ADA satu kisah dari Rasulullah saw tentang salah seorang abid atau ahli ibadah yang hidup hingga berusia lebih dari 500 tahun. Ia menghabiskan hidupnya dengan beribadah hingga sesaat sebelum meninggal, abid tersebut berdoa kepada Tuhan agar diwafatkan dalam keadaan tengah bersujud.
Rasulullah saw mendengar kisah tentang seorang abid ini dari malaikat Jibril seraya beliau bersabda: baru saja Jibril meninggalkanku, dia berkata, demi zat yang mengutusmu dengan kebenaran, sesungguhnya Tuhan memiliki seorang hamba yang telah malaksanakan ibadah selama 500 tahun di puncak gunung di tengah lautan.
Tempat tinggal dari seorang abid itu di sebuah gunung di tengah laut, dan gunung tersebut memiliki mata air yang memancarkan air bening untuk digunakan minum oleh sang abid. Sementara untuk keperluan makannya, sang abid mengandalkan pohon delima yang setiap malam memberinya satu buah delima yang matang.
Keseharian hidup seorang abid hanya diisi dengan beribadah. Kala sore menjelang malam, abid tersebut turun dari gunung dan mengambil air wudhu. Setelahnya, ia mengambil buah delima untuk dimakan dan melaksanakan salat. Dalam salatnya yang mendekati waktu ajalnya, sang abid tersebut berdoa agar saat ajal menjemputnya, dirinya tengah bersujud kepada Tuhan.
Ia juga memohon agar jasadnya utuh tetap dalam keadaan sujud hingga ia dibangkitkan kembali pada hari kiamat nanti. Dan Tuhan mengabulkan permohonannya.
Berdasarkan kisah yang disampaikan oleh malaikat Jibril, bahwa tatkala di pengadilan Tuhan, Tuhan berfirman, Masukkanlah hamba-Ku ini ke surga atas berkat rahmat-Ku. Sang abid itu memohon, Ya Rabbi, masukkanlah hamba ke surga atas berkat amal perbuatanku selama 500 tahun.
Tuhan kembali berfirman, Masukkanlah hamba-Ku ini ke dalam surga atas berkat rahmat-Ku. Abid tersebut bemohon lagi, Ya Rabbi, masukkanlah hamba ke surga atas berkat amal perbuatanku. Sang abid mengulang-ulang permohonannya sebanyak tiga kali.
Hingga Tuhan lalu memerintahkan malaikat, Timbanglah pada hamba-Ku ini antara nikmat yang telah Kuberikan dengan amal perbuatannya. Maka setelah ditimbang, didapati bahwa nikmat penglihatan dari si abid beratnya melebihi nilai ibadah yang dilakukan selama 500 tahun. Belum lagi nikmat-nikmat dari anggota tubuh lainnya.
Apa yang dituturkan dalam kisah tersebut hendaknya menjadi iktibar dan pembelajaran berharga bagi kita, bahwa yang perlu kita perjuangkan dalam kehidupan yang kita jalani di muka bumi ini adalah bagaimana merebut keberpihakan Tuhan berupa rahmat dan kasih sayangnya atas seluruh perilaku ibadah yang kita jalankan.
Bagaimana caranya? Tidak ada jalan dan cara lain kecuali memenangkan rasa ketundukan dan ketaatan kepada-Nya tatkala kita berada pada kondisi di mana kita bisa saja mengingkari titah-Nya.
Tatkala kita memiliki kesempatan untuk tidak melaksanakan perintah Tuhan berupa salat atau ibadah lain misalnya, di mana kita memiliki kesempatan untuk santai-santai tanpa ada aktivitas yang mengganggu, ingin manikmati waktu senggang untuk melakukan apa saja terkait dengan kesenangan dan rasa bebas dari segala macam tuntutan.
Akan tetapi, kita lebih memilih menunaikan perintah Tuhan untuk salat dalam lima waktu sehari semalam daripada bersantai-santai dan bersenang-senang. Sikap yang demikian itu berarti telah menjatuhkan pilihan kepada meraih kasih sayang Tuhan.
