menyambung hidup.
Hal-hal semacam inilah yang menyebabkan masyarakat menjadi antipati dan takut ketika berhadapan dengan hukum, selama karir penulis sebagai paralegal di kantor hukum, banyak orang yang menganggap bahwa penegakkan hukum adalah sebuah lembah dalam nan menakutkan yang penuh duri-duri tajam di dalamnya.
Hal inilah yang menjadi pekerjaan rumah seluruh sarjana hukum yang berkiprah di dunia penegakkan hukum untuk dapat menghadirkan suasana penegakkan hukum yang elastis, humanis, dan mengedepankan hati nurani.
Meskipun Indonesia menganut sistem hukum civil law atau Eropa Kontinental, hal ini sebetulnya tidak menutup kemungkinan hakim untuk bertindak luwes dalam menentukan putusan-putusannya. Satjipto Rahardjo seringkali mengkritik keberadaan polisi, hakim, jaksa dan advokat yang hanya berperan sebagai pembaca Undang-Undang.
Hakim dan segenap penegak hukum lainnya harus mampu berperan sebagai “interpreter” Undang-Undang dan mampu menerapkannya dalam putusan, tentu saja dengan mempertimbangkan gejala-gejala perubahan yang terjadi di masyarakat dan menghadirkan hati nurani dalam setiap putusan.
Elastisitas penegakkan hukum juga pernah dicontohkan oleh sebuah putusan yang dikeluarkan oleh Khalifah Umar bin Khattab, terhadap seorang pencuri yang mencuri bahan makanan ketika Madinah dilanda musim paceklik. Sebagaimana diketahui sesuai perintah al-Quran setiap pencuri dikenai hukuman potong tangan, namun karena pencuri melakukan aksinya karena kelaparan, Khalifah Umar mengurungkan hukuman tersebut.
Lahirnya banyak sarjana hukum di Indonesia agaknya harus banyak belajar dari kisah Khalifah Umar, Pengadilan Kanada dan Hakim Frank Caprio yang telah dikemukakan di atas. Para sarjana hukum dan semua penegak hukum umumnya hari ini tidak boleh terjebak pada kaku dan sempitnya redaksi Undang-Undang.
Logikanya, Undang-Undang tidak setiap tahun diamandemen, tapi manusia setiap detik selalu berubah, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk terus mengkontekstualisasikan redaksi Undang-Undang dengan gejala-gejala perubahan, tentu dengan mengedepankan hati nurani.
Sebagai penutup, tulisan ini penulis mengutip sebuah adagium berbahasa Belanda “het recht hink achter de feiten aan” atau hukum senantiasa tertatih-tatih mengejar peristiwa yang terjadi di masyarakat.[]
Ilustrasi: Beritasatu.com
Pengagum keadilan asal Cirebon yang sekarang lagi kuliah di UIN Mataram