KONKLUSI khalayak pada sesuatu yang belum diketahui cenderung berpijak pada asumsi yang diciptakan oleh pihak yang berkuasa mengendalikan pandangan masyarakat. Pijakan yang pertama kali didengar akan menjadi dasar dalam menata dan menginterpretasikan suatu hal dengan realita yang belum tentu kebenarannya.
Potret implikasi atas realita tersebut ialah polarisasi dan manipulasi opini publik yang memberi pemikiran optimis seolah negara berjalan dengan baik. Awal ketimpangan pemikiran berdasarkan konklusif yang dimanipulasi jauh lebih berbahaya ditambah dengan diskursus yang tak mendamaikan dari kalangan spiritualis.
Dehumanisasi berawal dari ajaran yang telah melekat dan menjadi keyakinan yang tumbuh dari benih kebencian tanpa alasan. Problem mendasar yang harusnya menjadi fokus utama intelektual murni ialah menegakkan kebenaran bukan justru membela otoritas yang menjalankan misi itu. Degradasi moral intelek telah mendukung ketimpangan secara halus yang berlangsung dengan sangat cepat.
Pembiaran pada ekspansi realita yang dimanipulasi bahkan propaganda terbalik digencarkan untuk membenarkan aksi tersebut. Akar yang sengaja ditutup rapat-rapat karena menjadi mata rantai yang menghasilkan pundi-pundi kekayaan untuk membuat misi selanjutnya.
Nalar publik sengaja dibenturkan dengan nilai kebenaran yang telah terpatri lebih dulu sesuai keyakinan hidup beragama dan bernegara. Tindakan persuasif yang terjadi oleh pemegang kuasa untuk menggiring rakyat melepaskan hak milik tanpa mempertimbangakan asas keadilan dan suka rela.
Memaksa rakyat untuk menyerahkan hak milik dengan dalih untuk pembangunan dan kesejahteraan namun merampas kekayaan dan menginjak sila kelima yang terdapat dalam Pancasila. Kesengajaan realita ini berjalan ialah skenario dan ancaman yang telah disepakati bersama para korporat yang menggelontorkan dana yang besar demi memuluskan rencana mereka berhasil meniadakan kebenaran menjadi acuan dalam menjalankan kebijakan.
Persekusi yang dilakukan oleh golongan atau kelompok akan dimasukkan kedalam kejahatan dan dikenakan pasal yang berlapis karena mengganggu ketertiban umum serta mengambil hak orang lain, namun hal ini tidak berlaku jika negara yang menjadi pelaku perampasan hak rakyat dengan alasan progress untuk menjadi negara besar.
Esensi yang dibuat hambar seolah negara boleh berbuat sesukanya tanpa memikirkan bahwa rakyat juga memilki hati nurani yang tetap hidup di tengah gempuran hartanya disita negara dengan hati meringis tanpa ada tempat untuk mengadu.
Realita yang bertentangan dengan tujuan berdirinya negara ini dipertontonkan di muka publik dan justru memperlihatkan kebanggaan pejabat negara dengan mulusnya pembangunan nasional walaupun dengan mengorbankan hak rakyat sendiri.
Niels Bohr seorang ahli fisika kuantum dalam diskusi pernah menegur Einstein “No, no no you’re not thinking, yo’re just being logical” tidak, kamu hanya bernalar tapi tidak berpikir. Teguran yang menarik dan hampir setiap orang melakukan hal yang sama seperti yang teguran untuk Einstein yakni hanya menyimpulkan dan menalar sesuai batas kemampuannya. Dalam menentukan sebuah sikap dan keputusan harus melibatkan pikiran yang berarti melibatkan akal budi dan segala aspek yang berdampak setelahnya.
Kebijakan seorang pemimpin harus berdasarkan filsafat hukum dan implikasi psikologis manusia itu sendiri, karena pemimpin masih memimpin rakyat yang yang berjenis manusia yang memiliki kebutuhan dan hati nurani. Tidak semua hal yang baik berdampak baik untuk rakyat, dengan kata lain program yang baik harus dilandasi dengan aturan teknis yang tidak merugikan moril dan materil rakyat. Kebijakan yang baik ialah yang mampu mengakomodir seluruh lini kehidupan masyarakat tanpa menganggap rendah suatu kelompok masyarakat.
Dalam buku Madilog yang ditulis oleh Tan Malaka, “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang telah bekerja dengan cangkul dan hanya memilki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.”
Tan Malaka telah menerangkan betapa dahsyatnya efek dari pendidikan terutama bila para penuntut ilmu itu diberikan kesempatan untuk mengurus rakyat, sungguh kesenjangan antara si kaya dan si miskin, si pemilik dan si penggarap sangat jelas dan sengaja dipertontonkan. Perkara kemajuan bangsa akan selesai dengan meninggikan akal pikiran, wujud keberagaman akan tulus bersatu bila tidak ada satu pihak pun merasa lebih tinggi.
Regenerasi yang menjadi harapan rakyat juga sengaja diganggu kelancaran perkembangannya yang saat ini tengah duduk di bangku-bangku sekolah. Sedemikian rupa diatur kurikulum untuk meniadakan bahkan membuang jauh esensi filosofis pendidikan, maka dirancanglah layaknya industri yang kuat dan hebat akan unggul sementara yang sulit dan terkebelakang akan jauh tertinggal dan tidak akan menjadi perhatian. Itulah sistem industri yang tengah digencarkan oleh pemerintah yang merasa menjalankan pancasila dan UUD 1945.
Ekspresi kebahagiaan turut dirasakan oleh para elite bangsa dan pemegang bisnis besar di negeri ini, yang merasa diperhatikan perkembangannya dengan melanggengkan budaya si atas dan si bawah. Adanya ketimpangan yang jauh berbeda justru dibela dengan jawaban negara sudah efisien menempatkan porsi segala sesuatu dengan semestinya.
Pembelaan yang merefleksikan betapa hebatnya bermain mata dalam jeritan kepedihan rakyat yang semakin hari semakin susah. Sederhana permintaan rakyat pada pemimpinnya yang dipilih dengan sukarela bukan embel-embel “amplop berisi” ialah kesejahteraan dan keadilan. Buyar pandangan pemimpin hari ini karena hanya melihat dan mendengar dari para pembisik di sekitarnya.
Oposisi yang gencar memperlihatkan celah di mana pandangan buyar itu ditutupi, harusnya ada tindak lanjut untuk memberikan stimulan pengobat luka hati rakyat yang sudah mati sebelum mati karena melihat dirinya pun tidak bisa berbuat apa pun melihat haknya dirampas negara.
Dalam berbagai kesempatan Presiden menyatakan bahwa ia merangkul semua pihak dan menyatukan semua oposisi. Pada dasarnya niat baiknya merupakan langkah yang baik namun bukan berarti itu baik untuk perjalanan demokrasi, dalam konsep bernegara semua orang berhak menyatakan pendapat dan itu dilindungi oleh undang-undang.
Duduk perkara konsep sederhana itu harusnya dimengerti oleh Presiden yang punya banyak pengalaman merumuskan kebijakan dan program keberlanjutan negara. Efisiensi bernegara bukan terletak pada mulusya semua tindakan pemimpin bekerja, namun perdebatan pemikiran yang melahirkan gagasan cemerlang yang mengayomi seluruh elemen bangsa tanpa ada yang dikucilkan.
Kemarahan hingga berujung pada ancaman pada pihak tertentu implikasi dari tidak becusnya negara mengendalikan emosi rakyat. Label negara hukum hanya berlaku untuk “orang kecil” yang tidak punya kuasa dan materi. Skenario terburuk bagi para pemain kelas kakap perampas kekayaan negara hanya berujung pada penjara yang selalu dipotong masa tahanannya.
Hal apa yang mampu negara perbuat untuk menyenangkan hati rakyat, setiap hari kasus demi kasus selalu pasal perampasan uang yang dikumpulkan rakyat yang digunakan untuk membangun negara. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang berjanji menuntaskan para pejabat yang mencuri uang rakyat, namun sampai hari ini anggota kabinetnya pun terlibat meraup keuntungan dari APBN tersebut tidak serta merta menggugah naluri pemegang kekuasaan mengultimatum dengan tegas para pejabatnya.[]
Ilustrasi: Faktabanten.com
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Padang