Dikala kita bisa saja menikmati tidur malam yang pulas dan panjang sepanjang malam tanpa ada yang mengganggu, ingin beristirahat dengan nyaman setelah seharian melakukan aktivitas, ingin mimpi yang indah sebagai buah dari lelapnya tidur.
Akan tetapi, kita lebih memilih untuk bangun salat malam di sepertiga malam, memilih berdialog dengan Tuhan di tengah hitamnya malam, daripada memilih tidur. Sikap yang demikian itu berarti telah menjatuhkan pilihan kepada meraih kasih sayang Tuhan.
Di saat kita memiliki kesempatan untuk dapat membeli apa saja yang kita butuhkan, membeli segala macam keperluan hidup, memuaskan diri dengan berbelanja apa saja, membayar apa yang menjadi keinginan yang belum terpenuhi.
Akan tetapi, kita lebih memilih untuk bersedekah di jalan Tuhan, memilih untuk memberi kepada saudara yang membutuhkan, dan bahkan rela untuk menunda keinginan demi membantu saudara yang membutuhkan. Sikap yang demikian itu berarti telah menjatuhkan pilihan kepada meraih kasih sayang Tuhan.
Pada saat kita bisa menjajankan barang dagangan di tengah-tengah keramaian pembeli, dapat meraup keuntungan yang banyak oleh karena para pembeli sedang berjubel-jubel membeli barang dagangan kita. Akan tetapi, kita lebih memilih meninggalkan barang dan pembeli demi menyongsong panggilan azan. Sikap yang demikian itu berarti telah menjatuhkan pilihan kepada meraih kasih sayang Tuhan.
Tatkala kita lelah di perjalanan, lalu bisa saja memilih untuk rehat dalam waktu yang panjang untuk melepas rasa capek dan kantuk, bisa juga memilih untuk bebas dari kewajiban yang dibebankan selama ini, bisa menikmati aktivitas perjalanan yang menggembirakan bercampur lelah.
Akan tetapi, kita lebih memilih untuk tetap mendatangi air wudhu dan berdiri tegap melaksanakan kewajiban salat yang ditanggungkan. Sikap yang demikian itu berarti telah menjatuhkan pilihan kepada meraih kasih sayang Tuhan.
Tatkala berada di satu ruangan kedap, kita bisa saja melakukan transaksi-transaksi tidak benar atau bahkan melakukan maksiat, atau paling ringan melakukan kesepakatan-kesepakatan dusta dan manipulatif. Akan tetapi, kita lebih memilih untuk jujur dan mengedepankan komitmen bahwa Tuhan tak mengenal ruangan kedap. Sikap yang demikian itu berarti telah menjatuhkan pilihan kepada meraih kasih sayang Tuhan.
Demikianlah ketika kita lebih memilih untuk melakukan apa yang dikehendaki-Nya (beribadah misalnya) dalam situasi dan kondisi kita bisa melakukan apa saja yang tidak dikehendaki-Nya—semisal bermaksiat atau berbuat zalim, maka Tuhan akan memberikan cinta, kasih sayang, dan rahmat yang tiada taranya.
Perhatikan ayat Tuhan di dalam Surah al Baqarah ayat 165 terkait dengan apa yang akan disaksikan nanti di yaumil akhir oleh orang-orang yang memilih berbuat zalim ketimbang melakukan apa yang dikendaki Tuhan.
“wallażīna āmanū asyaddu ḥubbal lillāhi walau yarallażīna ẓalamū iż yaraunal-‘ażāba annal-quwwata lillāhi jamī’aw wa annallāha syadīdul-‘ażāb”. Terjemahannya: Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).
Sungguh Tuhan akan memberikan keberpihakan-Nya atas pilihan kita dalam melakukan apa yang dikendaki-Nya. Dalam hadis qudsi, Tuhan berfirman, “Apakah engkau akan mentaati-Ku atau tidak? Padahal engkau bisa bermaksiat, akan tetapi engkau mampu mengalahkan kebebasanmu dengan memilih melakukan kehendak-Ku, maka Aku akan mencintaimu lebih dari cintamu kepada dirimu sendiri”.[]
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram