Perjuangan Kelas dan Menguatnya Identitas dalam Sinetron Para Pencari Tuhan

SINETRON Para Pencari Tuhan (PPT) memang sudah berakhir. Namun, jika kita lihat kembali ada beberapa isu sosial yang bisa kita tilik lebih jauh untuk bisa kita pelajari sebagai bagian dari grand theory dalam ilmu-ilmu sosial. Tulisan ini, bukan hendak membesar-besarkan sebuah sinetron yang sudah dalam kubur itu. Namun, ingin meng-highlight, contoh-contoh kecil – yang bahkan hanya dalam sinetron – bagaimana kerja analisis “kelas dan identitas” terjadi dalam masyarakat.

Dalam sinetron tersebut, secara umum menggambarkan kehidupan kampung miskin di pinggiran kota yang kaya. Selain itu, kelas sosial ditunjukkan secara simbolis dalam peran-peran yang ditunjukkan oleh aktor-aktornya yang notabene berperan sebagai kelas ekonomi rendah. Peran itu diwakili oleh Udin (Udin Nganga) dan Asrul (Asrul Dahlan) dan masih banyak lagi warga dengan kelas ekonomi rendah.

Sedangkan, identitas sosial dalam sinetron tersebut dilihat dari segi religi. Secara umum, sinetron ini menggambarkan wajah dan dinamika masyarakat muslim kota dengan segala dinamikanya. Menurut saya, sinetron ini juga merupakan kelanjutan dari wacana dominan budaya populer Indonesia pasca Orde Baru yang menggambarkan kuatnya sisi religiusitas seperti dalam film Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih, sedangkan dalam hal lagu diwakili oleh Opick.

Dalam buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia (2018), Ariel Heryanto menggambarkan dengan gamblang bagaimana film dan budaya populer yang bermuatan religi banyak diproduksi dan berkembang pasca Orde Baru. Hal ini membuktikan, keberterimaan masyarakat akan film (sinetron dan budaya layar lainnya) yang bermuatan religi merupakan ekspresi (kenikmatan) hasrat terpendam masyarakat muslim akibat deislamisasi di bawah rezim Orde Baru.

Keruntuhan Orde Baru menjadi angin segar bagi aktualisasi ekspresi-ekspresi terpendam kaum muslim Indonesia tersebut. Dengan melebarnya modal dan kapitalisme, budaya pop Islam, hadir dengan mendayung di antara religiusitas dan kapital tersebut.

Kembali ke PPT, kelas ekonomi rendah yang diwakili oleh peran Udin yang meminta kenaikan gaji dan insentifnya sebagai hansip di desa itu. Kemudian Udin mengusulkan kepada Bang Jack (Deddy Mizwar) yang merupakan salah satu pengurus RW setempat. Kemudian Bang Jack – karena dipaksa oleh Udin dan Asrul – memberanikan diri untuk menghadap ke pengurus RW yang lain (Idrus Madani, Joes Terpase, dan Hakim Ahmad).

Baca Juga  Moderasi Beragama: Gerakan Sosial, Kampus, dan Inisiasi Masyarakat

Dengan alasan yang sudah berkontribusi nyata, Udin beralasan “lima tahun saya mengabdi dengan gaji kecil. Saya menjaga lingkungan dengan baik. Hampir setahun tidak ada yang kemalingan. Ngak ada yang nongkrong main judi atau narkoba”. Kemudian, pengurus RW beralasan bahwa tidak adanya kriminalitas di kampung tersebut karena kemiskinan mereka yang tidak mampu bermain judi atau membeli narkoba.

Padahal narasi dan perjuangan kelas sosial untuk menuntut perubahan keadaan tidak bisa digantikan oleh kenikmatan identitas belaka.

Kemudian Bang Jack beralasan bahwa minimnya kriminalitas di kampung tersebut karena warganya masih memegang teguh ajaran agamanya (Islam). Di sinilah munculnya narasi identitas yang dibawa oleh Bang Jack. Sialnya, seluruh pengurus RW langsung bersepakat bahwa minimnya kriminalitas di seperti yang diungkap oleh Bang Jack tersebut. Hal ini menjadikan alasan yang disampaikan oleh Udin tadi tak berarti apa-apa dan akhirnya usulan kenaikan gaji Udin ditolak oleh pengurus RW.

Tak sampai di situ, akibat alasan yang disampaikan Bang Jack tadi, pengurus RW malah ingin menurunkan gaji Si Udin. Menurut saya, di sinilah simbol identitas itu mengalahkan perjuangan kelas yang dibawa oleh Udin. Narasi identitas yang dibawa oleh Bang Jack seakan-akan menjadi logis dan diterima oleh semua pengurus RW. Padahal, jika ditelisik lebih jauh, musala yang dipimpin Bang Jack di kampung tersebut juga sepi dari jamaah yang melaksanakan salat. 

Sekali lagi, jika dominasi atas narasi identitas yang kerap dipakai, dengan sendirinya narasi kelas sosial untuk mengubah keadaan – seperti kenaikan gaji dan insentif – menjadi kalah. Padahal narasi dan perjuangan kelas sosial untuk menuntut perubahan keadaan tidak bisa digantikan oleh kenikmatan identitas belaka.

Baca Juga  Menjadi Relawan, Menjadi Pancasilais

Hal itu juga yang kerap disitir oleh Amin Mudzakkir, bahwa arus utama narasi identitas akan menutupi narasi kelas sosial, dengan begitu kenaikan kelas sosial (meritokrasi) tidak akan terjadi. Makanya, walaupun sekolah tinggi-tinggi, kelas sosial tidak akan naik hanya bergeser ke kiri atau kanan saja.

Oleh karena itu, narasi identitas dan perjuangan kelas sosial haruslah seimbang. Perjuangan kelas sosial tidak bisa (boleh) dijawab sitiran-sitiran identitas semata. Karena bukan identitas sosial yang akan dimakan tiga kali sehari. Tapi, yang akan menjamin adanya nasi di atas piring, ialah gaji dari hasil kerja dan yang menjamin lauk tetap ada bersama nasi itu, perjuangan kelas untuk menuntut kenaikan gaji, seperti yang dilakukan oleh Udin itu.

***

Oleh karena itu, berakhirnya rezim Orde Baru itu, seakan-akan menjadi angin segar bagi penguatan identitas lewat budaya pop Islam yang mengangkat keagungan “identitas” dan nikmat-nikmatnya. Sinetron PPT ini hanya satu dari banyaknya narasi tersebut.

Walaupun, sinetron PPT ini, merupakan sebuah konstruksi budaya pop. Namun, pasca Orde Baru pengarusutamaan identitas (Islam) dalam media televisi seperti ini juga berdampak pada identitas nasional yang “tunggal” tanpa menyediakan ruang perbedaan (multikulturalisme) dan keberagaman yang gagal diwujudkan oleh negara  seperti yang diungkap Inaya Rakhmani dalam kesimpulan disertasinya Rethinking National Identity in an Age of Commercial Islam: The Television Industry, Religious Soap Operas, and Indonesian Youth yang salah satunya mengkaji sinetron Para Pencari Tuhan.[]

 

Ilustrasi: PPT

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *